Bab 6: Langkah ke Depan
Nathan duduk di bangku taman kampus, menatap Anindya yang kini tampak jauh lebih tenang. Ia memberikan secangkir kopi hangat yang telah ia beli sebelumnya, berharap itu bisa sedikit menghangatkan suasana di antara mereka. Setelah semua yang terjadi, Nathan tahu ia berutang banyak kepada Anindya—utamanya sebuah penjelasan.
“Lo masih mau temenan sama gue, Nin?” Nathan mencoba bercanda, meski matanya menunjukkan kegelisahan.
Anindya menatapnya sejenak sebelum mengambil kopi itu dan menyeruputnya perlahan. “Nathan, apa aku pernah bilang aku mau berhenti jadi temanmu?” katanya lembut, tetapi dengan ketegasan yang membuat Nathan merasa sedikit lega.
Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama. Rasa bersalah kembali menghantuinya. “Gue udah ngerusak banyak hal di hidup lo, Nin. Mereka nggak akan berhenti nyari gue, bahkan kalau Doni udah di balik jeruji. Dunia gue nggak aman buat lo.”
Anindya mendekat, menatapnya dengan serius. “Nathan, aku nggak peduli seberapa gelap masa lalumu. Selama kamu mau berubah, aku akan ada di sini. Tapi satu hal yang aku perlu tahu…”
Nathan mengangkat alis. “Apa itu?”
“Kenapa kamu terus menyalahkan diri sendiri? Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan ayahmu?”
Pertanyaan itu menghantam Nathan seperti palu. Ia menunduk, menghela napas panjang, mencoba mencari cara untuk menjelaskan.
---
Rahasia Masa Lalu
“Gue sama bokap gue nggak pernah akur,” Nathan memulai, suaranya rendah. “Gue tumbuh di bawah tekanan dia. Bokap gue, Arman Arsyad, adalah tipe orang yang percaya kalau dunia cuma buat orang kuat. Nggak ada tempat buat kelemahan.”
Anindya mendengarkan dengan seksama, tidak menyela.
“Waktu gue masih kecil, gue selalu mencoba buat menyenangkan dia,” lanjut Nathan. “Tapi nggak peduli seberapa keras gue berusaha, itu nggak pernah cukup. Dia selalu bandingin gue sama kakak gue, Alvino.”
“Kakakmu?”
Nathan mengangguk. “Alvino adalah kebanggaan keluarga. Dia cerdas, disiplin, dan selalu nurut sama bokap. Tapi dia juga nggak pernah peduli sama gue. Ketika gue mulai memberontak, bokap gue mulai ngelempar semua kesalahan keluarga ke gue. Seolah-olah gue ini kambing hitam buat semua masalah.”
Nathan berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Lalu, ada satu malam yang nggak akan pernah gue lupain. Bokap gue bawa gue ke pertemuan bisnisnya. Gue cuma anak SMA waktu itu, tapi dia maksa gue ikut buat ‘belajar’. Gue nggak ngerti apa-apa, tapi gue tau satu hal—mereka nggak cuma ngomongin bisnis biasa. Itu lebih gelap. Ada ancaman, ada intimidasi, bahkan ada kekerasan.”
Anindya menggenggam tangan Nathan, memberinya keberanian untuk melanjutkan.
“Waktu itu, gue nggak tahan. Gue teriak, gue minta mereka berhenti. Bokap gue langsung nyuruh gue keluar, dan sejak saat itu, hubungan kita nggak pernah sama lagi. Dia bilang gue lemah, pengecut, dan nggak pantas jadi anaknya.”
Nathan menghela napas berat, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak di depan mereka. “Sejak saat itu, gue mulai balapan liar. Gue pikir itu cara gue buat ngelawan dia, buat ngasih tahu dunia kalau gue bisa hidup tanpa dia. Tapi, kenyataannya, gue cuma ngehancurin diri sendiri.”
---
Pengertian dan Harapan
Anindya terdiam, membiarkan cerita itu meresap dalam pikirannya. Ia bisa melihat luka di balik sosok Nathan yang keras kepala dan tampaknya tak tergoyahkan. Luka itu begitu dalam, begitu menyakitkan, dan masih memengaruhi setiap keputusan yang diambil Nathan hingga saat ini.
