Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3.2 - YOU AND ME

“Dokter Andrew, sepuluh menit lagi waktunya untuk melakukan terapi,” ucap salah satu perawat di sebuah rumah sakit besar di Oxford.

“Oh, kau benar. Apa dia sudah datang?” tanya Andrew.

“Sepertinya sudah, tadi dia bilang ingin ke kantin terlebih dahulu untuk membeli minum sebelum bertemu dengan anda,” jawab si perawat.

“Oh ya sudah, biar aku yang menemuinya,” Andrew menutup berkas yang ada di tangannya dan segera keluar dari ruang rapat untuk berjalan menuju kantin. Tapi belum sampai ke tempat yang di tuju olehnya. Andrew sudah menemukan apa yang dia cari.

Chiarra.

Gadis manis dengan tinggi tubuh yang hanya sebatas pundak sang dokter dengan perawakan mungil dan menggemaskan. Rambut hitamnya yang tergerai terlihat sedikit tertiup angin yang masuk lewat jendela, bibir mungil dan tipis, juga matanya yang bulat dengan bola mata berwarna coklat sangat cantik di mata Andrew. Meskipun sayangnya, mata cantik itu tak bisa melaksanakan tugasnya untuk membiarkan Chiarra melihat keindahan dunia lagi.

Ya, sejak kecelakaan yang di alami oleh Chiarra dan keluarganya dua tahun yang lalu. Gadis itu kini hidup sebatang kara di sebuah apartment yang di tinggalkan oleh keluarganya dan hidup sebagai mahasiswa di Oxford sekaligus meneruskan bisnis toko buku yang di miliki oleh sang ayah untuk bisa bertahan hidup. Ayah dan ibunya meninggal dunia dalam kecelakaan itu dan Chiarra harus kehilangan penglihatannya.

Dan disitu pulalah awal dimana Andrew menemukan Chiarra. Gadis cantik yang begitu kuat tapi juga lemah di satu waktu yang sama.

Dokter Andrew mendekati Chiarra dan berhenti tepat di hadapan si gadis sampai tak sengaja, Chiarra menabrak tubuh tinggi Andrew.

“Dokter Andrew?” tanya Chiarra.

“Kau mengenali aku?” tanya Andrew.

“Hahaha, tentu saja dokter. Aku hafal wangi parfum yang dokter pakai,” jawab Chiarra.

“Hanya karena itu? bagaimana kalau ada wangi parfum sama yang di pakai oleh orang lain?” tanya Andrew tak percaya.

“Maka aku akan mendengarkan suara detak jantung atau mungkin nafasnya,”

Andrew mengernyit, “bagaimana bisa?”

“Jantung dokter selalu berdegup lebih cepat dari milikku,” jawab Chiarra lagi dengan senyum manis di bibirnya.

“Astaga… kau pandai sekali membuat rayuan padaku sekarang ya!”

“Hahahaha… maafkan aku dokter,”

“Ya sudah kalau begitu. Nona Chiarra, kau siap untuk sesi terapi kita hari ini kan?” tanya Andrew dengan senyumnya.

“Tentu dokter, aku selalu siap untuk itu!” tukas chiarra begitu bersemangat.

“Bagus! Kemarikan tanganmu, dan ikuti aku!” Andrew meraih tangan Chiarra dan memasukkannya ke dalam saku jas dokter yang dia pakai, lalu berjalan berdampingan dengan Chiarra yang menunduk merasakan jantungnya yang berdegup kencang.

“kenapa tanganmu sangat dingin hari ini, hmm?”

“Cuacanya dingin di luar,” jawab chiarra.

“Lalu kenapa tak pakai mantel Arra…” suara Andrew yang sangat dalam dan lembut itu sekali lagi membuat hati Arra bergetar.

“Aku lupa. Aku takut kalau aku terlambat datang untuk terapi dan membuat dokter menunggu lama,” jawab Chiarra lagi.

