BAB 5 AWAL PERJUMPAAN
"Mas, maaf," lirih Bulan dengan parau. Ditatapnya dengan nanar wajah sang suami yang terlihat cemas. Entah bagaimana ia bisa berada di rumah.
Langit mengusap wajah dengan kasar. Kecemasan belum sepenuhnya hilang, walaupun Bulan sudah sadar.
Masih terbayang dalam ingatan lelaki itu, pertemuan pertamanya dengan Bulan. Di malam yang gelap, di pinggiran kota. Seorang wanita bersiap loncat dari jembatan yang dibawahnya mengalir sungai deras, dengan bebatuan yang siap menyambut bila saja tubuh wanita itu jadi terjun bebas.
Langit yang saat itu pikirannya tengah kacau juga, pasca perceraian yang diakibatkan tidak hadirnya buah hati dalam pernikahan yang sudah lama dibina, ingin menenangkan pikiran.
Niat hati ingin menyepi, menikmati kesendirian dengan menghirup udara malam yang bisa membantu menenangkan pikirannya, Langit turun dari mobil yang ia parkir di pinggir jembatan. Matanya memicing saat melihat sesosok wanita yang berdiri di pinggir pembatas jembatan dan siap loncat.
Bola mata lelaki itu kemudian melebar, setelah terlihat jelas pemandangan di depannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari menghampiri dan berusaha meraih tubuh langsing yang siap lompat itu.
"Hei, tunggu! Jangan lakukan! Itu dosa!" Langit menangkap tubuh yang kaget karena ada yang memergoki aksinya.
"Lepas! Siapa kau? Biarkan aku loncat!" Bulan yang kaget berteriak dan meronta.
Langit tidak mempedulikan protes dan perlawanan Bulan. Ia tetap memeluk dan menarik tubuh lemah itu hingga menjauhi pembatas jembatan.
Dengan sisa tenaga yang ada, Bulan terus meronta. Namun, apalah kekuatan seorang wanita lemah dengan tenaga sisa seperti dirinya.
Akhirnya, Langit berhasil membawa tubuh lemah itu menjauh dari pembatas jembatan. Kini tubuh Bulan berada dalam pelukan laki-laki yang terjengkang di atas trotoar karena aksi merontanya.
Napas keduanya tersengal akibat aksi penyelamatan dan pemberontakan itu. Bulan yang terbaring dengan punggung menempel di dada laki-laki itu, ingin melepaskan diri. Namun, sepasang tangan itu memeluk perutnya erat. Langit takut, wanita itu kembali nekat.
"Lepas! Kenapa kau menolongku?" lirih Bulan akhirnya dengan lemah.
Langit akhirnya melepaskan dekapannya, saat dirasa wanita itu lebih tenang. Bulan turun dari atas tubuh itu lalu duduk memeluk lutut. Kepalanya dibenamkan di antara kedua lututnya. Langit ikut duduk di sebelah wanita itu.
"Kenapa kau ingin melakukan itu? Tahukah kau kalau itu dosa besar?" Tanya Langit dengan lembut. Bulan tidak bereaksi, kepalanya tetap terbenam di antara kedua lututnya.
"Sebesar apapun masalah kita, bunuh diri bukan solusi. Selalu ada jalan untuk semua masalah. Bukankah kita diberi masalah sesuai kapasitas kita mengatasinya? Yakinlah Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan kita."
Hening. Ucapan Langit yang panjang, tidak ada tanggapan. Bahkan hingga beberapa lama, wanita itu tetap diam dengan wajah tersembunyi.
Terdengar helaan napas panjang dari mulut Langit.
"Ayo, aku antar pulang." Langit berdiri, tetapi wanita itu tetap diam dengan posisi yang sama.
Langit kembali berjongkok, setelah beberapa lama tidak ada reaksi.
"Di mana rumahmu?"
"Di neraka!" Jawaban terdengar dari balik wajahnya yang masih terbenam.
"Sssttt, tidak boleh berkata begitu. Kata-kata adalah doa."
"Lalu, tempat apa yang pantas untuk wanita kotor sepertiku? Katakan! Apa aku masih pantas untuk punya tempat di dunia ini?" Tiba-tiba wajah itu terangkat dan menatap tajam Langit. Wajahnya yang pucat tertimpa sinar rembulan yang juga pasi, jauh menggantung di atas sana.
Langit diam menatap mata penuh keputusasaan itu. Mata yang sebenarnya indah yang terbingkai dari wajah cantik penuh kedukaan.
Untuk beberapa lamanya mereka saling tatap dalam kebisuan, sebelum Langit berujar, "baiklah, aku akan membawamu ke rumahku."
***
"Mas, bagaimana aku bisa berada di sini?" tanya Bulan parau, setelah meneguk segelas air yang disodorkan Langit.
Laki-laki itu mengusap wajah dengan kasar. Sebenarnya, ia sangat kesal dengan sang istri.
"Aku sudah bilang, kamu bersabarlah, Bulan. Kenapa harus bepergian sendiri?" Tatapan itu penuh kekecewaan.
"Maaf, Mas. Tapi aku …." Bulan tak mampu meneruskan kata. Ia tahu dirinya salah. Pergi tanpa seizin Langit, dan ini bukan kali pertama ia pingsan di tempat umum. Sejak kejadian dulu, ia sering sekali mengalami keadaan seperti ini. Namun, selalu saat sadar sudah berada di rumah.
"Apa kamu masih mau mendengarkan, Mas?" Langit menatap lurus sepasang bola mata Bulan yang tampak sayu.
Wanita itu menatap nanar sang suami. Baginya, pertanyaan Langit tak ubah ancaman, atau ultimatum. Ia sangat takut. Takut kehilangan lelaki baik yang sudah mengangkatnya dari lembah kehancuran. Lelaki yang sudah menyelamatkannya dari kematian konyol. Bahkan, karena kebaikan Langitlah, ia masih bisa merasakan hidup normal dan layak.
"Kalau kamu masih mau mendengarkan apa kata suamimu ini, alhamdulillah. Kalau tidak, terserah. Mas, tidak akan mengatur atau ikut campur lagi akan hidupmu, semua terserah. Lakukan sesukamu. Mas, angkat tangan!" Kaki Langit hendak melangkah pergi setelah mengatakan itu, tetapi dengan cepat Bulan menyambar tangannya.
"Mas, maaf … aku mohon jangan berkata begitu. Aku janji tidak akan pergi mencari Rindu tanpa kamu temani. Jangan mengabaikan aku! Jangan pernah meninggalkanku!" Bulan menciumi punggung tangan sang suami yang sudah basah karena air matanya.
Langit menatap wajah basah itu lama, sebelum menarik napas panjang berkali-kali. Tangannya yang bebas, terangkat mengelus kepala Bulan. Sungguh Langit sangat mencintai wanita itu, tetapi terkadang sikap Bulan sulit dikendalikan.
"Mas, janji ya, tidak akan meninggalkanku?" Wajah Bulan menengadah menatap sang suami yang berdiri di samping ranjang tempatnya duduk saat ini. Mata wanita itu bergerak-gerak tanda permohonan. Langit gemas melihatnya. Gegas lelaki itu, mendudukkan diri di samping Bulan.
Langit akui, ia sangat lemah di hadapan sang istri. Apalagi bila Bulan sudah memasang wajah memelas dengan mata bulatnya yang lucu. Manalah ia tega menyakiti hati wanita itu dengan tidak memenuhi permintaannya.
Langit mencubit mesra pucuk hidung Bulan, sebelum meraih tubuh itu untuk dibawa dalam pelukan. Namun, belum sempat mereka berpelukan, suara bel pintu depan terdengar nyaring beruntun, pertanda ditekan berulang-ulang.
Mereka saling pandang sejenak sebelum Langit bangkit dan keluar kamar.
Mereka memang tidak memiliki ART, hanya ada pekerja yang datang sesekali, di hari yang telah ditentukan. Karena belum ada anak, Bulan merasa masih sanggup menghandle pekerjaan rumah sendiri.
Setelah dirasa, sang suami lama tidak kembali, Bulan mulai heran. Dengan hati-hati wanita itu turun dan berjalan ke depan.
Mata Bulan memicing, pendengaran ia tajamkan saat mendengar tangisan seseorang dari depan. Semakin mendekati pintu utama, suara tangisan itu semakin jelas, dan Bulan yakin, itu suara seorang wanita.
Bulan mempercepat langkah. Entahlah, tiba-tiba dadanya terasa bergemuruh, dan sesampainya di teras, pemandangan yang membuat dada sesak terpampang nyata. Seorang wanita menangis dengan menenggelamkan wajahnya di dada Langit. Sementara lelaki itu hanya berdiri mematung dengan kedua tangannya kaku di samping badan.