#####5
Satu minggu kemudian.
Naya membereskan semua pakaiannya ke dalam koper. Di bantu oleh Bu Yati, Naya membereskan semua barang yang dia punya.
"Jadi, kamu dapat kerja di tempat lain, Nay?" Bu Yati bertanya dengan wajah penasaran. Jelas, Naya belum genap sebulan tinggal di kosannya, dan kemarin langsung laporan kalau dia akan pindah. Dengan alasan, dapat pekerjaan yang lebih bagus di daerah lain. Daerah yang katanya cukup jauh dari kosan Bu Yati.
"Iya, Bu. Kemarin kerabat tetangga aku telepon dan bilang kalau bosnya butuh pegawai. Gajinya lumayan, Bu. Jadi ya, aku sanggupi. Soalnya aku sedang butuh uang," jawab Naya dengan senyuman kecil. Bu Yati mengangguk paham. Karena Naya pernah bercerita kalau neneknya punya hutang ke rentenir dan harus segera dilunasi.
"Kamu ke sana naik apa, Nay?"
"Taksi, Bu."
"Ya udah. Hati-hati di jalan ya. Dan ini, ambil ya. Ini uangmu." Bu Yati menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru pada Naya.
"Loh, ini uang apa Bu?" tanya Naya keheranan.
"Uang kamu. Kamu kan gak genap sebulan tinggal di sini. Ya sudah, setengahnya lagi kamu ambil," jawab Bu Yati. Naya terdiam mendengarnya. Ah, Bu Yati sangat baik. Jika saja bukan Bu Yati yang menjadi ibu kos, tentu tak akan ada kata pengembalian uang walau hanya tinggal beberapa hari di kos itu.
"Gak usah, Bu. Itu buat Ibu saja. Naya cuma minta do'a saja dari Ibu," ucap Naya menolak uang itu. Dia tersenyum, meyakinkan Ibu Yati.
"Naya, kamu lebih butuh. Ini, ambil. Lumayan buat makan tiga hari cukup," balas Bu Yati dengan tawa kecil. Naya ikut tertawa mendengarnya. Dia pun akhirnya menerima uang itu dan mengucapkan terima kasih pada Bu Yati.
Selesai membereskan semua barang, Naya pun pergi dari kosan Bu Yati. Bu Yati ikut mengantarkan sampai jalan. Dan setelah di sana, Naya langsung menyetop sebuah taksi.
"Mau ke mana, Neng?" Supir taksi yang terlihat sudah berusia lanjut bertanya arah tujuan Naya. Naya pun mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Dan memberikannya pada supir tersebut.
"Antar saya ke alamat ini, Pak," jawab Naya. Terlihat, supir itu seperti kaget. Namun, kemudian tersenyum untuk menyembunyikan wajah kaget dan herannya.
***
Setelah beberapa menit, akhirnya Naya sampai di alamat yang dia tuju. Tidak langsung turun, Naya melihat sekeliling dulu dari balik kaca jendela. Menatap bangunan di samping mobil dengan tatapan penasaran.
"Neng, tidak salah alamat? Ini hotel loh," ucap supir taksi. Naya menatap supir itu dengan mata terbelalak. Hotel? Ah, pantas saja supir itu terlihat kaget saat Naya memberikan alamat yang dia tuju.
"E-enggak, Pak. Ini memang alamat yang saya tuju," jawab Naya kikuk. Ah, dia jadi malu. Pasti supir itu sedang berpikiran buruk tentangnya. Tentu saja. Untuk apa remaja sepertinya datang ke sebuah hotel?
Tak mau berdiam lebih lama lagi di dalam taksi, Naya pun segera turun. Tak lupa membayar ongkos sebesar yang di sebutkan si supir.
Setelah taksi itu pergi, Naya berbalik. Menatap bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya. Bangunan bernama hotel, seperti yang dikatakan supir tadi.
"Permisi. Apa benar Anda Inaya Pramudita?" Seorang pria muda dengan setelan rapi datang menghampiri Naya yang kebingungan di parkiran hotel.
"I-iya," jawab Naya gugup.
"Mari, Nona. Tuan Rama sudah menunggu di dalam." Pria itu mengajak Naya untuk masuk. Ucapannya yang ambigu membuat Naya bergidik ngeri. Ah, apapun yang terjadi, dia harus siap. Itu resiko dari kesanggupannya menerima tawaran dari Rama.
Naya berjalan mengikuti pria itu memasuki hotel. Koper miliknya pun diambil alih oleh pria itu. Naya hanya membawa tas kecilnya saja. Memasuki lobi hotel, Naya langsung merasa minder. Melihat orang-orang di sana berpakaian mewah, sedangkan dia hanya memakai sebuah sepatu yang warnanya sudah pudar, jeans lama dan kemeja polos.
Setelah melewati lobi, mereka masuk ke dalam lift. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada Naya dan pria itu saja. Pria yang Naya yakini, adalah bawahan Rama.
Sampai di lantai 14, pria itu membawa Naya mendekati sebuah pintu kamar dengan nomor 304. Tanpa mengetuk, pria itu langsung membuka pintunya. Menyeret koper Naya masuk ke kamar hotel itu.
"Tuan, Nona Naya sudah sampai." Pria itu berucap sopan pada Rama, yang duduk di sofa. Tubuh pria itu sedikit membungkuk, memberikan hormat pada Rama.
Setelah memberi laporan, pria itu pun keluar lagi dari kamar hotel. Meninggalkan Naya dan Rama berdua. Terlihat jelas kalau Naya gugup dan khawatir. Mungkin, dia juga takut.
"Duduklah. Ada yang harus aku katakan padamu." Rama berbicara, menyuruh Naya untuk duduk di depannya. Dengan langkah sedikit ragu, Naya pun mendekati sofa. Duduk di hadapan Rama.
"Apa kamu masih punya orangtua?" Rama bertanya. Naya menjawab dengan gelengan kepala pelan.
"Aku hanya punya nenek dan seorang adik."
"Lalu apa yang akan kamu katakan pada mereka?" Rama kembali bertanya. Naya terdiam lama, bingung mau memjawab apa.
"Saran dariku, katakan saja secara jujur pada nenekmu kalau kita akan menikah. Ajak mereka berdua untuk tinggal bersama kita. Jika tidak, maka kamu tak akan bisa menemui mereka sampai kontrak kita berakhir. Bilang pada nenekmu untuk tak mengatakan apapun pada tetangga. Biar aku yang mengurus semua surat kepindahan kalian." Naya diam, mendengarkan ucapan Rama yang panjang lebar. Memikirkannya sesaat, kemudian mengangguk setuju.
Setelah mengatakan saran, Rama pun bangkit berdiri. Meminta kartu identitas Naya, kemudian pergi meninggalkan Naya. Sebelum pergi, dia juga berpesan pada Naya.
"Jangan ke mana-mana. Jika ada yang kamu butuhkan, katakan saja pada penjaga di depan." Naya mengangguk patuh. Sosok Rama pun menghilang di balik pintu. Meninggalkan Naya yang terdiam sendirian di sana.
Setelah kepergian Rama, Naya memilih melihat sekeliling kamar hotel. Kamar yang sangat luas dan dilengkapi dengan fasilitas yang mewah. Ini pertama kalinya Naya masuk hotel. Dan dia tak menyangka jika kamar hotel akan sangat nyaman.
Mendekati ranjang, Naya membaringkan tubuhnya di sana. Dia tersenyum, merasakan kenyamanan yang sangat terasa oleh tubuhnya. Kasur empuk, dilapisi sprei dan selimut yang lembut.
Menatap langit-langit, Naya jadi teringat akan kontrak yang sudah dia tanda tangani bersama Rama. Naya sedih, dan merasa senang sekaligus. Senang karena dia bisa membantu neneknya membayar hutang. Sedih karena rasanya, dia seperti menjual diri pada Rama.
Namun, tak ada yang bisa dia lakukan lagi. Beruntung Rama datang memberi penawaran saat dia memang sedang sangat butuh. Jika tidak, mungkin nanti nenek dan adiknya tak akan punya tempat tinggal.
Naya pun masih sedikit berterima kasih pada Rama. Karena Rama mau membawa nenek dan adik Naya. Bahkan, Rama sendiri yang mengatakan pada Naya, untuk mengajak mereka tinggal bersama nanti.
Naya tidak tahu, serinci apa rencana Rama. Tak tahu juga apa tujuan Rama ingin melakukan nikah kontrak dengannya, sampai ingin seorang anak. Tapi, Naya hanya bisa menyanggupi saja. Karena dengan itu, dia bisa membantu nenek dan adiknya. Anggap saja, sebagai balas budi pada neneknya yang sudah membesarkannya. Ya, walaupun yang dia berikan tak akan bisa menebus semua pengorbanan neneknya.
"Ayah, ibu, jika kalian melihatku sekarang, tolong maafkan aku. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membantu nenek." Naya berucap lirih. Matanya terpejam, dan air mata mengalir dari sudut matanya. Merasa malu karena secara tak langsung dia memang menjual diri pada Rama. Hanya saja, dalam jalur yang berbeda. Akan ada ikatan pernikahan di antara dia dan Rama nanti. Tidak sekedar hubungan yang tak jelas saja.
Ya, tidak ada zina. Karena nanti dia dan Rama akan berstatus suami istri.