Andrew menghentikan langkahnya dan membuka pintu ruangannya lalu mengajak Arra duduk di kursi.

Dokter muda itu kemudian berlutut di hadapan Arra yang tengah duduk di kursinya dan memandang wajah Arra yang begitu polos tanpa make up.

“Kau tahu kan, kalau seberapa lamanya pun kau datang. Aku pasti akan menunggumu. Aku juga tak akan marah padamu Arra. Jadi jangan gunakan alasan yang sama untuk tidak mempedulikan dirimu sendiri besok. Kau tahu, cuaca akhir – akhir ini sedang tak menentu, dan itu sangat tidak baik untuk kesehatanmu…”

“Aku tahu dokter, maafkan aku…”

“Hmm… aku buatkan kau coklat hangat dulu sebelum kita mulai terapinya,”

“Hah? Tapi dokter, apa itu tidak akan terlalu lama? Memangnya dokter tidak ada praktek hari ini?” tanya Arra.

“Tidak, aku tak punya jadwal praktek hari ini,” jawab Andrew.

“Dokter tidak melakukannya dengan sengaja kan?” tanya Arra lagi.

“Apa maksudmu dengan ‘melakukan dengan sengaja’?” tanya Andrew balik sambil mengaduk coklat hangat di dalam mug-nya.

“maksudku, dokter tidak akan dengan sengaja membatalkan jadwal praktek dokter hanya untuk terapiku hari ini kan?” jawab Arra sekaligus bertanya.

Mendengar ucapan Arra, Andrew menghentikan gerakan tangannya yang tengah mengaduk dan terdiam sejenak.

“Kenapa berpikir begitu?” tanya Andrew lagi.

“Aku tak berpikir begitu awalnya, tapi… banyak yang bicara di belakangku dan mengatakan hal semacam itu dokter. Katanya, kau selalu memperlakukanku dengan istimewa, sampai – sampai… kau rela mengosongkan jadwal praktekmu setiap kali aku terapi,” jelas Arra.

Andrew mendekat dan memberikan coklat hangat itu pada Arra dan kembali berlutut di hadapan gadis itu. mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Arra.

“Tidak perlu percaya atau mendengarkan ucapan orang lain yang bahkan tidak mengenalmu atau kau kenal Arra. Aku sengaja memintamu melakukan terapi di hari yang memang aku kosong saat itu. itu namanya management waktu,” jawab Andrew.

“Jadi bukan karena aku?”

“Hmm… ini memang karena kau. Tapi kau juga kan pasienku, aku tak mungkin memberikan jadwal pada pasienku yang membuatnya terbentur dengan jadwal pasien lainnya kan?” ujar Andrew lagi.

“Iya, tidak mungkin…”

“Nah… itu sebabnya aku bilang, kalau lebih baik kau tidak mendengarkan omongan orang luar yang bahkan tidak benar,” ujar Andrew.

“Iya dokter. Uhm.. jadi hari ini kita akan belajar apa?” tanya Arra.

“Aku banyak memikirkan ini, karena kau suka membaca dan menulis bahkan jauh sebelum kecelakaan itu. bagaimana kalau kau coba belajar menulis dengan huruf braille saja?” ucap Andrew lagi.

“Menulis di komputer maksud dokter?” tanya Arra.

“Hmm.. kau bisa menulis atau mengetik apapun di sana, dengan huruf braille,”

“Tapi dokter. Aku bahkan belum pandai menulis dengan tanganku. Bagaimana mungkin aku bisa menulis huruf braille itu dengan komputer atau alat canggih semacam itu?” Arra terlihat begitu ragu.

“Untuk itu ada aku disini, aku yang akan mengajarimu semua itu. dan… uhm, aku juga berpikir kalau kau bisa menciptakan sesuatu dengan tulisanmu itu. jelas itu akan sangat luar biasa Arra…”

“Menciptakan? Barang maksud dokter?”

