Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4 KENANGAN BURUK

"Rico," panggil Bulan dengan suara serak dan napas tersengal. Lelaki yang dipanggil, terlonjak mendengar suara yang begitu dikenalnya. Wajah kusutnya menoleh dengan cepat, bola matanya membola sempurna. Bagaimana mungkin wanita itu ada di sana?

"Bagaimana Rindu? Apa yang terjadi? Bagaimana dia bisa jatuh?" Bulan memberondong Rico dengan banyak pertanyaan. Mata lelaki itu semakin terbelalak.

"Rico, bagaimana? Apa penanganannya sudah selesai?" Pertanyaan lain dari arah belakang  Rico, membuat keduanya menoleh. Wanita berjilbab instan warna biru berdiri di sana. Raut kaget terpancar dari wajahnya saat bertemu pandang dengan Bulan.

Sekian lama mereka hanya saling tatap, kenangan menyeret mereka kembali ke masa lalu. Kilasan-kilasan kejadian kembali hadir meninggalkan penyesalan di mata Bulan, dan kemarahan di mata Andini.

"Mau apa kamu ke sini?" Suara Andini bergetar menahan marah

"Rico, kenapa wanita ini ada di sini?"

Bulan menunduk penuh penyesalan.

"Maaf, Bu. Aku ingin bertemu Rindu," jawabnya pelan. Tubuhnya berdiri kaku dengan sepuluh jari saling bertaut.

"Bertemu Rindu? Memangnya siapa dirimu?" Suara mantan mertua mengintimidasi, membuat kepala Bulan semakin menunduk dalam.

"Maaf," jawabnya lagi semakin pelan. "Aku menyesal meninggalkan Rindu, sungguh aku sangat merindukannya."

"Menyesal? Merindukan Rindu? Dasar perempuan tidak tahu diri! Enak sekali bicara. Rico, suruh dia pergi dari sini!" Andini berpaling ke arah sang anak yang sejak tadi hanya diam.

Bulan melirik Rico yang kebetulan juga tengah meliriknya. Lelaki itu baru membuka mulut, saat pintu ruangan terbuka, hingga ia urung bicara. Gegas Rico melangkah mendekat ke arah perawat yang muncul di sana.

Rico menghentikan langkah saat merasa seseorang membuntutinya. Ia berbalik dengan kesal.

"Bulan, pulanglah! Kehadiranmu di sini hanya akan menambah masalah. Ibuku tidak suka melihatmu!" ucap Rico tertahan.

"Aku datang untuk Rindu. Bukan untuk ibumu …."

"Mengertilah, Bulan! Jangan membuat kami semakin membencimu!" Suara Rico meninggi, membuat genangan di mata Bulan semakin penuh.

"Tapi, Rindu juga anakku!" Bulan tidak mau kalah.

"Jangan terlalu percaya diri! Bagi Rindu … kau bukan siapa-siapa! Kau, tidak berarti sama sekali!" Rico melangkah dengan kasar meninggalkan luka hati yang kembali menganga di hati Bulan.

"Kau bukan siapa-siapa! Tidak berarti!" Kalimat itu terus terngiang di telinga Bulan sepanjang koridor rumah sakit yang ia lewati, setelah Rico dan Andini meninggalnya sendiri di depan ruang IGD.

Mereka pergi entah ke mana, menghilang di balik pintu setelah perawat memanggil.

"Kau bukan siapa-siapa! Kau tidak berarti, Bulan! Memangnya siapa dirimu? Perempuan tidak tahu diri! Kau bukan siapa-siapa!" Kalimat-kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Bulan layaknya suara ribuan tawon yang mengerubunginya. Membuat telinganya berdengung nyeri. Kepalanya pusing.

Bulan menutup kedua telinga dengan telapak tangan, kepalanya terasa berat. Pandangan mengabur, tubuhnya oleng. Ia terus menekan telapak tangan di telinga agar dengungan itu berhenti mengganggu. Namun, tubuhnya semakin oleng, kepala semakin pusing, hingga akhirnya netranya hanya menangkap kegelapan yang membawanya ke pusaran hitam. Di sana, di lorong rumah sakit, tubuh Bulan ambruk di lantai.

***

"Tidak, jangan sentuh aku, Pak. Aku mohon! Bukankah Bapak bilang akan mengorbitkanku menjadi model?" Dengan wajah ketakutan, Bulan mundur. Kaki jenjang tak beralas itu terus bergerak di dalam ruangan luas berkarpet tebal.

