Bab 6
Setelah kejadian malam yang menguras emosi dan penuh penekanan tersebut, kini Carmen semakin membentuk sebuah perisai besar bagi dirinya dan juga buah hatinya. Naluri keibuannya kini makin memuncak ketika ia bertemu dengan mantan suaminya.
Carmen mengingat setelah kejadian malam itu, membuatnya terpaksa mengungkap masalalunya pada teh Ida, orang yang sudah tinggal bersama dengan dirinya dan Kalen.
Awalnya ia tak ingin membuka luka lama yang sudah tersimpan rapi dalam relung hatinya. Namun setelah teh Ida bertanya perihal siapa tamu yang malam-malam datang dengan nada sangat serius tersebut.
Awalnya Carmen sudah menjawab bahwa pria tersebut salah mencari alamat. Namun teh Ida lebih tajam Indra penciumannya daripada seekor Herder.
“Apakah dia Ayah Kalen?” pertanyaan yang terlontar secara dadakan tersebut membuat Carmenita menelan Saliva dengan kasar. Lidahnya kelu untuk sekedar menjawab sepatah kata.
Meski susah untuk diungkap, dan tak mudah untuk memulai bercerita, pada akhirnya Carmen harus menekan egonya untuk menjelaskan masalalunya pada teh Ida.
“Kak, masuklah!” seorang pria dengan lesung Pipit yang menawan mempersilahkan Carmen untuk segera masuk dan duduk di mobil milik Pria tersebut.
Pria pemilik lesung Pipit dan senyum manis tersebut ialah Satria, Hari ini pria yang menjadi atasan Carmen di kantornya tersebut diminta sang kakek untuk bernegosiasi pada calon pembeli tanah milik kakeknya.
Dan seperti biasanya, pria manis tersebut meminta bantuan Carmen untuk menemani dirinya dalam pertemuan untuk membahas tawar-menawar lahan tersebut.
Carmen mendudukkan tubuh tak bertenaga miliknya disamping Satria. Pikirannya masih melayang. Ia teringat bagaimana wajah seseorang dari masalalunya yang datang merangsak masuk kembali ke masa kini.
“Apa kakak sedang tak sehat?” selidik Satria menangkap arah ekor mata Carmen yang sedari tadi tak memperhatikan dirinya.
“Aku ngga boleh mengecewakan Pak Satria pada meeting kali ini, aku harus lebih profesional,” monolog Carmen menghentikan segala gejolak yang ada didalam kalbunya.
“What’s wrong Pak?” gelagat Carmen menutupi rasa kalut yang kini sudah menjalar ke seluruh pikirannya. Wanita bermata tajam itu tak mau sang bos mengkhawatirkan dirinya seperti biasanya.
Kedua anak cucu Adam tersebut kini tiba di salah satu Restoran yang bergaya tradisional. Tempat akan diadakannya pertemuan yang akan membahas masalah pembelian lahan kakek Satria.
Tak berapa lama setelah keduanya, yakni Carmen dan Satria datang. Tibalah sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di pelataran rumah makan tersebut.
Seorang lelaki turun dari mobil mewah tersebut setelah salah satu dari pegawainya membukakan pintu mobil untuknya.
Langkah jenjang sang pria yang baru saja datang dari mobil mewah tadi begitu membuat setiap karyawan berdegup kencang. Pria itu masuk ke dalam restoran yang sudah di booking oleh calon teman bisnisnya.
“Pak Satria Gunadarma,” sapa pria itu ketika sampai di meja yang sudah dipesan oleh Satria.
“Pak Anggar Wasesa?” Satria membalas sapaan dari pria yang ditujukan padanya.
Sang Public accountant yang duduk membelakangi pintu masuk menoleh setelah mendengar Satria mengucapkan nama yang tak ingin ia dengar selama ini. Nama yang berusaha ia blacklist dari hatinya kini tiba-tiba diucapkan oleh bosnya.
Mata Carmen menangkap sorot manik pria yang sudah Satria sapa tadi. Hatinya kini semakin bergemuruh. Belum selesai ia menetralkan perasaannya setelah pertemuan antara keduanya dirumah Carmen. Kini keduanya mau tak mau harus saling berjauhan kembali pada pertemuan ini.
“Carmen? Sedang apa disini?” Batin Anggar setelah bersua tanpa sengaja dengan Sang Mantan yang selama ini tak diketahui jejaknya.
“Apa hubungannya dengan Cucu Gunadarma? Apa dia kekasih Carmen?” Anggar hanya bisa menerka-nerka saat ini. Dan kalau Tuhan mengijinkan, ia sangat ingin berbicara berdua dengan Carmen untuk meluruskan apa yang seharusnya terjadi.