Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Jatuh di Antara Dua Dunia

Malam itu, setelah pelarian mereka, Nathan mengantar Anindya pulang dengan motor bututnya. Jalanan basah akibat hujan, tetapi suasana di antara mereka jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Nathan merasa beban berat di dadanya sedikit terangkat, seolah kehadiran Anindya mampu menyembuhkan luka yang selama ini ia tutupi.

Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Di persimpangan menuju rumah Anindya, sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka. Nathan langsung waspada, mengenali plat nomor mobil itu dengan baik—milik salah satu anak buah ayahnya.

“Tunggu di sini,” kata Nathan singkat, suaranya lebih berat dari biasanya.

Anindya mencoba menghentikannya. “Nathan, ada apa ini?”

“Gue bilang tunggu,” jawab Nathan sambil turun dari motor.

Dari dalam mobil, dua pria berjas keluar dengan ekspresi dingin. Salah satunya, seorang pria bertubuh besar bernama Farid, mendekati Nathan.

“Bos ingin bicara denganmu. Sekarang,” katanya tanpa basa-basi.

Nathan mendengus, pandangannya tajam. “Gue nggak punya urusan sama dia.”

Farid menyeringai. “Bos bilang, kalau kamu nggak datang sekarang, konsekuensinya lebih berat.”

Melihat situasi yang tegang, Anindya turun dari motor. “Nathan, siapa mereka? Apa ini ada hubungannya dengan ayahmu?”

Nathan berbalik, menatap Anindya dengan penuh penyesalan. “Maaf, Nin. Gue nggak bisa jelasin sekarang. Gue harus pergi.”

“Kalau kamu pergi, aku ikut,” kata Anindya dengan tegas.

“Lo nggak ngerti. Ini bukan urusan lo!” Nathan membentak, tetapi matanya menunjukkan rasa takut, bukan marah.

Namun, Anindya tetap berdiri di tempatnya, menatap Nathan tanpa gentar.

Melihat kebuntuan itu, Farid memutar mata. “Cukup. Kalau dia mau ikut, biarkan. Tapi jangan salahkan kami kalau sesuatu terjadi.”

---

Pertemuan dengan Sang Ayah

Nathan dan Anindya dibawa ke sebuah rumah besar yang megah, tetapi suasananya dingin dan menekan. Di ruang tamu yang dihiasi marmer mahal, Arman Arsyad sudah menunggu mereka dengan ekspresi dingin.

“Anindya Zahra,” kata Arman sambil menyilangkan tangan di depan dada. “Akhirnya aku bertemu dengan gadis yang berhasil membuat anakku melupakan akal sehatnya.”

Anindya berdiri tegak, meskipun jantungnya berdegup kencang. “Pak Arman, saya tidak bermaksud mengganggu kehidupan Nathan.”

Arman menyeringai tipis. “Mengganggu? Kau bahkan tidak tahu setengah dari apa yang sedang terjadi.”

Nathan melangkah maju, berdiri di antara Anindya dan ayahnya. “Cukup, Ayah. Jangan bawa dia ke dalam masalah kita.”

Arman menatap Nathan dengan tajam. “Kau pikir kau bisa melindunginya? Anak sepertimu bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri.”

Anindya merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di antara mereka, sesuatu yang tidak sepenuhnya ia pahami.

“Pak Arman,” katanya dengan suara lembut, mencoba meredakan ketegangan, “saya mungkin tidak tahu semua masalah keluarga Anda. Tapi Nathan bukan orang buruk. Dia hanya butuh kesempatan.”

Arman tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sindiran. “Kesempatan? Nathan sudah diberi kesempatan berkali-kali, dan dia selalu gagal.”

Nathan mengepalkan tangannya, matanya memerah. “Gue nggak akan pernah cukup baik di mata lo, kan? Lo selalu nyalahin gue atas semuanya, bahkan atas sesuatu yang bukan salah gue.”

Ruangan itu menjadi hening. Kalimat Nathan seperti bom yang meledak, membuka luka lama yang selama ini mereka hindari.

Akhirnya, Arman berdiri. “Aku akan memberikanmu satu kesempatan terakhir, Nathan. Jauhi gadis ini, dan aku akan membiarkanmu hidup sesuai keinginanmu.”

Nathan terkejut. “Apa maksud lo?”