“Hmm… satu barang yang bisa di nikmati banyak orang. Terutama orang seperti dirimu. Semacam novel cinta mungkin? Kau bisa menjualnya di tokomu. Kau tahu kan, buku semacam itu cukup langka. Buku dengan huruf braille biasanya hanya berisi tentang itu – itu saja. Membosankan dan tidak menarik,” jelas Andrew.

“Aku tidak yakin dokter. Aku memang penulis dulu, tapi itu jauh sebelum aku mengalami kecelakaan dan kehilangan mataku,” keluh Arra.

“Dengar Arra. Ada orang yang bilang padaku. Bahwa kalau satu hal di ambil darimu, Tuhan akan memberikan yang lainnya sebagai gantinya. Dan aku melihat itu dalam dirimu…” Andrew kini mendekat dengan wajah yang hampir tak berjarak dengan Arra.

Nafas hangat Andrew dengan lembut menerpa wajah Arra. Meskipun tidak tahu persis bagaimana posisinya saat ini, jantung Arra kembali berdegup kencang meskipun kedua kelopak matanya masih terbuka lebar. Hingga Andrew tak henti memandang setiap lekuk wajah gadis itu dan kedua matanya yang begitu indah.

“Kau kehilangan penglihatanmu dan membuat duniamu terasa gelap Arra. Tapi kau, tidak pernah kehilangan jari dan tanganmu untuk menulis dan menciptakan sesuatu. Bahkan… kemampuan otak dan imajinasi yang begitu hebat yang kau miliki itu tak pernah lekang meski kau kehilangan cahaya di matamu…” jemari Andrew kini menyentuh tangan Arra dan menggenggamnya erat. Menyebarkan rasa hangat dan cenderung panas ke seluruh tubuh gadis itu.

“Dokter akan membantuku dan tidak akan meninggalkan aku sendirian untuk memulai ini semua kan?” tanya Arra.

Andrew tersenyum lembut dan mengusap kepala Arra.

“Tidak akan. Aku pasti akan selalu di sisimu, Arra. Percayalah padaku,”

Arra tersenyum mendengar jawaban Andrew. Senyum yang begitu manis.

“Kalau begitu aku akan mencobanya…” tukas Arra dengan keyakinan penuh.

***

Sinar matahari begitu terang dan hangat di musim semi ini. Tidak seperti biasanya yang di selingi oleh embun basah yang melembutkan udaranya. Suara kicau burung gereja yang nampak beterbangan di atas gedung pun terdengar hampir di seluruh tempat, menggantikan suara binatan malam yang sebelumnya terjaga.

Arrio, yang tertidur pun rasanya terganggu oleh suara kicauan yang terus saja dia dengar.

“Hmmmhhh…” tubuhnya menggeliat kecil karena suara yang dia dengar.

“Aneh sekali, kenapa ada burung gereja di tempat semacam ini,” gumam Arrio yang ingat bahwa dia berhenti di salah satu tempat kumuh dengan beberapa gelandangan untuk tidur semalam.

“Bangun Arrio!” suara seorang laki – laki terdengar di telinga Arrio.

“Arrio! Bangun!” lagi, suara itu terdengar lagi. Begitu jelas, hingga Arrio akhirnya membuka matanya perlahan.

Dengan cekatan, Arrio segera bangkit dan terduduk lalu menatap sekeliling yang tampilannya begitu berbeda dari semalam saat dirinya akan tidur. ini bukan lagi tempat kumuh dimana banyak gelandangan. Tapi ini adalah kamar dengan interior mewah dan klasik dengan dirinya yang berada di atas ranjang besar.

“Dimana ini…” Arrio menatap lagi sekelilingnya, hingga dia menangkap satu sosok yang datang mendekati dirinya dengan raut wajah cemas.

“Akhirnya kau bangun juga,” jawab sosok itu.

Arsen…

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel