#####4
Rama, pelanggan utama cafe tempat Naya bekerja biasanya akan datang di jam makan siang. Hal itu sudah diketahui oleh semua karyawan cafe.
Namun hari ini, ada sedikit yang berbeda. Pada pukul lima sore, dua jam sebelum cafe tutup, Rama datang lagi. Memesan secangkir kopi hitam seperti biasanya. Menyesap kopinya sambil menatap layar laptop berulang kali.
Bukan hanya Naya, tapi para karyawan yang lain ikut merasa heran. Tapi, mereka senang juga karena bisa melihat dan menatap Rama dua kali dalam hari ini.
Satu jam sebelum cafe tutup, Rama sudah menghabiskan kopi hitamnya. Dia pun menutup laptopnya, dan berjalan mendekati kasir untuk membayar kopi yang dia minum.
Tanpa bertanya harga, Rama langsung mengeluarkan selembar uang berwarna merah. Dia jelas sudah tahu harga dari kopi yang selalu dia minum. Mengingat Rama sudah sering sekali minum kopi di sana.
Naya mengambil uang yang disodorkan Rama barusan. Lalu memberikan kembalian seraya mengucapkan terima kasih.
Kebetulan, di balik meja kasir hanya ada Naya seorang. Yang lain mungkin sedang sibuk beres-beres di belakang. Rama pun langsung menyerahkan selembar kertas berukuran kecil pada Naya.
"Hubungi nomor itu nanti." Rama berucap singkat. Setelahnya, dia berbalik dan pergi keluar dari cafe. Tanpa menjelaskan secara rinci maksudnya barusan.
Naya menatap kertas di tangannya dengan tatapan kebingungan. Di kertas itu, tertulis sebuah nomor ponsel. Dan Naya tidak tahu itu nomor ponsel milik siapa.
Tak mau ada yang tahu dan bertanya-tanya nantinya, Naya pun langsung memasukkan kertas itu ke dalam saku celananya. Sebentar lagi cafe tutup. Dan Naya akan menghubungi nomor itu setelah dia sampai di kosan.
***
Pukul setengah delapan malam, Naya baru sampai di kosan. Sebelum mengistirahatkan tubuh, Naya memilih untuk segera mandi. Agar tubuhnya bisa kembali segar dan tak bau keringat.
Sepuluh menit sudah Naya habiskan waktu untuk mandi. Dia segera memakai baju tidur miliknya. Tak lupa, Naya mengambil kertas pemberian Rama tadi. Naya penasaran itu nomor siapa dan apa maksud Rama memberinya nomor ponsel itu.
Mengambil ponsel, Naya langsung menghubungi nomor itu via whatsapp. Tak ada balasan. Namun beberapa menit kemudian, nomor itu langsung meneleponnya.
"Halo." Naya menyapa orang di seberang telepon dengan sopan. Harap-harap cemas juga, menunggu jawaban.
"Aku Rama." Suara yang tak terlalu asing bagi Naya, karena Naya sering mendengarnya di cafe.
"Ehm, maaf, Pak. Tujuan Bapak memberi saya nomor telepon Bapak untuk apa?" Naya langsung bertanya karena penasaran. Dia berusaha menjaga nada suaranya agar terdengar sopan. Bagaimana pun juga, Rama adalah pelanggan utama dan setia. Takut saja kalau dia salah bicara, akan menimbulkan masalah nantinya.
"Kapan waktu kamu libur kerja?" Rama bertanya, tanpa menjawab pertanyaan dari Naya barusan. Nadanya begitu tegas, tak terbantahkan. Membuat Naya sedikit gentar.
"Saya tidak punya waktu libur, Pak. Karena saya tidak kuliah, jadi saya bekerja setiap hari," jawab Naya. Hening sesaat, tak ada jawaban dari Rama. Naya pun ikut diam, menunggu Rama berbicara.
"Aku akan menunggumu di dalam mobil besok malam setelah cafe tutup. Ada yang harus kita bicarakan." Setelah mengatakan itu, sambungan telepon langsung terputus. Naya menatap layar ponselnya tak percaya, juga heran.
"Ada yang harus dibicarakan?" tanya Naya pada dirinya sendiri. Jelas saja dia kebingungan. Apa yang harus dibicarakan antara mereka berdua? Mereka adalah orang asing. Yang hanya bertemu sebagai pelanggan dan karyawan cafe. Tak pernah ada kejadian istimewa atau aneh di antara mereka. Tapi, kenapa Rama berbicara seperti itu secara tiba-tiba.
"Aku harap dia tak punya niat jahat," gumam Naya. Merasa lelah dan ngantuk, Naya pun memilih untuk segera tidur.
***
Seperti perkataan Rama kemarin, dia benar-benar menunggu Naya di mobil, yang sedikit jauh dari cafe. Sengaja, sebelum cafe tutup Rama kembali mampir dan minum secangkir kopi. Saat membayar, Rama memberi kode pada Naya lewat mata kalau dia akan menunggu.