“Nathan,” katanya akhirnya, suaranya lembut tetapi penuh dengan ketulusan, “kamu memang nggak bisa memilih keluargamu, tapi kamu bisa memilih jalan hidupmu. Kamu nggak sendirian lagi. Aku ada di sini.”
Nathan tersenyum kecil, meskipun senyuman itu samar. “Lo terlalu baik buat gue, Nin. Gue nggak tau apa yang lo liat di gue.”
“Aku nggak cuma lihat Nathan yang sekarang,” jawab Anindya. “Aku lihat Nathan yang punya potensi, yang punya hati besar, meskipun dia terlalu keras kepala buat menunjukkannya.”
Kata-kata itu mengguncang Nathan lebih dari yang ia harapkan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar percaya padanya, bahkan ketika ia sendiri ragu akan dirinya sendiri.
---
Langkah Baru
Keesokan harinya, Nathan memutuskan untuk mengambil langkah pertama menuju perubahan. Ia kembali ke bengkel lamanya, menemui Rio, sahabatnya yang setia.
“Rio, gue butuh bantuan lo,” katanya.
Rio menatapnya dengan curiga. “Bantuan apa kali ini? Jangan bilang lo mau balapan lagi.”
“Bukan,” jawab Nathan sambil tersenyum kecil. “Gue mau mulai dari awal. Gue mau keluar dari semua ini, dan gue butuh kerjaan.”
Rio tertawa kecil. “Akhirnya, lo sadar juga. Lo tau gue selalu punya tempat buat lo di bengkel ini.”
Nathan merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia tahu ini hanya langkah kecil, tetapi setiap langkah maju adalah kemenangan baginya.
---
Kehidupan Baru yang Rapuh
Hari-hari berikutnya, Nathan mulai bekerja di bengkel Rio. Ia belajar memperbaiki mobil dan motor, sesuatu yang selama ini hanya ia lakukan untuk dirinya sendiri. Anindya sering datang berkunjung, membawa makanan atau sekadar menghabiskan waktu bersamanya.
Namun, tidak semua orang senang dengan perubahan itu. Beberapa teman lama Nathan mulai menyebarkan gosip, mencoba menyeretnya kembali ke dunia balapan liar. Salah satunya adalah Reno, mantan rekan yang merasa Nathan mengkhianatinya.
“Lo pikir lo bisa berubah begitu aja, Nat?” kata Reno suatu malam ketika ia menemui Nathan di luar bengkel. “Dunia kita nggak akan pernah ngelepas lo.”
Nathan menatap Reno dengan tenang. “Gue udah selesai dengan semua itu. Kalau lo mau balapan, cari orang lain.”
Reno menyeringai. “Lo mungkin selesai sama dunia kita, tapi dunia kita belum selesai sama lo.”
---
Ujian Baru
Ancaman Reno membuat Nathan kembali waspada. Ia tahu bahwa masa lalunya tidak akan pergi begitu saja, terutama ketika orang-orang seperti Reno dan Doni masih berkeliaran. Namun, kali ini ia bertekad untuk tidak menyerah.
Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di bengkel, berusaha membangun kehidupan baru yang stabil. Rio dan Anindya terus mendukungnya, meskipun Nathan tahu ia harus menghadapi banyak rintangan di jalan yang ia pilih.
---
Janji yang Kuat
Suatu malam, Nathan dan Anindya duduk di atap sebuah gedung, memandangi langit malam yang penuh bintang.
“Nin,” kata Nathan, suaranya pelan tetapi penuh dengan tekad, “gue nggak tau apa yang bakal terjadi di masa depan, tapi gue janji gue akan jadi orang yang lebih baik. Bukan cuma buat lo, tapi juga buat diri gue sendiri.”
Anindya tersenyum, menatapnya dengan penuh kehangatan. “Aku percaya sama kamu, Nathan. Dan aku akan selalu ada di sini, mendukungmu.”
Di bawah langit malam itu, Nathan merasa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memiliki harapan. Ia tahu jalan di depannya tidak akan mudah, tetapi dengan Anindya di sisinya, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun.