BAB 3 MENCARI
"Bukan siapa-siapa, Sayang," jawab Rico pelan. Tangannya terus membelai kepala Rindu.
"Kenapa dia bersujud di kaki Ayah?"
Hening. Rico tidak tahu harus menjawab apa.
"Tahu enggak? Tadi tuh, kayak di sinetron, Yah. Banyak yang nonton, lho. Banyak yang videoin juga?"
"Iyakah?"
Rindu mengangguk dalam pelukan sang ayah.
"Berarti, Ayah cocok ya, jadi pemain sinetron?" Rico terkekeh.
"Iyalah. Ayahku kan, ganteng. Ayah siapa dulu, dong."
Mereka tertawa bersama sebelum akhirnya Rindu memejamkan mata, dan beralih ke alam mimpi dalam pelukan sang ayah.
Rico menarik napas panjang. Sering ia berpikir, apa yang dilakukannya selama ini salah? Tidak memberitahukan Rindu siapa ibu kandungnya, apa itu benar? Padahal anak itu sangat merindukan kehadiran seorang ibu. Terlebih, sekarang Bulan juga melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan rela bersujud di kakinya.
Apa sebaiknya mereka dipertemukan? Ah, Rico sangat takut. Takut kehilangan Rindu. Bagaimana kalau Rindu lebih memilih ikut Bulan seandainya mereka bertemu? Lelaki itu menggeleng. Tidak! Ia tak akan pernah mempertemukan mereka.
***
Bulan melambaikan tangan ke arah Langit yang sudah duduk di belakang kemudi. Senyum manis mengiringi keberangkatan sang suami ke tempat kerja. Perlahan mobil pun keluar dari halaman, meninggalkannya di teras seorang diri.
Setelah kendaraan roda empat milik sang suami benar-benar menghilang di jalan raya, gegas Bulan masuk mengambil tas dan ponselnya. Ia sudah bertekad hari ini akan mencari keberadaan Rico dan Rindu.
Taxi online yang dipesannya datang, ia segera masuk dan menyebutkan alamat rumah lama Rico sebagai tujuan.
Entah apa yang dilakukannya benar atau tidak. Kepergiannya mencari anak dan mantan suaminya kali ini tanpa seizin Langit. Bulan memang sengaja tidak memberitahu suaminya yang pencemburu. Ia yakin, lelaki itu pasti melarangnya.
Dalam mobil, berkali-kali wanita itu menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Rasa rindu terhadap sang anak begitu membuncah. Sesuatu yang tidak akan dirasakan Langit, karena lelaki itu belum dipercaya memiliki keturunan. Bahkan pernikahan pertamanya kandas, karena mereka tak kunjung mempunyai anak.
Sementara Bulan, ia memiliki Rindu sebagai harapan. Rasa bersalah meninggalkan anak itu di masa lalu, begitu menyiksa hari-harinya selama ini. Maka, apa salah jika ia berjuang keras mencari anak itu?
Taxi menepi saat Bulan meminta driver-nya berhenti. Mata wanita itu memicing, saat dilihatnya banyak orang berkerumun di depan gang menuju rumah mantan suaminya. Langkah cepat dibawanya mendekati kerumunan.
"Permisi, Bu. Ada apa, ya, kenapa ramai sekali?" tanya Bulan setelah jarak kerumunan hanya beberapa jengkal. Semua orang menoleh, dan salah satunya menjawab.
"Ada anak pingsan, Bu. Padahal mau berangkat sekolah, hampir tertabrak mobil. Tadi dia mendadak jatuh."
Bulan mengangguk dan ber-o saja.
"Oh, sekarang ke mana?"
"Sudah dibawa ke rumah sakit."
Bulan hanya mengangguk sebelum akhirnya pamitan. Wanita itu segera menuju gang rumah Rico yang masih diingtanya dengan pasti. Ia memang beberapa kali datang sebelum ini. Namun, menurut tetangga di sana, keluarga Rico sudah pindah.
Kini, ia kembali. Berharap ada peruntungan, keluarga itu kembali ke sana.
Sekitar lima menit, Bulan sampai di depan rumah bercat biru langit yang sudah banyak perubahan. Semua kenangan dulu menari-nari dalam ingatan. Dirabanya pintu pagar yang tidak terkunci. Di sini, di depan pagar ini, dulu Rico bersimpuh memohon, agar ia tidak pergi. Namun, ambisi dari jiwa mudanya yang begitu membara membuatnya menjadi ibu yang tega meninggalkan anak yang baru berusia dua tahun. Membuatnya menjadi istri yang tega meninggalkan suami yang sudah berusaha sangat keras agar bisa memenuhi kebutuhan anak istri.
Bulan menarik napas panjang sebelum benar-benar membuka pagar itu. Rumah yang cukup terawat, tampak sepi. Ia mengucap salam setelah kembali menarik napas panjang.
Dikuatkan hatinya untuk menerima apapun yang yang akan terjadi. Seandainya keluarga Rico marah, mencaci, atau mengusirnya, akan ia terima dengan lapang dada. Asalkan bisa bertemu Rindu sesaat saja. Memeluknya walaupun hanya sekali.
Beberapa kali mengucap salam tak ada siapa pun yang keluar. Benar-benar sepi. Baru saja ia akan mendudukkan dirinya di kursi rotan di pojok teras, seseorang di rumah sebelah membuka pintu. Pandangannya tampak menyelidik.
"Nyari siapa, Mbak?" tanya tetangga yang sepertinya bukan orang lama. Karena tidak mengenal Bulan. Dulu, wanita itu hampir tiga tahun tinggal di sana bersama keluarga Rico.
"Saya mencari Rindu, Bu. Apa tidak ada orang di sini?" Bulan menjalan lebih mendekat.
"Mbak siapa?" selidik wanita berdaster bunga-bunga tetangga sebelah.
"Saya … saya …." Bulan urung menyebut kalau dirinya ibu dari Rindu.
"Saya … temannya Bu Andini." Akhirnya ia hanya menyebut nama mantan mertuanya. "Apa Bu Andininya ada di rumah?"
Wanita yang berdiri di balik tembok pembatas itu mengernyit. "Kan, mereka baru berangkat ke rumah sakit."
"Siapa yang sakit, Bu?" Dada Bulan tiba-tiba berdebar keras.
"Tadi kan, Rindu jatuh pingsan di depan, Mbak. Hampir tertabrak mobil. Mas Rico langsung membawanya ke rumah sakit."
"Apa?"
Jadi yang tadi dikerumuni itu ….
"Ke rumah sakit mana mereka membawa Rindu, Bu?" Bulan bertanya dengan cemas. Kerutan di kening tetangga itu semakin dalam, melihat perubahan wajah Bulan.
"Saya tidak tahu …."
Bulan langsung berlari menuju jalan raya di bawah tatapan heran tetangga. Perasaan wanita itu sudah tak dapat digambarkan. Bercampur aduk antara cemas dan marah. Ia sangat takut terjadi sesuatu dengan Rindu.
Sampai di jalan raya, ia mencari siapa pun yang bisa ditanyai. Namun, tak ada seorang pun yang bisa memberinya informasi.
Bulan frustasi. Ia cemas, takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak sebelum mereka bertemu dan Rindu tahu kalau ia ibu kandungnya.
Setelah berlari ke sana ke mari mencari informasi, Bulan memutuskan naik ojek mencari klinik terdekat. Itu usaha yang paling masuk akal menurutnya. Rico pasti membawa anaknya tidak terlalu jauh.
Dengan air mata yang tak dapat dibendung, Bulan meminta Bang ojek mempercepat laju sepeda motornya. Wanita itu segera turun begitu sampai di sebuah klinik kecil tak jauh dari sana. Namun, tak ada pasien atas nama Rindu di sana. Ia segera meminta Bang ojek yang sengaja menunggu atas permintaannya, mengantarnya lagi mencari rumah sakit lain.
Sekitar lima menit, mereka sampai di rumah sakit besar. Itu rumah sakit pertama yang mereka lewati. Harapan Bulan sangat besar mereka ada di sana.
Wanita itu berlari menuju ruang IGD setelah sebelumnya bertanya kepada security yang berjaga di depan. Mata Bulan mendadak bersinar saat di depan sana, di depan ruang yang ia tuju, sosok yang sangat familiar berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Wajahnya terlihat kusut, gestur tubuhnya menyiratkan hatinya sangat cemas.
Dengan napas tersengal akibat larinya, Bulan mendekati laki-laki yang sejak tadi mondar-mandir dengan gelisah.
"Rico," panggilnya dengan suara serak dan napas tersengal.