Naya hanya menganggukkan kepala sekali, terlihat menunduk. Takut ada yang melihat, dan curiga.
Selesai beres-beres di cafe, Naya segera pamit pulang. Matanya melihat sekeliling, takut ada yang memperhatikan. Setelah merasa cukup aman, Naya pun mengetuk sebuah pintu mobil yang mewah.
Perlahan, kaca mobil itu turun dan menampakkan orang yang duduk di balik kemudi.
"Masuklah." Perintah yang singkat, padat dan jelas. Tanpa banyak bertanya, Naya pun langsung masuk dan duduk di samping Rama.
Rama diam, begitu juga Naya. Rama tak langsung berbicara, dan memilih mengemudikan mobilnya. Perlahan, hanya untuk menjauhi area cafe saja.
Setelah cukup jauh, Rama memarkirkan mobilnya. Tak turun, dan tetap di dalam. Melepas kacamata lalu menatap Naya. Bersiap untuk membahas hal yang sudah dia rencanakan sejak kemarin.
Belum juga Rama bicara, ada gangguan. Ponsel Naya berdering nyaring, pertanda ada telepon. Rama pun mengangguk, memberi izin pada Naya untuk mengangkat teleponnya.
"Halo. Ini siapa?" Naya bertanya pada seseorang di seberang telepon. Seseorang dengan nomor asing yang menghubunginya.
Rama hanya memperhatikan dari samping. Tak bisa mendengarkan percakapan dengan jelas. Tapi, Rama bisa menangkap wajah bingung dan pucat Naya.
"I-iya, Pak. Saya akan mengusahakannya." Sambungan telepon terputus dan Naya terlihat sangat kebingungan. Sampai-sampai dia lupa kalau di sampingnya ada Rama.
Rama tak tahu siapa yang menghubungi Naya barusan. Tak tahu juga apa yang mereka bicarakan. Namun, Rama menebak kalau itu orang yang menagih hutang. Dia bisa berpikiran seperti itu karena tak sengaja mendengar percakapan Naya kemarin dengan neneknya.
"Siapa namamu?" Rama bertanya dengan suara datar. Membuat Naya merasa tak nyaman. Apalagi mereka berdua-duaan di dalam mobil. Naya sedikit khawatir dan takut.
"Naya, Pak." Naya menjawab dengan suara pelan dan kepala menunduk. Rama melirik sekilas dan menghembuskan nafas. Melihat wajah ketakutan Naya, Rama bisa menyimpulkan sesuatu. Pasti Naya sedang berpikiran hal buruk tentangnya.
"Oke, Naya. Langsung saja pada intinya. Pertama-tama maaf, kemarin aku tak sengaja mendengar pembicaraan kamu dan nenekmu lewat telepon. Aku dengar, kamu harus membayar utang. Aku menyimpulkan sendiri, kalau kamu sekarang sedang butuh uang kan?" Kalimat yang cukup panjang, yang keluar dari mulut Rama.
Kepala Naya semakin menunduk. Antara malu dan kaget. Kaget karena pertanyaan Rama barusan tepat sekali dengan keadaannya barusan.
"Aku hanya ingin menawarkan sebuah kerja sama berbasis kontrak terhadapmu. Aku bisa memberimu uang sebanyak yang kamu butuhkan." Rama menyerahkan selembar kertas pada Naya, menyuruh Naya untuk membacanya. Naya yang masih kebingungan pun membaca surat itu. Dia membacanya dengan teliti dan hati-hati. Sampai matanya membelalak karena kaget.
"Melahirkan?" tanya Naya syok.
"Ya, aku akan membantumu membayar utang, dan memenuhi kebutuhan kamu beserta keluargamu. Syarat, kamu harus menikah denganku. Pernikahan kontrak yang akan berakhir setelah kamu melahirkan seorang anak untukku." Penjelasan Rama barusan membuat Naya merasa lemas. Apakah ini sebuah tawaran menjual diri dalam konteks yang berbeda?
"Ke-kenapa harus sampai melahirkan seorang anak?" tanya Naya terbata-bata. Rama menatap Naya dengan tatapan datarnya yang mampu membuat seluruh sendi tubuh Naya lumpuh.
"Karena aku membutuhkan seorang anak, seorang penerus." Rama menjawab singkat. Seperti tak ada beban, dan seolah yang dia katakan barusan adalah hal sepele.
Naya terdiam, menatap nanar pada surat yang ada di tangannya. Surat perjanjian dan isi kontrak yang sudah Rama buat semalam.
"Aku harap kamu bisa segera membuat keputusan." Rama berucap lagi. Rama memang tak memaksa Naya, untuk menerima tawaran kerja sama itu. Namun, ucapannya mendesak Naya untuk segera memilih. Sedangkan Naya sendiri masih bingung dan syok.
Apa yang harus dia pilih sekarang?