Ringkasan
Hidup di sebuah kota besar memanglah sulit. Namun demi adik dan neneknya di kampung, Inaya berusaha tetap sabar mencari pekerjaan. Dengan harapan, bisa memberikan kehidupan yang layak untuk dua orang yang berarti dalam hidupnya. Mulai dari sakit kerasnya sang adik, hingga telepon dari rentenir yang menagih hutang neneknya. Inaya kebingungan. Meminta pinjaman pada bos pun tak bisa. Hingga dengan tiba-tiba, seorang pria misterius yang yang tak Inaya kenal memberikan sebuah penawaran. Penawaran yang memang Inaya butuhkan. Namun, balasan yang harus Inaya berikan pun tak mudah. Dan dari sanalah, kehidupan Inaya berubah.
#####1
Matahari terbit, menyinari dunia. Memberikan kehangatan pada bumi. Burung saling berkicau. Udara kampung yang segar membuat Inaya betah lama-lama menghirup udara lewat jendela kamarnya.
Bibirnya terbentuk membuat sebuah senyuman indah. Matanya terpejam, menikmati angin yang membelai kulit. Menerbangkan anak rambutnya dengan nakal.
"Ini adalah yang terakhir," bisik Inaya. Tak lama kemudian, matanya terbuka. Menatap bunga-bunga mawar yang ditanam neneknya di dekat rumah.
Senyumannya yang indah berangsur pudar. Sorot kesedihan terlihat jelas dari kedua matanya. Mengingat jika hari ini, adalah hari kepergiannya dari rumah itu. Dari rumah yang menjadi saksi bisu pertumbuhannya selama 21 tahun.
"Kak, singkong rebusnya sudah matang. Ayo makan bareng! Sebelum kakak pergi." Sebuah suara anak kecil terdengar memasuki gendang telinga Inaya. Inaya menengok ke belakang dan tersenyum. Kemudian mengangguk, memberikan jawaban atas ajakan adiknya.
Inaya bergerak menutup jendela kamarnya. Kemudian berbalik, berniat sarapan bareng dengan adik dan neneknya. Tak sengaja, tatapannya terarah pada sebuah koper yang sudah dia siapkan semalam. Inaya tersenyum miris melihatnya. Ah, ini adalah pagi terakhir dia bisa sarapan bersama nenek dan adiknya.
Tak mau membuat adik dan neneknya menunggu lama, Inaya pun segera keluar. Berjalan menuju sebuah ruangan serbaguna di rumah itu. Ruangan yang biasa dipakai menerima tamu, berkumpul bersama, bahkan makan bersama.
"Ayo, Naya. Kamu harus sarapan dulu sebelum pergi," ucap Tati, nenek Naya.
"Iya, Nek," balas Naya disertai senyuman manis. Naya berjalan mendekat, lalu duduk lesehan di atas sebuah karpet yang warnanya sudah pudar. Mengambil sepotong singkong yang direbus oleh neneknya. Singkong yang diambil dari belakang rumah.
Untuk hari-hari tertentu, mereka memang hanya bisa makan singkong karena tak ada uang untuk beli beras. Dan ini, sudah sebulan lamanya mereka terus makan singkong. Ada uang sebenarnya. Namun, Naya disuruh menabung uang yang dia punya untuk perjalanannya ke Jakarta siang ini.
"Naya, jangan lupa hubungi kami jika nanti kamu sudah sampai di sana. Jangan lupa, berdo'a. Semoga rezekimu dilancarkan," ucap Tati. Naya tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Nek. Naya juga minta, kalian sehat-sehat di sini. Jangan lupa untuk mendo'akan Naya. Jangan lupakan Naya juga." Tati tertawa pelan mendengar penuturan cucu sulungnya itu.
"Tentu saja. Nenek dan Firda tak mungkin melupakanmu," kekeh Tati.
"Kakak di sana harus jaga diri baik-baik. Aku sering dengar kalau di kota banyak penjahatnya," ucap Firda, adik Naya.
"Iya. Kakak pasti jaga diri baik-baik," balas Naya. Dia tersenyum kecil sambil menatap kedua orang yang dia sayangi. Sedih rasanya harus meninggalkan mereka berdua. Tapi, Naya juga butuh uang untuk membayar hutang dan biaya pendidikan Firda. Berharap dia bisa memberikan kehidupan yang lebih layak bagi mereka berdua.
Naya hanya bisa berharap. Berharap Tuhan memberinya kehidupan yang lebih baik setelah dia menemukan pekerjaan di Jakarta.
***
Hari kedua di Jakarta. Naya masih merasa lelah karena perjalanan jauh yang dia tempuh dari desa kemarin. Kemarin, Naya sampai di Jakarta pada sore hari. Beruntung, dia langsung mendapatkan kosan yang murah. Naya merasa tambah beruntung saat Ibu Yati, pemilik kos menerimanya dengan senang hati.
Kemarin, Naya sudah bercerita pada Ibu Yati tentang niatnya yang datang merantau. Ibu Yati pun paham dengan alasan Naya. Beliau juga bilang kalau memang banyak remaja atau anak muda seperti Naya yang sempat tinggal di kosannya, dengan alasan yang sama. Yaitu ingin memperbaiki ekonomi keluarga di kampung.
Ibu Yati yang sudah lama tinggal di sana pun memberitahukan pada Naya bahwa ada sebuah cafe yang tak jauh dari kosan, yang sedang mencari seorang karyawan untuk bagian kasir. Ibu Yati tahu hal itu karena kasir yang sebelumnya adalah keponakan Ibu Yati sendiri. Yang berhenti bekerja dan ikut suaminya pergi ke Surabaya.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, sore itu juga Naya langsung pergi ke cafe itu, diantar oleh Ibu Yati sendiri. Sembari jalan-jalan, juga melamar pekerjaan. Dan karena tak ada kasir pengganti di cafe itu, Naya pun langsung diterima bekerja dengan mudah, tanpa dipersulit.
Hari ini, adalah hari kedua Naya di Jakarta, dan hari pertama Naya bekerja. Dia bangun lebih awal dengan semangat. Memakai seragam cafe yang kemarin langsung diberikan oleh manager cafe itu pada Naya.
Naya sangat berterima kasih pada Ibu Yati yang sudah mau membantunya juga mengantarnya menuju cafe itu. Ibu Yati pun tak merasa keberatan. Beliau memang selalu baik terhadap orang-orang yang menyewa kamar kosnya. Itu dikarenakan beliau tak punya anak. Dan bagi Bu Yati, semua anak muda yang tinggal di kosannya adalah anaknya sendiri.
Pukul tujuh pagi, Naya langsung berangkat menuju cafe tempat dia bekerja. Karena jarak yang dekat, Naya pun tak perlu mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum. Dia memilih jalan kaki. Selain untuk menghemat uang, dengan jalan kaki di pagi hari juga bisa menyehatkan tubuhnya.
10 menit berlalu, dan Naya akhirnya sampai di cafe yang akan menjadi tempat dia bekerja. Cafe yang kata Bu Yati cukup terkenal di daerah sana. Mengusung tema alam yang menyegarkan. Namun, kesan elegan pun tak tertinggalkan.
Masuk ke dalam cafe, Naya langsung berhadapan dengan seniornya yang menjadi bagian kepala dapur. Seorang wanita berusia sekitar 26 tahunan yang akan memberitahu segala peraturan di cafe itu. Peraturan yang jelas harus Naya patuhi.
"Siap bekerja Naya?" Wanita dengan name-tag Diah itu bertanya ramah pada Naya. Naya menjawabnya dengan senyuman lebar dan anggukkan kepala semangat. Ah, Naya merasa keberuntungan berpihak lagi padanya karena punya senior yang baik.
***
Pukul dua belas siang lebih, adalah waktu di mana biasanya cafe padat oleh pengunjung. Karena di jam itu, para siswa SMA yang pulang sekolah akan mampir sekedar untuk nongkrong. Lalu anak kuliahan juga para pekerja kantoran yang sedang istirahat.
Beruntung, Naya sudah diajari oleh Diah bagaimana cara bekerja jadi kasir yang baik. Hingga Naya tak merasa kewalahan. Dia malah sangat bersemangat. Tak lupa, senyum pun selalu tersungging di bibirnya untuk para pengunjung.
"Ini kembaliannya. Terima kasih." Naya berucap pada seorang pelanggan yang selesai membayar. Di sampingnya, ada Fita yang bekerja sebagai pelayan. Fita berdiri di samping Naya sambil terus memandangi seorang pelanggan.
"Liatin apa sih? Fokus banget kayaknya," tegur Naya dengan nada bercanda. Fita yang sadar langsung tertawa renyah sekaligus malu.
"Itu tuh, Nay. Pelanggan kaya yang jadi langganan nomer satu cafe ini. Udah tampan, kaya, auranya juga wow banget," jawab Fita sembari menunjuk seorang pria yang duduk di pojok cafe dengan dagunya. Penasaran, Naya pun melihat ke arah pria itu. Jadinya, Naya ikut memperhatikan pria itu.
"Jadi, dia langganan di sini?" tanya Naya.
"Iya. Dia itu orangnya misterius banget. Susah dideketin," jawab Fita sambil berbisik.
"Susah dideketin? Memangnya kamu pernah mencoba mendekatinya?" tanya Naya heran.
"Ya enggak lah. Mana berani aku deketin pria kaya sepertinya. Tapi, dua tahun yang lalu anak Pak Manager pernah coba deketin. Eh, malah diabaikan. Bahkan, Nona Julia diusir oleh dia. Ya, walaupun diusir secara halus, tetap aja memalukan." Cerita Fita. Naya mengangguk pelan, paham akan cerita Fita barusan.
Untuk beberapa saat, mereka berdua sama-sama menatap pada pria itu. Dan tak disangka, pria itu mengangkat wajahnya. Melihat ke arah Fita dan Naya. Dengan spontan Fita memalingkan wajah. Sedangkan Naya menunduk, seolah sedang memeriksa uang di laci.
"Aduh, dia melihat ke sini lagi," ucap Fita panik. Naya yang mendengar itu terkekeh pelan.
"Kamu harus bisa akting dengan natural agar dia tidak curiga," balas Naya santai. Fita mendengus pelan dan berbalik. Karena takut ketahuan, dia pun memilih pergi ke dapur. Meninggalkan Naya di meja kasir sendirian.
Tanpa Naya ketahui juga, pria itu terus menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.