Bab 5: Luka yang Membara
Nathan berdiri di tengah gudang dengan rahang mengeras, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Anindya duduk di kursi, tangannya terikat erat dengan tali kasar yang meninggalkan bekas merah di kulit halusnya. Mata gadis itu menatap Nathan, memancarkan kepercayaan sekaligus ketakutan.
“Doni,” Nathan berkata, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Lepasin dia. Gue bilangin sekali lagi, dia nggak ada hubungannya sama kita.”
Doni menyeringai, mengangkat bahunya seolah-olah Nathan baru saja menceritakan lelucon buruk. “Dia nggak ada hubungannya sama kita? Lo pikir gue bodoh? Gue liat gimana lo berubah karena cewek ini. Lo pikir gue bakal biarin lo kabur dan ninggalin semuanya? Dunia ini nggak berfungsi kayak gitu, Nat.”
Nathan melirik Farid yang berdiri di samping Anindya, satu tangan mencengkeram bahu gadis itu dengan kasar. Amarah Nathan memuncak, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa bertindak gegabah. Satu langkah yang salah, dan Anindya bisa terluka.
---
Tawar-Menawar yang Berbahaya
“Gue udah bilang gue selesai dengan semuanya,” Nathan berkata, mencoba menekan rasa marah yang mendidih di dalam dirinya. “Gue nggak mau balik lagi ke dunia lo, Don. Gue cuma mau dia aman.”
“Lo pikir dunia ini ngasih lo pilihan, Nat?” Doni melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke arah Nathan. “Lo mau dia aman? Kalau gitu, buktikan kesetiaan lo sama gue. Satu balapan lagi. Balapan terakhir. Kalau lo menang, gue lepasin dia, dan gue nggak akan ganggu lo lagi. Tapi kalau lo kalah…”
Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Senyum sadis di wajahnya sudah cukup menjelaskan maksudnya.
Nathan menatap Doni dengan tatapan penuh kebencian. “Gue nggak percaya sama lo. Bahkan kalau gue menang, apa jaminan lo bakal nurunin tangan lo dari hidup gue?”
Doni menyeringai. “Gue nggak butuh lo percaya. Gue cuma butuh lo balapan. Deal or no deal, Nat?”
Nathan tahu ini jebakan, tetapi ia tidak punya pilihan. Dia menatap Anindya sekali lagi, melihat ketakutan dan kecemasan di wajahnya. Ia tidak bisa membiarkan gadis itu terluka.
“Gue terima,” katanya akhirnya.
Doni tertawa puas, bertepuk tangan seperti sutradara yang baru saja melihat adegan terbaiknya. “Bagus. Balapan dimulai tengah malam ini. Jangan terlambat.”
---
Keputusan Berat
Setelah Doni dan anak buahnya pergi, Farid melepaskan ikatan Anindya. Gadis itu langsung bangkit, mendekati Nathan dengan wajah khawatir.
“Nathan, apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan suara serak.
Nathan menghela napas dalam, menatapnya dengan penuh rasa bersalah. “Gue nggak punya pilihan lain, Nin. Kalau gue nggak ikut, mereka nggak akan berhenti nyari kita.”
“Tapi ini berbahaya!” Anindya menggenggam tangan Nathan, mencoba membuatnya mengerti. “Aku nggak mau kamu terluka. Kita bisa cari cara lain.”
Nathan menggelengkan kepala. “Gue udah lama hidup di dunia ini. Gue tau cara kerja mereka. Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan ngelawan mereka sesuai aturan mereka.”
Mata Anindya memerah, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia tahu Nathan keras kepala, dan tidak ada yang bisa menghentikannya jika ia sudah mengambil keputusan.
---
Latihan Tengah Malam
Nathan tahu ia tidak bisa menghadapi balapan ini tanpa persiapan. Malam itu, ia kembali ke bengkel lamanya, tempat ia biasa memodifikasi motornya. Bengkel itu penuh dengan kenangan—beberapa baik, tetapi kebanyakan buruk.
Rio, sahabatnya, sudah menunggu di sana. “Gue dengar lo bakal balapan lagi,” kata Rio tanpa basa-basi.
Nathan mengangguk, membuka jaketnya dan melemparkannya ke kursi. “Gue nggak punya pilihan, bro.”
Rio menghela napas. “Lo tau ini bisa jadi perangkap, kan? Doni nggak main-main.”
“Gue tau,” jawab Nathan sambil mulai memeriksa motornya. “Tapi gue harus lakukan ini. Buat Anindya.”
Rio mengangguk, lalu mulai membantunya memeriksa mesin. “Kalau gitu, kita pastikan lo menang.”
Malam itu, mereka bekerja tanpa henti, memastikan motor Nathan berada dalam kondisi terbaiknya. Nathan tahu ia tidak hanya melawan Doni, tetapi juga melawan rasa takut dan keraguannya sendiri.
---
Balapan Terakhir
Tengah malam, Nathan tiba di lokasi balapan, sebuah jalan raya yang sepi di pinggiran kota. Lampu-lampu mobil dan motor berjejer di sepanjang jalan, menciptakan suasana yang penuh ketegangan.
Doni sudah menunggu di garis start, tersenyum puas ketika melihat Nathan. “Gue senang lo datang, Nat. Ini bakal jadi malam yang nggak akan lo lupain.”
Nathan tidak menjawab. Ia hanya memeriksa motor sekali lagi sebelum bersiap di garis start. Di kejauhan, ia melihat Anindya berdiri di antara kerumunan, wajahnya penuh kecemasan.
Rio mendekati Nathan, menepuk pundaknya. “Lo pasti bisa, bro. Fokus aja.”
Nathan mengangguk, lalu mengenakan helmnya. Jantungnya berdebar kencang, tetapi ia mencoba menenangkan dirinya.
Ketika suara klakson terdengar, balapan dimulai.
---
Pertarungan Sengit
Nathan melesat di jalan raya dengan kecepatan tinggi, angin malam menghantam wajahnya. Doni ada di belakangnya, tetapi Nathan tahu pria itu tidak akan mudah menyerah.
Di tikungan tajam, Doni mencoba menyalip, tetapi Nathan memotong jalurnya dengan manuver yang berani. Penonton bersorak, tetapi Nathan tidak mempedulikan mereka. Fokusnya hanya satu: menang.
Namun, saat mereka mendekati garis finish, Doni melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia menabrak bagian belakang motor Nathan, membuat Nathan kehilangan keseimbangan.
Motor Nathan tergelincir, tetapi ia berhasil mengendalikan kembali. Dengan sisa tenaga dan keberanian, ia melaju kencang, melewati Doni hanya beberapa meter sebelum garis finish.
Nathan menang.
---
Pengkhianatan
Namun, sebelum Nathan sempat merayakan kemenangannya, ia melihat Doni berbicara dengan beberapa anak buahnya. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Lo pikir gue bakal nurunin tangan gue cuma karena lo menang?” Doni berkata dengan senyum licik. “Ini bukan tentang balapan, Nat. Ini tentang ngasih pelajaran.”
Nathan melihat dua pria mendekati Anindya di antara kerumunan. Jantungnya berdegup kencang.
“Jangan berani-berani nyentuh dia!” Nathan berteriak, berlari menuju Anindya.
Tetapi sebelum ia sampai, salah satu pria itu menarik Anindya ke dalam mobil dan melaju pergi.
---
Perburuan Berbahaya
Nathan tidak membuang waktu. Ia langsung naik ke motornya dan mengejar mobil itu. Jalanan gelap dan licin, tetapi Nathan tidak peduli.
Dengan kecepatan luar biasa, ia berhasil mendekati mobil itu. Ia menyalip dan memotong jalannya, memaksa mobil itu berhenti.
Nathan turun dari motor, mendekati mobil dengan amarah yang membara. Ia membuka pintu mobil dan menarik pria yang duduk di kursi pengemudi.
“Apa yang lo mau?” Nathan berteriak, menghantam pria itu ke tanah.
“Kami cuma disuruh Doni!” pria itu memohon.
Nathan menoleh ke arah Anindya, yang tampak gemetar tetapi tidak terluka. Ia membantu gadis itu keluar dari mobil, lalu memeluknya erat.
“Gue janji, Nin,” katanya dengan suara gemetar. “Gue nggak akan biarin mereka nyentuh lo lagi.”
---
Kejatuhan Doni
Keesokan harinya, Nathan mengambil langkah terakhir untuk memastikan Doni tidak lagi mengancam hidupnya atau Anindya. Ia menghubungi seorang kenalan lamanya yang bekerja di kepolisian, memberikan informasi tentang aktivitas ilegal Doni dan kelompoknya.
Dalam waktu singkat, Doni dan anak buahnya ditangkap. Nathan tahu ini belum berakhir, tetapi setidaknya ia telah mengambil langkah besar untuk melindungi dirinya dan Anindya.
---
Cahaya Baru
Beberapa hari kemudian, Nathan menemui Anindya di taman kampus. Ia membawa secangkir kopi untuk gadis itu, sesuatu yang sederhana tetapi penuh makna.
“Lo masih mau temenan sama gue, Nin?” tanyanya dengan nada bercanda, tetapi matanya menunjukkan keraguan.
Anindya tersenyum. “