Entah bagaimana ia sampai di dalam ruangan mewah yang berada di ketinggian gedung itu. Tadi saat matanya terbuka, dan kesadarannya datang, tubuhnya sudah meringkuk tanpa sehelai benang pun di atas ranjang besar dengan seprei dan selimut serba putih.

Hingga seorang bandot tua berperut buncit keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tanpa penutup dada. Juga, seluruh tubuh yang bagai remuk redam, terlebih tubuh bagian bawahnya yang terasa perih, Bulan baru sadar, bahwa ia telah dinodai.

Laki-laki yang dikenalnya sebagai bos agensi model yang menaunginya itu, menyeringai, memamerkan deretan giginya yang kuning kecoklatan sisa kafein dan nikotin.

"Pak," lirih Bulan, menatap tak percaya laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya. "Apa yang terjadi?"

Kembali laki-laki tua menyeringai. Langkahnya diseret mendekati ranjang besar yang seolah-olah menenggelamkan tubuh langsing Bulan.

Wanita itu mengkerut, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya pasi dengan tubuh mulai menggigil.

"Kita baru saja bersenang-senang Bulan. Apa kamu tidak merasakannya?" tanya laki-laki buncit dengan seringaian semakin menjijikkan.

"Mak-sud Bapak?" tanya Bulan lagi dengan wajah semakin pasi, tangannya mencengkeram kuat selimut yang ujungnya mulai ditarik sang bandot.

"Jangan pura-pura bodoh Bulan, ayo kita ulangi lagi, dua kali, tiga kali, atau berapa kali pun yang kita bisa. Maka aku akan mengorbitkanmu menjadi model papan atas," katanya lagi seraya menarik paksa selimut yang menutupi tubuh Bulan.

"Tidak! Tidak, Pak! Jangan menyentuhku! Aku tidak menjual tubuhku. Aku menjual talentaku!" Bulan beringsut mundur seraya menutupi tubuh bagian depannya dengan kedua tangan.

"Oh, ya? Kalau begitu, lebih bagus. Aku tidak harus membayarmu untuk malam ini, Cantik." Kembali seringaian menjijikkan terpatri di wajah hitam legam itu. "Ayolah Manis, tidak perlu malu, kita bersenang-senang semalam saja."

Bulan semakin ketakutan. Terlebih saat bandot tua semakin mendekat. Napasnya semakin memburu seiring gerakkan dadanya yang turun naik dengan cepat.

"Ayolah, Manis. Jangan munafik! Masuk dunia seperti ini tidak semudah yang kamu kira. Hanya dengan membayar memakai kemolekan tubuhmulah semua bisa mudah kau capai. Anggap ini jalan pintas mencapai cita-citamu." Lagi, laki-laki itu mendekat, hingga Bulan terpojok di kepala ranjang. Saat bandot yang laksana serigala itu siap menerkamnya, Bulan locat dari tempat tidur, ia berlari menuju pintu.

Laki-laki yang sudah diliputi napsu itu mengejar. Sejauh apa pun Bulan berlari, toh pintu kamar tak dapat dibukanya. Akhirnya sang bandot dapat menangkapnya, menarik tubuhnya dengan murka, kemudian membanting tubuh yang sudah lelah itu ke atas kasur.

"Kau membuatku marah, perempuan sund*l!" teriaknya sebelum loncat menindihnya.

"Tidakkk ….!"

Bulan berteriak sekuatnya. Matanya membuka dengan paksa. Napasnya tersengal. Dada bergerak cepat. Keringat membasahi seluruh tubuh.

Diedarkan pandangan menyapu seisi ruangan yang bernunsa ungu muda, sesuai warna favoritnya. Wajah teduh penuh kecemasan berjarak begitu dengan denganya. Ditelannya saliva untuk membasahi kerongkongan yang sangat kering.

"Mas," ucapnya dengan parau.

"Mimpi buruk lagi, Sayang?" tanya Langit yang akhirnya senang melihat sang istri sudah sadar. Dibelainya pipi pucat itu dengan lembut.

Bulan memejam dengan kuat. Bukan! Itu bukan mimpi buruk. Itu kenangan buruk saat kehancurannya dimulai. Karena setelah itu, bukan karir cemerlang yang ia dapat, melainkan hidupnya yang jatuh ke titik paling bawah, bersamaan harga dirinya yang hancur berkeping-keping.

Entah berapa kali bandot itu melampiaskan nafsunya malam itu, hingga ia tak sadarkan diri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel