Bab 5.1 - YOUR LOVED AND MY WOUND
Suara langkah kaki itu menggema di lorong rumah sakit saat malam menjelang. Andrew mendapatkan telepon bahwa ada pasien dengan kondisi darurat harus segera di operasi olehnya. Hingga malam itu, dimana dia harusnya menghabiskan malam dengan makan malam romantis bersama Arra pun berubah menjadi kepanikan karena dia harus segera sampai di rumah sakit dalam waktu 10 menit.
Arra yang saat itu sudah siap di depan pintu untuk berangkat bersamanya pun merelakan Andrew pergi begitu saja ke rumah sakit tanpa sedikitpun mengeluh pada lelaki itu.
“Dia lebih membutuhkanmu daripada aku sekarang…”
Itu yang di ucapkan gadisnya beberapa menit lalu sebelum memberikan kecupan di bibir Andrew.
Iya, Arra dan Andrew akhirnya resmi menjalin kasih setelah perjuangan Andrew yang terus saja meyakinkan Arra untuk bisa jatuh ke dalam pelukannya dan menerima cintanya. Baru satu bulan sejak makan malam terakhir mereka saat Andrew kembali meminta Arra untuk menjadi kekasihnya di tepi sungai Thames. Dan Arra, yang memang tak lagi memiliki alasan untuk menolak cinta Andrew setelah semua yang di lakukan oleh lelaki itu untuknya.
Andrew bahkan tersenyum tipis saat mengingat ucapan Arra tadi. hingga tanpa sadar dia sudah sampai di unit gawat darurat rumah sakit dan segera di sambut beberapa perawat.
“Bagaimana kondisi vital pasien? Apa yang terjadi padanya?” tanya Andrew sambil menerima file dari perawat tersebut.
“Matanya mengalami kebutaan karena Glukoma dokter. Dia mengkonsumsi banyak sekali minuman keras saat masa penyembuhan penyakit Diabetesnya dan juga sering melewatkan waktu minum obatnya begitu saja akibat mabuk. Keluarganya melarikan dia ke rumah sakit setelah bangun tidur malam ini dia tidak bisa melihat apapun,” lapor perawat itu. “Untuk kondisi vital lainnya masih baik, kecuali kadar gula darahnya yang sangat tinggi dokter,” lanjut si perawat.
Andrew menghentikan langkahnya dan menatap si perawat.
“Kau menyiapkan ruang operasi saat kau sudah tahu bahwa kadar gula darahnya masih sangat tinggi?” tanya Andrew.
“M-maafkan saya dokter,” Andrew memejamkan mata dan berbalik lalu berjalan menuju pasien yang tengah di tangani oleh beberapa dokter umum.
Matanya mengernyit saat melihat data pasien yang menunjukkan usianya yang masih sangat muda, 31 tahun dan dia lelaki yang tampan jika di lihat secara langsung maupun lewat foto. Dengan tubuh kekar yang terlihat begitu sehat, Andrew cukup sangsi kalau lelaki yang di hadapannya memiliki sakit diabetes yang cukup parah.
“Apa kalian juga sudah memanggil spesialis penyakit dalam?” tanya Andrew.
“Sudah dokter. Beliau akan segera sampai,” jawab salah satu dokter umum.
Andrew mendekat ke arah pasiennya, lalu dengan lirih berbisik, “tenanglah, kau ada di tempat yang tepat. Kami akan membantumu semaksimal mungkin,” ujarnya untuk menghentikan teriakan lelaki muda itu.
“Gadisku di rebut olehnya! Aku di racuni! Ini salah! Aku tak pernah sakit dokter! Tolong aku! Wanita picik itu yang membuatku buta!” teriak lelaki itu secara terus menerus.
“Iya, aku tahu. Aku akan membantumu. Tapi kau harus tenang dulu, percayalah padaku…” jawab Andrew dan memberi isyarat untuk memberikan suntikan insulin pada lelaki itu sekaligus obat penenang.
“Pantau terus kondisi vitalnya dan lakukan ct scan secara menyeluruh pada bagian mata dan kepalanya. Laporkan padaku segera dan konsultasikan juga dengan bagian penyakit dalam untuk tindakan selanjutnya,” ucap Andrew yang di angguki oleh perawat itu. setelahnya, Andrew memilih untuk pergi dari sana dan menuju ruangannya di lantai dua.
Namun, betapa terkejutnya lelaki itu saat dia mendapati Arra sudah duduk di meja tamu di dalam ruangannya dengan beberapa makanan dan minuman di atas meja.
“Oh!” Arra terkejut dan terdiam pada posisinya hingga Andrew mendekat.
“Kau disini sayang, ada apa?” tanya Andrew dan merengkuh tubuh Arra ke dalam pelukannya.
“Kau belum sempat makan malam, karena kita sudah berjanji akan makan malam bersama tadi. Aku takut kau akan lupa makan kalau sudah sibuk bekerja, makanya aku masakkan sesuatu tadi dan membawanya kesini,”
“Kau memasak ini semua?” tanya Andrew tak percaya.
“Tidak juga, ini hanya makanan instan yang di panaskan dalam oven. Tapi aku yang menyiapkannya sendiri, sama saja kan?” ujar Arra dan membuat Andrew tersenyum.
