#####6
Semalaman, Naya tinggal di kamar hotel yang dipesankan oleh Rama. Semalam juga, Rama tak datang lagi. Dan ternyata, di depan pintu memang ada seorang penjaga. Karena lapar, Naya pun meminta makanan pada pria itu.
Pagi tadi, Rama datang dengan setelan kerjanya yang rapi berwarna abu-abu. Dia meminta Naya untuk bersiap secepatnya, karena mereka akan pergi ke desa tempat tinggal Naya. Untuk membayar hutang nenek Naya, mengurus kepindahan Naya dan keluarganya, juga menemui nenek Naya untuk mengatakan niat mereka yang akan menikah.
Naya sebenarnya bingung. Pasti neneknya akan curiga nanti. Dua minggu tinggal di Jakarta tiba-tiba dia bawa calon suami. Ah, pasti berita itu akan cukup geger di kampungnya nanti.
Entah nanti orang-orang akan berpikiran dia hamil diluar nikah, atau dia jadi istri muda. Mengingat usia dia dan Rama yang cukup jauh pasti banyak yang akan berpikiran buruk terhadapnya.
Tapi, Naya kembali mengingat ucapan Rama yang berkata akan membawa nenek dan adiknya ke Jakarta. Jadi, jika pun ada berita buruk tentangnya menyebar di kampung, nenek dan adiknya tak akan merasa tertekan.
"Berapa hutang nenekmu?" Rama bertanya pada Naya yang duduk di sampingnya. Kini, mereka sedang berada di dalam mobil menuju kampung halaman Naya.
"Aku tidak tahu," jawab Naya dengan gumaman pelan. Mereka duduk berdampingan di kursi belakang. Sedangkan di depan, ada supir pribadi Rama. Di belakang mobil yang mereka tumpangi ada satu mobil lagi yang dikendarai oleh asisten pribadi Rama. Orang yang akan mengatur segala berkas kepindahan Naya dan keluarganya nanti.
Jam demi jam terlewati. Karena perjalanan yang cukup jauh, Naya sampai tertidur di dalam mobil. Sedangkan Rama, sibuk dengan ponsel dan laptopnya. Mengurusi pekerjaannya walaupun tak berada di kantor.
Rasanya, memang Rama tergesa-gesa ingin segera menikah. Tapi, itu memang fakta. Tujuh minggu lagi, Leo akan menikah. Dan Rama tidak mau keduluan. Jika itu sampai terjadi, bisa-bisa hak waris perusahaan akan jatuh ke tangan Leo. Rama tak akan rela jika dua orang yang menghancurkan hidup dia dan ibunya menang.
Setelah cukup lama, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti. Naya pun spontan bangun dan menatap sekitar. Ternyata, mereka sudah sampai di kampung halaman Naya.
"Yang mana rumahmu?" tanya Rama.
"Maju sedikit saja. Rumahku yang warna catnya coklat tapi sudah pudar," jawab Naya. Mobil pun maju sedikit dan berhenti di depan sebuah rumah yang ciri-cirinya di sebutkan oleh Naya.
Tanpa banyak bicara, Naya pun segera turun. Rama ikut turun, dan mengikuti langkah Naya memasuki rumah sederhana itu.
"Nek?" Naya berteriak, memanggil neneknya. Tak lama kemudian, pintu kayu yang sudah tua itu terbuka. Menampakkan seorang wanita tua yang terlihat kelelahan.
"Nay, akhirnya kamu pulang." Nenek Tati tersenyum haru melihat kepulangan cucu sulungnya.
"Kondisi Firda bagaimana, Nek?" tanya Naya khawatir.
"Sekarang sudah mendingan, Nay. Nenek sudah membawanya ke puskesmas," jawab Tati. Perhatiannya teralihkan sesaat pada Rama yang berdiri di belakang Naya.
"Siapa, Nay?" tanya Tati penasaran. Naya menengok sesaat, kemudian menatap neneknya lagi.
"Nanti Naya jelaskan, Nek. Bolehkan kalau dia masuk?" tanya Naya hati-hati.
"Tentu saja," jawab Tati ramah. Naya menatap Rama kemudian mengangguk pelan. Memberi kode pada Rama untuk ikut masuk ke rumah sederhana yang dia tempati.
"Aku dan keluargaku memang tergolong masyarakat kurang mampu di sini. Maaf jika tempatnya membuatmu tak nyaman," ucap Naya sedikit kikuk. Rama hanya bergumam tak jelas. Duduk di atas tikar yang sudah lusuh. Menatap sekeliling, yang jauh sekali dengan kediamannya di Jakarta.
