Ringkasan
Karena bosan hidup pas-pasan dan demi mengejar mimpi menjadi seorang artis, Bulan meninggalkan suami dan anak mereka yang masih bayi. Ia berharap bisa hidup lebih baik. Namun, bukan uang dan nama besar yang didapatnya, justru kehancuran dan terpuruk hingga jurang terdalam yang dialaminya. Ia bahkan membenci dirinya sendiri dan ingin mengakhiri hidup.
Bab 1 RINDU
1
Bola mata Bulan membulat sempurna dengan wajah yang menegang. Sepasang netranya menangkap sosok lelaki yang kehadirannya dulu, begitu berarti di hatinya.
Rico, lelaki pertama dalam hidupnya, yang mengenalkan arti cinta.
Cinta yang salah kaprah. Cinta, yang bagi mereka, hanya sebatas luapan perasaan sepasang muda-mudi yang baru lulus SMA. Mereka mengira, cinta akan tetap indah dengan penyatuan dalam ikatan pernikahan tanpa kesiapan apa pun.
Kini, sepuluh tahun berlalu setelah perpisahan mereka. Ternyata, cinta tak mampu mempertahankan ikatan suci yang dipenuhi segala problematika hidup. Pernikahan dini mereka, hanya bertahan seumur jagung.
"Rico," gumam Bulan dengan bibir bergetar. Matanya berkedip beberapa kali sebelum menyampaikan apa yang ia pendam selama ini.
"Ke mana saja kamu selama ini?" Pertanyaan itu keluar setelah sekian lama mereka larut dalam keterkejutan, juga terseretnya ingatan ke masa lalu.
Rico tersenyum tipis. "Kenapa? Apa kamu merindukanku?"
Bulan membuang muka sebelum kembali bicara, "aku merindukan anakku yang kamu bawa kabur!"
Rico mendengkus.
"Apa seorang ayah pantas dikatakan membawa anaknya kabur? Bukankah itu anakku?"
"Dia juga anakku! Aku juga punya hak atas dia. Kamu tidak berhak memisahkan anak dari ibunya sekian lama. Itu kejahatan, Rico!"
"Lalu, kamu mau apa, Bulan?" Tatapan Rico menantang.
"Aku mau bertemu Rindu!"
"Untuk apa? Bahkan Rindu tidak mengenalmu!"
"Apa? Jadi, kamu tidak memberitahukan dia kalau aku ibunya?
Rico tersenyum miring. " Untuk apa, Bulan?"
"Rico …." Suara Bulan tercekat di kerongkongan. Wanita itu bahkan sudah merasakan matanya panas. Betapa tega, lelaki yang dulu begitu mencintainya berlaku tidak adil.
"Masih ada lagi?" tanya Rico santai. "Kalau tidak ada, aku permisi."
Bulan masih terpaku di tempatnya, bahkan saat Rico sudah berjalan meninggalkannya di taman kota, sore ini. Wanita itu tidak yakin apa yang harus dilakukannya. Apa ia harus berlari mengejar Rico, lalu memohon dan bersujud, agar mantan suami mau mempertemukannya dengan Rindu?
"Rico …." Bulan berlari mengejar setelah sekian menit bergelut dengan perasaannya. Napasnya tersengal saat ia berhasil menyusul dan berdiri di hadapan lelaki yang kini terlihat lebih gagah daripada saat berstatus suaminya dulu.
"Kenapa lagi?" tanya Rico datar.
"Tolong, kumohon! Pertemukan kami. Aku sangat merindukannya," pintanya penuh harap.
Kembali Rico mendengkus. "Apa seorang Bulan Maharani sudah sadar kalau dia seorang ibu?"
Sepasang mata basah itu menatap nanar lelaki di hadapan. Kalimat-kalimat tajam Rico sangat mengena. Menusuk tepat di hatinya yang sudah terluka sekian lama, karena memendam rindu kepada sang putri.
Tubuh itu meluruh di atas paving dengan lutut sebagai tumpuan. Luka atas rindu dan penyesalan selama hidup, bertambah nyeri karena semua kata-kata sang mantan suami. Telaga bening yang sejak tadi tergenang menutup netra, kini luber sudah. Jatuh berderai menganak sungai di pipi pucatnya.
"Tolong, aku mohon, pertemukan aku dengan Rindu," lirihnya di antara tangis. Lelaki di hadapan hanya tersenyum miring sembari melipat dua tangan di dada. Sungguh lucu di matanya, seorang Bulan Maharani yang demi ambisi besarnya dulu, rela meninggalkan anak dan suami. Kini bersimpuh di kakinya, memohon dipertemukan dengan anaknya.
Rico menggeleng pelan sebelum memutuskan beranjak dari sana. Lalu-lalang pengunjung taman, sore ini, terjeda melihat mereka berdua. Ia bukan seperti Bulan yang suka menjadi tontonan umum.
Lagi-lagi langkah Rico tertahan, karena Bulan masih mengejarnya.
"Rico, urusan kita belum selesai!" Dengan menghapus kasar air mata di pipi, Bulan menjejeri langkah laki-laki berkemeja biru laut itu.
"Laki-laki macam apa yang tega meninggalkan orang yang memohon dengan tulus?" tanya Bulan tajam, hanya agar Rico menghentikan langkah. Benar. Rico berhenti.
"Wanita macam apa yang meninggalkan anak bayi yang masih menyusu demi sebuah ambisi?" balasnya telak.
"Cukup, Rico! Aku sudah menyesali semuanya. Aku sudah bertobat. Aku bukan lagi Bulan yang dulu."
"Lalu, Bulan seperti apa sekarang?" Kembali Rico tersenyum miring. Menatap wanita yang dulu begitu dicintainya, dari ujung rambut hingga ujung celana kulot yang menutupi kaki.
Rico akui, Bulan sekarang sangat berbeda dengan Bulan sepuluh tahun lalu. Mungkin karena usia. Wanita itu terlihat lebih dewasa, santun dalam berpenampilan, dan tentu … lebih cantik dan bersinar. Sesuai namanya.
"Ok, aku bisa mempertemukan kalian," ucap Rico akhirnya.
"Benarkah?" Mata Bulan bersinar.
"Aku bisa mempertemukan kalian, tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa?" Alis Bulan bertaut.
"Menikahlah lagi denganku!"
"Apa?"
***
Bulan masih mematung di tempatnya. Desau angin sore yang lembab dan membawa serta dedauan kering menerpa tubuh mereka berdua. Mempermainkan ujung rambut Bulan yang panjang tergerai. Sebagian malah terbang menutup wajah. Tangan Rico refleks terangkat hendak membetulkan ujung rambut nakal di wajah Bulan, saat sebuah suara memanggil nama wanita itu.
Serta-merta keduanya menoleh ke asal suara. Seorang pria tinggi dengan rambut cepak berdiri di sana dengan tatapan tajam.
"Jangan gila kamu, Rico! Bagaimana aku bisa menikah lagi denganmu. Aku ini, wanita bersuami!" desis Bulan sepelan mungkin. Kemudian melangkah menuju seorang Pria pemanggil namanya.
"Kalau begitu, kuburlah harapanmu untuk bertemu Rindu, selamanya!" teriak Rico sebelum Bulan mencapai Langit--sang suami--. Langkah wanita itu tentu terjeda, ia berbalik, tetapi Rico sudah pergi meninggalkan tempat itu.
"Rindu," gumam Bulan lirih seraya terus menatap punggung lelaki yang pernah singgah di hatinya. Rico semakin menjauh, langkahnya pasti tanpa beban. Seolah-olah tidak menorehkan luka di hati seorang wanita.
Bulan menoleh, saat sepasang tangan menyentuh pundaknya dari belakang. Wajah pria berumur tiga puluh limaan tertangkap netranya, begitu dekat.
"Mas Langit," lirihnya seraya membalikkan tubuh, menghadap sang pria, yang langsung menarik tubuhnya, membawa dalam pelukan.
"Rindu, Mas," lanjut Bulan dalam pelukan sang suami.
"Sabar sayang, Tuhan belum mentakdirkan kalian bertemu."
Sungguh, Langit sangat tahu betapa Bulan merindukan putrinya. Rasa bersalah terbit di hatinya, karena lima tahun membina bahtera rumah tangga, ia belum bisa memberi Bulan seorang anak.
Tiba-tiba Bulan melepaskan pelukan, berlari ke arah Rico pergi. Langit mengejar. Namun, Rico sudah jauh di ujung sana. Bahkan lelaki itu terlihat sedang menyebrang jalan raya.
Mata Bulan terbelalak lebar, menatap tak berkedip ke ujung sana. Di mana seorang gadis usia kisaran dua belas tahun, berlari kecil menghampiri Rico. Mereka tertawa bersama, sebelum kemudian berjalan bergandengan tangan.
Dada Bulan mendadak bergemuruh. Sebersit harapan hadir. Ia dapat menemui sang anak. Bulan yakin gadis remaja tadi, Rindu.
"Mas, ayo kejar mereka. Itu Rindu!" Dengan perasaan yang tak dapat digambarkan Bulan menggoyang tangan sang suami. Lalu menariknya. Namun, tangan Langit melepaskan pegangan tangannya.
"Kenapa, Mas? Ayo kejar mereka! Itu Rindu. Anakku!" Bulan menatap heran, suaranya meninggi.
Langit menggeleg, sebelum berucap, "kalau kamu mengejar Rindu, berarti kamu melepas aku, Bulan!"