“Manis sekali…”
“Apa yang manis? Masakannya?”
“Bukan. Tapi kau yang manis, sangat manis…” ucap Andrew dan mengecup bibir Arra.
“Andrew, ini rumah sakit!” protes Arra.
“Aku tahu, dan ini juga ruanganku,” jawab Andrew.
“Makan Andrew, jangan menciumku terus…” pinta Arra saat Andrew terus saja mengecup bibirnya tanpa henti dan terkekeh setelahnya.
“Bibirmu lebih manis daripada makanannya.” Andrew tersenyum dan kembali mengecup bibir Arra hingga gadis itu beringsut menjauh.
“Aku pulang kalau kau begini terus dan tidak mau makan!” ancam Arra hingga membuat Andrew terdiam.
“Iya sayang, maaf… jangan menjauh seperti itu dariku, oke?” Andrew meraih tangan Arra dan memintanya mendekat. Lalu dia segera mengambil satu sendok penuh nasi ke dalam mulutnya di ikuti beberapa makanan pendamping lainnya yang ada di atas meja.
“Enak?” tanya Arra yang mendengar suara kecapan Andrew.
“hmm… kau belum makan juga kan? Ayo makan bersamaku, apa aku harus menggunakan cahaya temaram dan lilin juga untuk membuat ini jadi lebih romantis?” kata Andrew dengan senyuman di bibirnya.
“Tidak perlu hal itu untuk membuatku terkesan Andrew. Kau jelas tahu soal itu,” jawab Arra.
Andrew pun mengangguk dan segera menyuapi Arra dengan makanan yang sama menggunakan sendoknya.
“Enak kan?” tanya Andrew dan Arra mengangguk setuju sambil tersenyum.
“Kau tahu apa yang membuatnya jadi terasa jauh lebih enak, meskipun ini hanya makanan instan?” tanya Andrew lagi.
“Entahlah, apa memangnya?”
“Karena kita memakannya bersama dan karena kau menyiapkan ini dengan penuh cinta.” Arra tersenyum semakin lebar mendengar jawaban Andrew. Malam itu, mereka melewatkan makan malam romantis dengan lilin dan alunan music. Tapi menggantinya dengan makan malam sederhana, di iringi suara sirine ambulans dari luar rumah sakit.
***
“Aarrghhh… kepalaku sakit!” lirih Arrio pagi itu, saat sinar matahari menelusup ke dalam kamarnya. Entah jam berapa semalam dia pulang hingga sudah berada di dalam kamarnya pagi ini.
Oh! Tunggu dulu!
Arrio tidak sedang berada di rumah semalam. Dia ada di London, di kamar khusus yang ada dalam sebuah klub malam bersama Illona kekasihnya, dan bersenang - senang. Tapi kenapa dia ada disini sekarang, tanpa Illona di sisinya?
Arrio yang terkejut segera bangkit dan merasakan kepalanya yang begitu sakit seperti di tusuk dan pandangannya yang mulai kabur.
“Kau sudah bangun kak?” tanya Aksel yang masuk ke dalam kamar sang kakak dengan membawa nampan berisi sarapan pagi dan susu.
“Aksel, tolong tutup tirainya, aku sangat tak tahan dengan cahaya matahari itu,” pinta Arrio yang di lakukan segera oleh Aksel. Lalu lelaki itu menyalakan lampu sebagai ganti penerangan di sana.
“Sudah, kau bisa membuka matamu sekarang,” ucap Aksel.
Perlahan, Arrio mulai membuka matanya dan membiasakan diri dengan cahaya yang masuk ke dalam matanya.
“Aku di rumah?” tanya Arrio tak percaya dan Aksel mengangguk.
“Semalam kau pulang, bugil, mabuk, dan membuat keributan,” jawab Aksel tanpa menatap wajah sang kakak.
“Pulang? Bugil? Apa maksudmu?” tanya Arrio.
“Kau tidak ingat?” tanya Aksel balik.
“Kalau aku ingat, aku tak akan bertanya padamu!” jawab Arrio dan Aksel mengerti.
“Semalam ada yang mengemudikan mobilmu sampai ke rumah. Kau tiba saat hari hampir subuh dan saat Jason membuka pintu mobil, kau sudah di dalam mobilmu tanpa busana dan bau minuman keras yang sangat menyengat.” Jelas Aksel, “kau tidak sedang kena rampok atau semacamnya kan? Kami panik sekali semalam. Tapi kami menunggu kau bangun untuk memutuskan apakah perlu memanggil polisi atau tidak, karena tak ada barang berharga yang hilang,” lanjut Aksel.
“Aku? Begitu?” Arrio benar – benar takjub dengan jawaban Aksel.
“Kau benar – benar tak ingat semua itu? apa yang terakhir kali kau lakukan sih kak. Kemana kau pergi?” tanya Aksel,
“Aku… tunggu! Dimana Illona? Apa dia mencari dan meneleponku?” tanya Arrio.
“Tidak ada telepon sama sekali,” tukas Aksel lalu bangkit dari ranjang Arrio.
“Makanlah sarapanmu dan mandi. Kamarmu bahkan penuh dengan aroma alkohol, menjijikkan!” gerutu Aksel.
***