Bab 6 Kalung bulan Sabit
Camilla melangkah masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu perlahan. Niatnya untuk menemui Theodore masih kuat, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya tertuju pada laci kecil di sudut kamar.
Entah mengapa, ada dorongan dalam hatinya untuk membukanya. Dengan ragu, ia berjalan mendekat, tangannya terulur untuk menarik laci itu.
Di dalamnya, ada sebuah kotak beludru kecil yang sudah lama tidak ia sentuh. Jemarinya perlahan mengambilnya, lalu membuka tutupnya dengan hati-hati.
Di dalamnya, sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk bulan sabit terbaring diam, seolah menunggunya selama ini.
Camilla tertegun.
Kalung ini adalah satu-satunya benda yang selalu bersamanya sejak ia masih bayi. Ibunya pernah berkata bahwa seseorang memberikannya padanya saat ia baru lahir, tetapi sampai sekarang, ia tidak pernah tahu siapa orang itu.
Ia mengangkat kalung itu, membiarkan liontinnya berkilau di bawah cahaya lampu. Hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan aneh—seperti ada sesuatu yang terlupakan, sesuatu yang penting, tetapi ia tidak bisa mengingatnya.
Kenangan samar tentang masa kecilnya berkelebat di pikirannya. Ia selalu memakai kalung ini sampai beberapa tahun lalu, ketika ibunya menyuruhnya untuk menyimpannya dengan baik.
Mengapa tiba-tiba ia mengingat kalung ini sekarang?
Camilla menggenggam liontin itu erat. Apakah mungkin… ada kaitannya dengan semua ini? Dengan kebencian Theodore?
Ia menatap bayangannya di cermin, lalu dengan hati-hati memasangkan kalung itu di lehernya.
Jika kalung ini bagian dari masa lalunya, maka mungkin ini juga kunci untuk menemukan jawaban yang ia cari.
Camilla memandang cermin, merasakan kalung itu bergoyang lembut di lehernya. Sesuatu dalam dirinya terasa berbeda saat ia memakainya, seperti ada kekuatan yang menghubungkannya dengan masa lalu yang terlupakan. Ia bisa merasakan adanya koneksi yang kuat, tapi entah apa itu.
Ia menatap dirinya sejenak, berpikir keras. Mungkin ini lebih penting daripada berbicara dengan Theodore sekarang.
Pikiran itu muncul begitu saja, dan entah mengapa, Camilla merasa itu adalah keputusan yang tepat. Ada terlalu banyak hal yang tidak ia ketahui, terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Jika kalung ini memang ada kaitannya dengan masa lalunya, maka ia harus tahu siapa yang memberikannya.
Dengan tekad yang baru, Camilla meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju ruang kerja pribadi yang tersembunyi di salah satu bagian mansion. Di sana, dia bisa mencari informasi tanpa gangguan.
Setibanya di ruang kerja, ia membuka rak buku yang tersembunyi di balik lemari kecil dan mengeluarkan beberapa dokumen lama yang sudah lama tidak disentuh. Di antara tumpukan kertas dan berkas-berkas yang sudah usang, ia mulai mencari.
Siapa yang memberikan kalung ini padaku?
Dia memeriksa satu per satu dokumen yang ia temukan, mulai dari surat-surat lama milik orang tuanya hingga dokumen yang sudah lama tidak dipakai. Semuanya tampak biasa saja, namun semakin ia mencari, semakin ia merasa ada sesuatu yang salah—sesuatu yang ia lewatkan.
Hingga akhirnya, di sebuah sudut lemari, ia menemukan sebuah kotak kecil yang sudah berdebu. Camilla membukanya dengan hati-hati, dan di dalamnya terdapat foto tua yang sudah menguning. Foto itu memperlihatkan seorang pria yang tampak cukup tua, mengenakan jas hitam dan tersenyum ke arah kamera. Di sampingnya, seorang wanita dengan wajah yang mirip sekali dengan ibunya. Dan di tangan wanita itu, terdapat kalung bulan sabit yang sangat familiar.
Camilla menatap foto itu dengan mata terbuka lebar.
Siapa mereka?
Ia tahu tidak ada yang pernah bercerita padanya tentang orang-orang di foto ini. Ia merasa sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Apakah mereka terkait dengan kalung itu? Dan apa hubungan mereka dengan keluarganya?
Dengan hati yang berdebar, Camilla memutuskan untuk fokus pada pencarian ini, setidaknya untuk sementara waktu. Berbicara dengan Theodore tampaknya bisa menunggu. Ada hal-hal yang lebih besar yang harus ia pecahkan terlebih dahulu.
Kalung itu, foto itu, semuanya memiliki arti. Dan ia akan menemukan jawabannya, apapun yang terjadi.
Malam itu, setelah berjam-jam memeriksa dokumen-dokumen lama dan foto-foto usang, Camilla akhirnya merasa lelah. Kepala yang pusing dan perasaan penuh ketidakpastian memaksanya untuk beristirahat.
Dia kembali ke kamar, mengganti pakaian dengan pakaian tidur yang nyaman, dan duduk di tepi tempat tidur. Dengan kalung itu yang masih tergantung di lehernya, ia menatap cermin satu kali lagi. Mungkin malam ini adalah malam yang paling sunyi dalam hidupnya. Setidaknya, ia merasa sedikit tenang, meskipun hatinya dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab.
"Besok," gumamnya pada dirinya sendiri, "aku akan cari tahu lebih banyak."
Dengan rasa cemas yang menggelayuti, Camilla memutuskan untuk tidur, berharap bisa mendapatkan jawaban dalam tidurnya atau setidaknya mendapat sedikit kedamaian.
Namun, sebelum matanya terpejam, dia merasa dorongan kuat untuk menyembunyikan kalung itu. Bukannya takut, tetapi lebih kepada perasaan bahwa ini adalah sesuatu yang pribadi. Tidak ada alasan untuk Theodore tahu. Kalung itu, begitu saja, adalah bagian dari dirinya yang belum siap ia bagikan kepada siapa pun, termasuk suaminya.
Dengan hati-hati, ia membuka kalung itu dan menyimpannya dalam laci kecil di meja rias. Ia menutup laci itu rapat-rapat, berharap bisa melupakan sejenak semua yang berputar di pikirannya.
Keesokan harinya, Camilla memulai hari dengan langkah yang lebih tenang meskipun rasa cemas itu masih menyelimutinya. Sejak pagi, ia bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang foto yang ia temukan kemarin dan siapa saja yang terlibat dalam kehidupan keluarganya, yang bahkan ia sendiri tidak pernah diberitahu.
Namun, saat melihat Theodore kembali berangkat pagi tanpa memberi tahu dirinya terlebih dahulu, rasa frustrasinya sedikit meningkat.
Dia belum siap menghadapi Theodore, apalagi dalam keadaan hati yang kacau seperti ini. Untuk sementara, lebih baik menghindar dan fokus pada hal yang lebih mendesak.
Hari itu, Camilla lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyelidiki segala hal yang berkaitan dengan kalung dan foto itu. Meskipun setiap langkahnya terasa berat, ia tahu bahwa hanya dengan mencari tahu kebenaran, ia bisa mulai memecahkan teka-teki yang telah lama mengganggunya.
Dan jika itu berarti harus menyembunyikan kalung itu dari Theodore untuk sementara, maka ia akan melakukannya.
Hari itu terasa panjang bagi Camilla. Setiap langkah yang ia ambil menuju tujuan yang tak pasti semakin membuatnya merasa tertekan. Meskipun mencoba untuk tetap fokus, pikiran tentang Theodore dan kalung yang ia sembunyikan tak bisa begitu saja terlupakan.
Saat sore mulai merayap, Camilla menemukan dirinya berada di ruang kerja pribadi lagi. Kali ini, ia telah menyiapkan diri untuk menggali lebih dalam. Setelah menemukan foto dan kalung, ia merasa ada banyak hal yang ia belum ketahui tentang masa lalunya, terutama tentang orang-orang yang terlibat dalam kehidupan keluarganya.
Camilla membuka kotak itu lagi, dan foto tua itu masih terlihat sama. Ia memerhatikannya lebih teliti. Ada sesuatu yang mengganggunya, sebuah perasaan yang seakan menghubungkan dirinya dengan sosok dalam foto itu. Mungkin orang itu memiliki hubungan lebih dekat dengannya, lebih dari yang ia tahu.
"Apa yang sebenarnya terjadi, ibu?" gumamnya pelan, merasa seakan ibu adalah kunci dari semua ini.
Pikirannya terhenti saat pintu ruang kerja sedikit terbuka, dan suara langkah kaki terdengar. Camilla menoleh, kaget.
"Camilla," suara Theodore terdengar dingin, hampir seperti biasa, meski ada nada berbeda di sana. "Aku tidak melihatmu di ruang makan. Ada yang salah?"
Camilla terkejut melihatnya berdiri di ambang pintu, matanya tajam memerhatikan ruangan. Ia tidak ingin terlalu banyak bicara soal foto atau kalung, tapi ia bisa merasakan ada ketegangan yang mengalir di antara mereka.
"Eh, tidak ada apa-apa," jawab Camilla cepat, berusaha menyembunyikan ketegangan di dalam dirinya. "Aku hanya sedikit sibuk."
Theodore berjalan masuk dengan langkah besar, memandang ruangan yang dipenuhi dokumen itu. "Dengan apa?" tanyanya, nadanya kini terdengar lebih mendalam, seperti sedang mencoba membaca suasana hatinya.
"Menata beberapa dokumen. Ini penting," jawab Camilla sambil mencoba terdengar santai.
Theodore menatapnya sesaat sebelum akhirnya mengangguk singkat. "Jika ada yang bisa kubantu, beri tahu saja," ujarnya datar, lalu melangkah keluar dari ruangan tanpa menunggu jawaban lebih lanjut.
Camilla membiarkan napasnya keluar perlahan. Rasa cemas itu datang lagi, tetapi kali ini ia mencoba mengabaikannya.
Dia harus lebih fokus. Tidak ada yang perlu ia jelaskan pada Theodore tentang hal ini, setidaknya untuk saat ini. Kalung itu, foto itu—semuanya menyimpan cerita yang lebih besar daripada sekadar hubungan mereka. Dan Camilla merasa, meski harus bertahan dalam kebisuan ini, ia harus menggali lebih dalam.
