Bab 5
Didalam sebuah ruangan kamar yang sederhana, sepasang ibu dan anak sedang asyik bercengkrama dengan satu sama lainnya. Sang anak yang sedang duduk bersandar di sandaran dipan sesekali menatap manik sang mami.
“Mi, om Satra bilang akan mengajari Kalen bermain bola apa Mami mengijinkan Kalen?” cecar sang bocah kecil yang masih berada di masa penyembuhannya.
“Mungkin Kalen harus bersabar karena Om Satria sangat sibuk nak,”
“Bolehkah Om Satria menggantikan Papi Kalen yang sudah meninggal Mi ?”
Carmen sontak membelalakan mata indahnya mendengar permintaan nyeleneh dari sang putra. Pasalnya jangankan memikirkan Satria akan menjadi Papi Kalen, memikirkan Satria akan Sudi menerimanya saja sudah menjadi hal yang mustahil bagi Carmen. Karena Carmen sangat paham pada statusnya kini. Lelaki mana yang akan mau menerimanya sebagai pendamping hidupnya.
Sebagai single parent dirinya lebih mementingkan kebahagiaan sang putra daripada kebahagiaannya sendiri.
Malam semakin larut, hawa dingin di kota Sukabumi mulai menyerang ke setiap sudut kota tak terkecuali kediaman Carmen dan putranya. Meski hanya menempati rumah yang masih dibilang bukan mewah, namun Carman sangat bersyukur ia masih bisa hidup dengan nyaman bersama anaknya.
“Mami, akan selalu bersamamu tak peduli meski nyawa Mami taruhannya,” ucap Carmen sebelum ia mengecup pucuk kepala sang putra yang sedang terlelap dalam tidurnya.
“Tok.. Tok.. tok,” terdengar bunyi ketukan di pintu rumah Carmen.
Sesekali wanita dewasa itu menatap penghitung waktu yang menempel di dinding kamar putra semata wayangnya.
Manik matanya menatap pukul 20.15 malam ia semakin menaikan angka emosi di hatinya manakala si pengunjung menambah ketukan di pintunya.
Mau tak mau Carmen lalu bangkit dari kamar sang putra menuju pintu rumahnya. Ia berjalan agak tergesa dan mempersingkat waktu supaya si tamu segera pulang karena ini bukan jam yang tepat untuk berkunjung ke rumah orang. Maklum Carmen dan Kalen tinggal di kota kecil yang tak seramai Jakarta.
Dengan hati begitu enggan, Carmen membuka pintu rumah yang sudah lebih dari setahun ini ia tempati sebelum ia pindah ke perkebunan teh milik Kakek Satria.
“Siapa...” Carmen tak melanjutkan kata-katanya. Hatinya tersentak bagai melihat hantu atau lebih tepatnya melihat sesuatu yang ia tak mungkin bayangkan selama ini.
Seorang lelaki berdiri tegak di balik pintu yang telah ia buka barusan. Sorot matanya tajam seperti menelisik satu persatu dan meminta penjelasan atas selama ini.
Buru-buru Carmen berencana kembali menutup pintu kediamannya dan meninggalkan sejauh mungkin lelaki yang saat ini berdiri kokoh di depan matanya.
Pria itu tak mau kalah, ia mengganjal daun pintu itu dengan sepatu yang ia pakai agar Wanita yang berada di depannya kesulitan untuk memblokade jalan masuk ke rumah itu.
“Bertahun-tahun kau mencoba menghindari aku dan saat ini tak akan aku biarkan kau melarikan diri lagi !” tanpa ada rasa sungkan, pria itu melontarkan kata yang sudah bersarang di buah pikirannya.
“Kita sudah berakhir, aku mohon pergilah !” tak mau kalah, wanita yang memakai setelan piyama itu berkata lebih tinggi dari intonasi yang sering ia pakai pada saat ia bicara pada orang lain.
“Carmen, kita harus bicara sebentar !” pinta Sang sosok pria itu dengan frustasi.
Carmen menutup kedua indra pendengarannya dan juga hatinya, ia sudah memutuskan sudah mengubur dalam-dalam masa lalunya bersama lelaki yang bernama Anggar Wasesa tersebut.
“Tak ada yang perlu kita bicarakan, kita sudah lama berakhir aku mohon tinggalkan rumah ini dan jangan pernah temui aku lagi !” dengan sedikit menahan tangisnya agar tak merangsak keluar dan hal tersebut mampu menggoyangkan pertahanan yang ia bangun dari dulu.
Dengan berat hati, Anggar mengikhlaskan Carmen menolak untuk berbicara padanya. Carmen menutup rapat pintu rumah dan pintu hatinya untuk Anggar Wasesa.
“Bila ada sebuah permata indah yang bisa aku gunakan untuk menebus semua salahku, maka aku akan mencarinya meski harus ke ujung dunia, Dan bila ada sebuah sajak indah yang mampu menggoyahkan hatimu, maka aku akan belajar menjadi pujangga untuk sementara,” Anggar Wasesa