Naya pergi sebentar untuk mengambil minum dan melihat kondisi Firda. Sedangkan Rama, menunggu di ruang utama. Ditemani oleh Tati.
"Den, maaf ya. Ini rumahnya memang jelek. Pasti Aden gak nyaman ya berkunjung ke sini." Tati berbicara dengan nada sungkan. Melihat gaya berpakaian Rama, jelas Tati tahu kalau Rama bukanlah orang sembarangan.
"Tak apa." Rama menjawab singkat disertai senyuman tipis yang nyaris tak terlihat. Tati tersenyum kaku karenanya. Mereka pun sama-sama diam, sampai akhirnya Naya datang membawakan minum.
"Nek, pihak puskesmas bilang apa soal sakit Firda?" Naya bertanya penasaran.
"Tifus, Nay. Harusnya sih dirawat di klinik. Tapi gak ada uang. Jadi nenek rawat saja di rumah," jawab Tati. Naya terdiam mendengarnya. Terlihat kalau dia kaget mendengar penyakit yang diderita Firda sekarang.
Awalnya, Naya ingin bicara tentang Firda lagi. Namun, dia teringat akan Rama yang ada di sana. Dia pun membenarkan posisi duduk, dan menyiapkan diri untuk berbicara pada Tati. Berusaha untuk tenang, agar tak mengundang kecurigaan dari neneknya.
"Jadi, Nek, ini Mas Rama. Ehm, calon suami Naya," ucap Naya dengan suara pelan. Tati yang mendengar itu terperangah kaget mendengarnya. Menatap Naya dan Rama bergantian dengan tatapan tak percaya.
"Calon suami? Sejak kapan kamu pacaran, Naya?" Tati bertanya dengan nada suara yang meninggi. Terlihat kalau dia sangat terkejut.
"Naya adalah pegawai di cafe teman saya. Kami sering bertemu dan memilih untuk menjalin hubungan. Sekarang, saya datang ke sini untuk meresmikan hubungan kami berdua." Rama berbicara, sebagai jawaban atas pertanyaan Tati. Sedangkan Naya, memilih diam dan menunduk.
"Naya baru dua minggu tinggal di Jakarta. Secepat itu kalian memutuskan untuk segera menikah?" tanya Tati. Sorot matanya mulai terlihat curiga.
"Usia saya sudah pantas untuk menikah. Dan saya rasa, itu tak masalah. Tak sedikit orang yang berpacaran bertahun-tahun, tapi akhirnya tidak menikah," jawab Rama lagi. Sorot matanya begitu serius.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa juga harus buru-buru?" Tati kembali bertanya dengan mata menatap keduanya curiga.
"Kamu hamil, Nay?"
Naya membelalak kaget mendengarnya. Ah, walaupun sudah diprediksi, tetap saja rasanya sakit saat dituduh seperti itu.
"Tidak lah, Nek. Naya tidak mungkin melakukan hal seperti itu," ucap Naya merajuk.
"Lalu kenapa harus buru-buru?"
"Tentu karena kami ingin menjauhi zina dengan cara menikah secepatnya." Rama kembali menjawab. Tak terlihat gentar dan takut, membuat Tati sedikit heran.
"Saya meminta restu Anda untuk menikahi Naya. Saya juga ingin Anda ikut kami ke Jakarta dan tinggal bersama kami di sana." Rama berucap, mengabaikan raut penasaran Tati yang masih belum sepenuhnya percaya.
"Nek, tolong restui kami. Mas Rama juga janji akan membantu Nenek bayar hutang. Dan untuk ke depannya, biaya hidup Nenek dan Firda akan ditanggung oleh Mas Rama juga. Firda akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, Nek." Naya memegang tangan neneknya, berusaha membuat neneknya percaya.
Tati masih diam, belum percaya dan curiga. Belum juga dia bicara, tiba-tiba terdengar suara orang yang berteriak kencang dari luar. Mereka bertiga dengan spontan menatap ke arah pintu.
"TATI! BAYAR HUTANGMU HARI INI!"
Teriakan itu begitu menggelegar, membuat Naya dan neneknya terkejut.
"Pak Jamal, Nay," ucap Tati dengan tubuh gemetar. Rama menatap Naya dan Tati sekilas. Kemudian bangkit berdiri dan berjalan mendekati pintu.
"Kalian diam saja di sini," perintah Rama. Dia membuka pintu, dan keluar dari sana. Menghadapi Pak Jamal yang mengamuk di depan rumah.