“Anindya adalah kelemahanmu,” kata Arman dengan dingin. “Dan kelemahan adalah hal yang tidak bisa diterima di keluarga ini.”

Nathan menatap ayahnya dengan kebencian yang mendalam. Tetapi sebelum ia sempat membalas, Anindya memegang lengannya, menariknya pelan.

“Sudah cukup, Nathan,” bisiknya. “Kita pergi dari sini.”

---

Rencana Baru

Setelah mereka keluar dari rumah Arman, Nathan mengantarkan Anindya pulang tanpa banyak bicara. Ketika mereka tiba di depan rumah Anindya, Nathan akhirnya membuka suara.

“Maaf, Nin. Lo nggak seharusnya terlibat dalam semua ini.”

Anindya menatapnya dengan lembut. “Nathan, aku tidak peduli apa yang ayahmu pikirkan. Aku hanya peduli tentang kamu.”

Nathan menggelengkan kepala. “Gue nggak pantas buat lo. Dia benar. Gue cuma akan nyakitin lo.”

“Tapi kamu lupa satu hal,” kata Anindya. “Aku yang memutuskan siapa yang pantas untukku.”

Kata-kata itu membuat Nathan terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar percaya padanya.

Namun, di balik kehangatan itu, Nathan tahu ia harus mengambil tindakan. Ia tidak bisa terus membiarkan Anindya terancam karena dirinya.

Malam itu, Nathan kembali ke rumahnya dengan sebuah rencana di kepala. Jika ia ingin melindungi Anindya, ia harus menghadapi masa lalunya dan mengubah hidupnya.

---

Konflik Memuncak

Keesokan harinya, Nathan mulai bertemu dengan beberapa teman lamanya yang terlibat dalam balapan liar dan bisnis ilegal. Ia tahu, untuk benar-benar keluar dari pengaruh ayahnya, ia harus menghancurkan akar-akar yang mengikatnya selama ini.

Namun, hal itu tidak mudah. Banyak dari mereka yang merasa Nathan mengkhianati mereka. Salah satunya adalah Doni, mantan rivalnya di dunia balapan.

“Lo pikir lo bisa keluar begitu aja, Nat?” tanya Doni dengan nada mengancam ketika mereka bertemu di sebuah bengkel tua.

“Gue nggak peduli apa yang lo pikirkan, Don,” jawab Nathan dengan tegas. “Gue udah selesai dengan semua ini.”

Doni tertawa sinis. “Selesai? Dunia ini nggak semudah itu, bro. Lo nggak bisa pergi tanpa bayar harga.”

Nathan tahu ia sedang bermain dengan api, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Jika ia ingin melindungi Anindya, ia harus membuktikan bahwa ia tidak lagi terikat pada masa lalunya.

---

Anindya dalam Bahaya

Sementara itu, Anindya mulai merasakan tekanan yang semakin besar dari gosip dan ancaman tidak langsung yang datang padanya. Beberapa teman kampusnya mulai menjauh, takut terlibat dengan masalah yang melibatkan Nathan.

Suatu hari, ketika Anindya sedang berjalan pulang dari perpustakaan, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Dari dalam, Farid keluar dengan ekspresi serius.

“Kami ingin bicara,” katanya singkat.

Anindya merasa panik, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Apa ini ada hubungannya dengan Nathan?”

Farid tidak menjawab. Ia hanya membuka pintu mobil, memberi isyarat agar Anindya masuk.

---

Puncak Konflik

Nathan menerima kabar tentang Anindya dari salah satu anak buah Doni. Ia langsung bergegas ke lokasi yang disebutkan, sebuah gudang kosong di pinggiran kota.

Ketika ia tiba, ia menemukan Anindya duduk di kursi dengan tangan terikat. Farid berdiri di sampingnya, sementara Doni menyeringai dari kejauhan.

“Lo pikir lo bisa kabur dari semuanya, Nat?” kata Doni dengan nada mengejek.

Nathan melangkah maju, menahan amarahnya. “Lepasin dia. Dia nggak ada hubungannya dengan ini.”

“Dia punya segalanya untuk dilakukan,” jawab Doni. “Lo berubah karena dia. Dan gue nggak suka itu.”

Nathan tahu ini adalah ujian terakhirnya. Jika ia ingin melindungi Anindya, ia harus menghadapi semua yang ia takuti selama ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel