Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####7

Di luar rumah, Pak Jamal berdiri dengan posisi bertolak pinggang. Matanya melotot, melihat ke arah rumah Naya. Kumis tebal yang menghiasi wajah membuatnya terlihat semakin menyeramkan. Dia berteriak dan terus mencak-mencak. Kesal pada Tati, yang susah membayar hutang. Padahal, dia tahu sendiri bagaimana keadaan Tati, janda tua yang hanya bergantung hidup pada tanaman sendiri di belakang rumah.

Supir dan asisten pribadi Rama hanya diam, karena tidak tahu harus bertindak apa. Mereka tidak akan melakukan apapun jika tidak disuruh oleh Rama. Mereka takut melakukan kesalahan yang bisa saja membuat Rama marah.

Namun tak lama, Rama pun keluar dari rumah. Tubuh jangkungnya sedikit merunduk saat melewati pintu. Sosoknya yang memang asing bagi Pak Jamal membuat Pak Jamal sendiri keheranan.

"Saya yakin ini bukanlah hutan. Jadi, Anda tak perlu berteriak seperti itu." Rama berucap dengan suara yang dingin dan tenang. Tak ada rasa takut yang terlihat di wajahnya. Walaupun wajah Pak Jamal menyeramkan, tetap saja tinggi tubuh Rama tak mampu diintimidasi oleh Pak Jamal.

"Kau siapa?" Pak Jamal bertanya dengan dagu terangkat, pose menantang. Rama hanya menaikkan alis sebelah melihat sikap Pak Jamal. Ah, ternyata bukan hanya ibu tirinya yang sudah tua yang menyebalkan. Pria tua di hadapannya pun tak jauh menyebalkan.

"Ada perlu apa Anda sampai berteriak seperti itu?" Rama tak menjawab, dan malah balik bertanya.

"Urusanku dengan orang pemilik rumah ini! Bukan denganmu!" Pak Jamal berteriak marah di depan Rama. Teriakannya memancing para tetangga yang penasaran. Karena tak mau dilihat banyak orang, Rama pun mengajak Pak Jamal untuk masuk ke dalam rumah.

"Lebih baik kita bicarakan di dalam." Setelah berkata seperti itu, Rama pun kembali masuk ke dalam rumah. Pak Jamal pun mengikuti langkah Rama memasuki rumah Tati.

Di ruang utama, Tati dan Naya sudah menunggu dengan perasaan cemas. Mendengar teriakan Pak Jamal membuat mereka ketakutan.

"Tati! Aku sudah memberimu waktu satu minggu! Dan sekarang sudah lewat! Tapi kau masih belum membayar hutangmu!" Pak Jamal, duduk di hadapan Naya dan neneknya dengan telunjuk mengacung. Menuduh Tati yang menurutnya selalu ingkar untuk bayar hutang.

"Berapa hutangnya?" Rama bertanya, masuk ke dalam obrolan. Pak Jamal menatap Rama dengan sinis. Dia tidak tahu siapa Rama, dan dia jelas heran karena Rama ikut campur.

"15 juta! Belum dengan bunganya!" Pak Jamal menjawab dengan sentakan kasar. Menatap Rama dengan tatapan remeh. Tak tahu, jika sebenarnya Rama bahkan jauh lebih kaya darinya.

"Jika di total dengan bunganya, jadi berapa?" Rama kembali bertanya. Nada suaranya tetap tenang seperti air yang mengalir. Tak terlihat takut atau pun terintimidasi dengan sikap Pak Jamal.

"Memangnya kau siapa hah?"

"Saya calon suami Naya. Dan saya yang akan membayar hutang mereka," jawab Rama. Pak Jamal terkejut mendengar itu.

"Silahkan di total. Saya akan melunasinya," ucap Rama lagi. Reaksi Pak Jamal langsung berubah. Dia jadi terlihat gugup dan kikuk saat mengeluarkan buku yang berisi catatan hutang orang-orang padanya.

"Ini jumlahnya," ucap Pak Jamal ketus, memperlihatkan jumlah yang sudah dia tulis. Rama melihatnya, dan mengangguk pelan. Kemudian dia berjalan keluar, menemui asisten pribadinya. Mereka berbincang sebentar, dan tak lama kemudian Rama kembali masuk ke rumah.

"Asisten saya mengambil uangnya dulu di Bank. Harap menunggu," ucap Rama. Pak Jamal diam dan memalingkan wajah. Sedangkan Naya dan Tati, hanya bisa diam. Dalam hati, mereka berdua merasa bersyukur dan berterima kasih karena ada Rama yang membantu mereka.

Setelah beberapa menit terlewati, asisten Rama pun datang. Dia menyerahkan sejumlah uang yang dibungkus amplop coklat. Tanpa membukanya dulu, Rama langsung menyerahkan uang itu pada Pak Jamal.

"Silahkan dihitung." Rama mempersilahkan. Pak Jamal dengan tidak sabar membuka amplop itu. Mengeluarkan uangnya, dan mulai menghitungnya. Wajah dan matanya serius pada tumpukan uang di hadapannya.

"Oke. Hutangmu lunas. Lain kali, kalau tidak sanggup membayar, jangan mengutang." Pak Jamal masih mempertahankan sikap arogannya. Karena urusannya sudah selesai, dia pun segera pergi dari sana. Terlihat jelas dari wajahnya kalau dia bahagia karena mendapatkan banyak uang dari persenan bunga yang dia minta.

"Nek, sekarang Nenek bisa tenang. Hutang Nenek sudah lunas," ucap Naya seraya mengusap lembut punggung Tati. Tati hanya bisa mengangguk lesu. Dia menunduk, merasa malu pada Rama yang sudah membantunya.

"Anda tak perlu merasa bersalah. Permintaan saya hanya satu. Tolong restui hubungan kami," ucap Rama yang mengerti isi hati Tati. Tati menatap Rama sesaat dan menghela nafas pelan.

"Baiklah. Terserah kalian saja."

***

Sore hari, Rama langsung membawa Naya beserta adik dan neneknya ke Jakarta. Karena kondisi Firda yang sedang sakit, Rama pun langsung membawa Firda ke rumah sakit. Sedangkan asisten pribadi Rama tetap tinggal di kampung Naya untuk mengurus surat kepindahan. Dia juga diberikan tugas untuk merenovasi rumah Naya secara besar-besaran.

Karena jalanan yang tak terlalu macet, perjalanan mereka pun tak terlalu lama seperti saat berangkat. Sesampainya di rumah sakit, Firda langsung ditangani dengan cekatan oleh para perawat.

"Nay, pasti biayanya mahal," bisik Tati pada Naya. Naya tersenyum kecil sambil menggenggam tangan neneknya.

"Jangan khawatir, Nek. Mas Rama akan mengurus biayanya," jawab Naya berusaha menenangkan neneknya.

"Nay, kenapa dia baik sekali? Padahal kalian belum jadi suami istri," ucap Tati lagi. Rupanya, dia masih merasa penasaran dan heran.

"Itu sebagai bukti pada Nenek kalau niat Mas Rama untuk menikahi Naya memang tulus," jawab Naya lagi. Ah, dia memang harus berbohong. Apalagi kalau bukan itu jawabannya? Yang penting neneknya percaya dan tak khawatir.

"Tapi, nenek lihat dia itu kurang sopan," ucap Tati.

"Itu memang sikapnya, Nek. Tidak semua orang bisa sesuai dengan keinginan kita kan?" Tati terdiam mendengar ucapan Naya. Memang benar apa yang diucapkan cucunya itu.

Dari kejauhan, terlihat Rama yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tubuh tegap dan wajah seriusnya membuat orang yang berpapasan melirik penasaran. Wibawanya benar-benar terasa.

"Firda sudah ditangani. Administrasi juga sudah diurus. Lebih baik kalian pulang dulu ke hotel dan membersihkan diri. Nanti malam kalian bisa ke sini lagi," ucap Rama. Tati terlihat keberatan meninggalkan Firda sendiri. Tapi, Naya berusaha membujuk.

"Mandi dan makan dulu, Nek. Selesai itu kita ke sini lagi," ucap Naya. Tati tak bisa menolak. Dia pun akhirnya pasrah mengikuti Rama dan Naya.

"Untuk sementara, kalian akan menginap di hotel. Setelah kita resmi menikah, kita akan tinggal di rumah yang sudah aku beli," ucap Rama menjelaskan rencananya. Naya dan Tati hanya mengangguk. Walaupun terlihat dingin dan kurang sopan, tetap saja Rama sudah baik hati membantu mereka. Melunasi hutang Tati, mengurus biaya pengobatan Firda, juga merenovasi rumah mereka di kampung.

Naya kadang tak mengerti dengan jalan pikiran Rama. Rama benar-benar tak segan mengeluarkan uang untuk dia maupun adik dan neneknya. Padahal, Naya belum melakukan apapun untuk Rama. Namun, bagaimana pun juga Naya tetap akan berterima kasih dalam hati pada Rama yang sudah baik pada dia dan keluarganya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel