Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####2

Pada malam hari, suasana di sebuah rumah yang mewah dan megah terlihat cukup ramai. Para pemilik rumah sedang melaksanakan makan malam bersama, ditemani beberapa pelayan yang siap melayani mereka.

Makan malam yang cukup ramai, karena sang nyonya rumah terus saja membanggakan anak semata wayangnya yang sudah bertunangan dengan seorang anak konglomerat. Dan beberapa bulan lagi, mereka akan segera menikah.

Sang tuan ramah hanya tersenyum mendengar setiap kata yang terlontar dari bibir istrinya. Sesekali, matanya melirik pada anak sulungnya, anak dari almarhumah istrinya yang hanya diam dengan tatapan dingin dan datar.

"Ah, Mama sangat bangga padamu, Leo. Kamu adalah satu-satunya harapan kami yang bisa meneruskan silsilah keluarga Triatmadja." Wulan Kusuma, nyonya dari keluarga Triatmadja berbicara dengan suara lantang, dan mata melirik sinis pada anak tirinya. Wanita berusia 55 tahun itu tersenyum sinis, melihat wajah tegang Rama, anak tirinya.

Suasana yang semula cukup hangat berubah jadi dingin dan canggung. Tirawan Triatmadja, sang kepala keluarga langsung berdehem pelan, berusaha mengusir aura yang membuat tak nyaman. Menatap istrinya dengan tatapan menegur.

"Rama, datanglah ke ruangan Papa," ucap Tirawan. Setelah itu, Tirawan kembali melanjutkan makan malamnya. Sedangkan Rama, memilih bangkit dan pergi meninggalkan ruang makan. Selera makannya hilang seketika karena ucapan ibu tirinya yang selalu saja merendahkannya.

Sedangkan Wulan beserta anaknya, Leo, tersenyum puas. Memang itulah keinginan mereka. Menyingkirkan Rama dari hadapan mereka.

***

Seperti perintah sebelumnya, Rama pun datang ke ruangan kerja Tirawan sebelum pergi tidur. Dia langsung masuk, tanpa mengetuk pintu dulu. Dan dia langsung duduk di hadapan Tirawan tanpa sepatah kata pun.

Tirawan menatap Rama dengan lekat. Ah, dia jelas sudah tahu bagaimana sifat anak sulungnya itu. Tirawan juga sadar, perannya sebagai ayah yang sangat mempengaruhi kepribadian Rama. Perannya yang gagal menjadi seorang ayah yang baik bagi Rama.

"Jadi, bagaimana pekerjaanmu di kantor?" Tirawan mulai berbicara, membuka percakapan. Sesekali menyesap teh hangatnya. Dengan mata yang tak lepas dari sosok Rama.

"Baik." Rama menjawab dengan singkat. Dari wajahnya terlihat jelas kalau dia enggan bertatap muka dengan Tirawan.

"Bagaimana sekretarismu yang baru? Papa dengar dia masih muda ya."

"Memang."

Tirawan menghela nafas pelan mendengar jawaban singkat yang terlontar dari bibir Rama. Dia sadar, Rama mungkin masih menyimpan amarah dan benci terhadapnya. Tirawan pun menyesal. Karena dia, Rama tumbuh jadi seorang anak yang berkepribadian dingin dan keras. Namun, dia juga tak bisa memutar waktu. Hanya selalu berusaha agar bisa tetap adil terhadap Rama maupun Leo.

"Langsung saja pada inti pembicaraan, Rama. Papa ingin kamu segera menikah dan punya anak. Dua bulan lagi Leo akan menikah. Apa kamu mau dilangkahi olehnya?" Tirawan mulai membahas inti pembicaraan. Sadar dengan Rama yang memang tak suka basa-basi.

"Hidupku bukan urusanmu." Rama berucap dengan dingin. Rama memang pernah merasakan patah hati diusia remaja. Hal itu membuatnya malas menjalin hubungan lagi dengan wanita manapun. Takut hal itu terjadi lagi.

"Papa tahu. Papa tidak memaksa juga. Hanya memberimu saran. Tapi, ...." Tirawan memberi jeda. Menatap Rama dengan sorot serius.

"Jika kamu tak mau menikah, maka dengan terpaksa Papa menjatuhkan kekuasaan perusahaan pada Leo," lanjut Tirawan. Air muka Rama berubah seketika. Terlihat marah pada ucapan Tirawan barusan.

"Jadi kau lebih percaya pada anak harammu itu?" tanya Rama sinis. Tirawan terdiam mendengarnya. Memijit keningnya, yang tiba-tiba terasa pusing.

"Rama, Leo adikmu."

"Aku tak punya adik." Rama membalas dengan telak. Membuat Tirawan terdiam. Tirawan juga tahu seberapa bencinya Rama pada istrinya Wulan, juga pada Leo.

"Pilihan ada di tanganmu, Rama. Jika kamu segera menikah dan punya anak, maka kamu akan jadi pewaris utama. Tapi jika dua syarat itu tak bisa kamu penuhi, maka hak waris akan jatuh pada Leo. Terserah kamu mau memilih yang mana. Papa sudah menjelaskan," ucap Tirawan langsung. Rama diam seribu bahasa. Bangkit berdiri, dan segera keluar dari ruangan kerja Tirawan. Menutup pintu dengan kuat, hingga menimbulkan suara yang tak enak didengar.

Saat sedang berjalan menuju kamarnya, tak sengaja Rama berpapasan dengan Wulan. Wulan mengangkat dagunya sombong. Bibirnya terbuka bersiap melontarkan kata-kata menyakitkan untuk Rama. Namun sebelum itu terjadi, Rama terlebih dulu membungkam Wulan dengan kalimat pedasnya.

"Walaupun sudah berpuluh-puluh tahun, status pelakor sepertimu tetap tak akan berubah. Karena pada dasarnya, kau adalah wanita murahan yang mengincar harta suami orang." Rama mengucapkannya dengan diiringi delikan tajam. Wulan melotot marah mendengar itu. Namun, Rama mengabaikan. Memilih berlalu, meninggalkan Wulan, wanita yang sudah menghancurkan hidup dia dan ibunya.

***

Setelah pembahasan yang terjadi antara dia dan ayahnya, Rama memilih pergi dari rumah. Berkunjung ke apartemen sahabatnya, yang selalu menerimanya dengan tangan lebar. Tak pernah protes walaupun Rama datang berkunjung di tengah malam.

Tian Wijaya, sahabat Rama sejak masih duduk di bangku SMA. Sudah menikah, dan punya seorang anak berusia lima tahun. Istri Tian merupakan sahabat Rama juga. Jadi, dia sudah terbiasa dengan kedatangan Rama ke tempat tinggalnya.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Ram?" Dianti, istri Tian bertanya. Menatap kasihan pada sahabatnya yang sedang dirundung masalah.

"Aku tak tahu." Rama menjawab dengan putus asa. Dia jelas tak rela jika perusahaan jatuh ke tangan Leo. Tapi, persyaratan yang diberikan ayahnya pun berat untuk Rama laksanakan.

"Rama, saran dariku ya, kamu cari wanita yang benar-benar serius dan mau menerima kamu apa adanya. Aku rasa, syarat yang ayahmu katakan tak salah. Karena kamu memang harus menikah dan punya anak. Tak mungkin juga kan kamu akan terus hidup sendirian?" Dianti mengungkapkan saran yang langsung terpikirkan olehnya. Berharap, Rama mau mempertimbangkan.

"Itu benar. Jangan takut kalau masa lalu percintaanmu akan terulang kembali. Tak semua wanita seperti mantanmu itu," sambung Tian, mendukung saran istrinya.

"Kamu yang untung, Ram. Pertama, kamu akan memiliki pasangan hidup, yang akan mengisi hari-harimu. Kedua, kamu yang akan jadi pemegang hak waris. Tak ada ruginya menurutku," ucap Dianti lagi. Rama diam mendengarnya. Bukan tak mau merespon, tapi lebih memikirkan saja.

Menikah memang gampang bagi Rama. Tapi mencari wanita yang harus dia nikahi yang susah. Salah memilih istri, maka dia sendiri yang akan kesusahan nantinya.

"Tenangkan dirimu. Pikirkan dengan baik-baik. Masih ada waktu sebelum Leo menikah." Tian memberikan saran. Rama mengangguk. Kemudian merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Memejamkan mata dan menutupinya dengan lengan. Memikirkan saran yang diungkapkan Tian dan Dianti barusan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel