Bab 3: Batas dan Pertemuan
Nathan memandangi ponselnya dengan gusar. Sudah hampir dua minggu sejak malam di bukit itu, dan ia belum berani bertemu lagi dengan Anindya. Gadis itu seperti tembok baja yang tak mampu ia pecahkan sepenuhnya, tetapi juga seperti lilin yang perlahan-lahan mencairkan es di dalam dirinya.
Namun, semakin ia mendekat, semakin ia merasa tidak layak. Siapa dirinya? Seorang pria dengan masa lalu kelam, ego tinggi, dan beban kesalahan. Anindya adalah kebalikannya—cahaya yang tidak sepantasnya ia kotori.
“Bro, lo nggak fokus,” suara Rio memecah lamunannya. Mereka sedang nongkrong di sebuah kafe kecil dekat kampus, tempat biasanya Nathan menenangkan diri dengan secangkir kopi.
Nathan mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. “Nggak apa-apa. Lo aja yang bawel.”
Rio menyeringai, tetapi tatapannya berubah serius. “Gue ngerti, Nat. Lo kepikiran dia, kan? Anindya.”
Nathan mendengus, berusaha menyembunyikan perasaannya. “Gue nggak mau bahas ini.”
“Tapi lo udah jauh, Nat. Gue tau lo. Biasanya lo nggak pernah mikirin cewek lebih dari seminggu. Kalau ini lain, kenapa nggak lo seriusin?”
Nathan menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. “Karena gue nggak punya apa-apa buat ditawarkan, Rio. Lo pikir dia bakal mau sama orang kayak gue?”
Rio mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. “Lo nggak tau sampai lo coba. Kalau lo serius, tunjukin. Tapi inget, Nat, kalau lo cuma mau main-main, lebih baik lo jauhin dia sekarang sebelum semuanya makin rumit.”
Kalimat Rio terus terngiang di kepala Nathan sepanjang malam. Apakah ia hanya akan menyakiti Anindya jika terus mendekatinya?
---
Konflik Tak Terduga
Sementara itu, Anindya menjalani hari-harinya seperti biasa. Meski Nathan tidak menghubunginya selama beberapa waktu, ia tetap melanjutkan hidupnya dengan tenang. Namun, perasaan ganjil mulai merayap ke dalam dirinya. Ada sesuatu tentang Nathan yang tidak bisa ia lupakan—bukan hanya rahasianya, tetapi juga cara pria itu membawa dirinya.
Di tengah kesibukan kampus, Anindya mulai mendengar gosip tentang dirinya dan Nathan.
“Lo denger nggak? Anindya katanya deket sama Nathan Arsyad.”
“Yang bener? Badboy kampus itu? Kok bisa, ya?”
“Paling juga Nathan cuma main-main. Nggak mungkin mereka cocok.”
Anindya berusaha mengabaikan bisikan-bisikan itu, tetapi salah satu temannya, Aisyah, akhirnya mengungkapkan kekhawatirannya.
“Nin, gue tau ini bukan urusan gue, tapi lo serius deket sama Nathan?” tanya Aisyah saat mereka sedang duduk di ruang kelas.
Anindya menghela napas panjang. “Aisyah, Nathan itu bukan seperti yang orang pikirkan. Dia memang berbeda, tapi bukan berarti dia buruk.”
“Gue ngerti, lo selalu berusaha liat sisi baik dari orang lain. Tapi lo juga harus jaga hati lo, Nin. Gue cuma takut lo terluka.”
Kata-kata itu membuat Anindya merenung. Benarkah ia terlalu percaya pada Nathan?
---
Pertemuan Tak Terencana
Hari itu, hujan turun dengan deras. Anindya sedang berjalan menuju parkiran kampus ketika ia mendapati Nathan berdiri di bawah pohon besar, basah kuyup tanpa payung. Ia tidak bisa mengabaikannya.
“Nathan!” serunya, setengah berlari mendekat.
Nathan menoleh, terlihat terkejut. “Anindya? Lo ngapain di sini?”
“Seharusnya gue yang tanya. Kamu nggak bawa payung?”
Nathan mengangkat bahu, mencoba terlihat santai. “Gue suka hujan.”
Anindya menggelengkan kepala, lalu mengulurkan payungnya. “Kalau kamu suka, itu urusan kamu. Tapi jangan sampai sakit.”
Nathan menatap payung itu sejenak, lalu mengambilnya dengan ragu. “Kenapa lo baik banget, sih?”
“Karena itu yang seharusnya dilakukan,” jawab Anindya dengan senyum kecil. “Ayo, gue anter ke tempat lo parkir.”
Mereka berjalan bersama di bawah payung yang sempit. Jarak mereka begitu dekat, tetapi suasana tetap hening. Nathan merasa canggung, sementara Anindya tampak tenang seperti biasa.
Namun, di balik ketenangannya, Anindya memikirkan sesuatu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Nathan, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara memulainya tanpa membuat pria itu merasa terpojok.
---
Rahasia Lain yang Terkuak
Nathan tidak pernah menyangka, pertemuannya dengan Anindya hari itu akan membawanya ke momen yang sulit ia hindari. Malam itu, setelah mengantarkan Anindya pulang dengan motornya, ia mendapati sebuah mobil hitam terparkir di depan rumahnya.
Ayahnya, Arman Arsyad, berdiri di depan pintu dengan wajah dingin.
“Masuk,” perintah ayahnya tanpa basa-basi.
Nathan masuk dengan enggan, tahu apa yang akan terjadi. Di ruang tamu, ayahnya sudah menyiapkan sebotol anggur yang belum dibuka.
“Aku dengar kau masih main-main di kampus,” kata Arman dengan nada datar.
Nathan mendengus. “Aku nggak main-main.”
“Lalu apa? Kau pikir kau bisa mengubah masa depanmu dengan menghabiskan waktu dengan gadis seperti itu?”
Nathan terkejut. “Apa maksud Ayah?”
“Anindya Zahra,” jawab Arman, menyebut nama itu dengan nada meremehkan. “Aku tahu segalanya, Nathan. Kau tidak cocok dengannya. Dia akan menghancurkanmu, atau kau yang menghancurkannya.”
Nathan mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Jangan bawa dia ke dalam masalah ini.”
Arman tersenyum sinis. “Masalah ini adalah hidupmu, Nathan. Dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluarga ini lebih dari yang sudah kau lakukan.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dada Nathan. Ia tahu, ayahnya tidak pernah benar-benar memaafkannya atas kematian Naura.
“Gadis itu akan membuatmu lemah, Nathan. Kau tidak butuh kelembutan. Kau butuh kekuatan untuk bertahan di dunia ini.”
Nathan meninggalkan ruang tamu tanpa sepatah kata lagi. Malam itu, ia mengunci dirinya di kamar, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
---
Anindya Mengambil Risiko
Hari-hari berikutnya, Nathan semakin menjauh dari Anindya. Gadis itu mulai menyadari perubahan sikapnya, tetapi ia tidak ingin memaksa Nathan untuk berbicara.
Namun, ketika ia mendengar dari Rio bahwa Nathan sedang menghadapi tekanan dari keluarganya, Anindya memutuskan untuk bertindak.
Ia mendatangi Nathan di tempat balapan liar, sebuah lokasi yang tidak pernah ia bayangkan akan ia kunjungi.
Ketika Nathan melihatnya di sana, ia langsung mendekatinya dengan wajah marah. “Lo ngapain di sini? Ini bukan tempat lo.”
Anindya menatapnya dengan tegas. “Nathan, kamu nggak bisa terus-terusan lari dari masalah. Kalau ada yang salah, kita bisa bicara.”
Nathan tertawa sinis. “Bicara? Lo pikir ngomong bakal menyelesaikan semuanya? Dunia gue nggak sebersih dunia lo, Nin.”
“Tapi kamu punya pilihan, Nathan. Kamu bisa berhenti menyakiti diri sendiri.”
Nathan terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apapun.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara sirene polisi terdengar di kejauhan. Nathan langsung menarik tangan Anindya. “Kita harus pergi.”
---
Pelarian yang Mengubah Segalanya
Nathan membawa Anindya ke sebuah tempat tersembunyi di pinggiran kota, sebuah gudang tua yang pernah ia gunakan sebagai tempat persembunyian.
Di sana, mereka akhirnya berbicara dari hati ke hati. Nathan membuka diri sepenuhnya, menceritakan tentang masa lalunya, keluarganya, dan semua rasa bersalah yang ia pendam.
Anindya mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan kata-kata yang membuat Nathan merasa dihargai dan dimengerti.
Namun, percakapan mereka tidak hanya membawa kedamaian. Itu juga memperjelas sesuatu yang selama ini mereka hindari—perasaan yang tumbuh di antara mereka.
Ketika malam semakin larut, Nathan berkata dengan suara pelan,