Pustaka
Bahasa Indonesia

Cahaya Di Balik Gelap

58.0K · Ongoing
Luqmanul Hakim
56
Bab
65
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sinopsis Nathan Arsyad adalah sosok badboy yang dikenal keras, dingin, dan liar di lingkungan kampusnya. Hidupnya dipenuhi dengan pesta, balapan liar, dan konflik. Namun, di balik sikapnya yang tak peduli, Nathan menyimpan luka mendalam yang membuatnya sulit percaya pada orang lain. Sementara itu, Anindya Zahra adalah kebalikan dari Nathan. Seorang mahasiswi jurusan pendidikan, ia adalah gadis yang sederhana, alim, dan selalu menjaga nilai-nilai agama serta moral. Kehadirannya membawa ketenangan, seperti embun pagi yang menyentuh rumput. Pertemuan mereka terjadi secara tidak sengaja. Nathan, yang terlibat dalam sebuah balapan liar, hampir menabrak Anindya di jalan. Bukannya meminta maaf, Nathan justru bersikap kasar. Namun, bukannya marah, Anindya membalas sikap Nathan dengan kelembutan. Sejak saat itu, Nathan merasa terganggu oleh kehadiran Anindya dalam pikirannya. Anindya yang awalnya hanya ingin menjaga jarak, mulai melihat sisi lain dari Nathan. Dia bukan hanya seorang pemuda yang keras dan penuh amarah, tetapi seseorang yang terjebak dalam kegelapan masa lalunya. Di sisi lain, Nathan merasa bahwa Anindya adalah cahayanya, meski ia takut untuk menggapainya. Namun, perjalanan mereka tidak mudah. Perbedaan karakter dan prinsip hidup mereka menjadi rintangan besar. Apalagi saat masa lalu kelam Nathan mulai kembali menghantui dan mengancam kehidupan mereka. Akankah Anindya mampu menyentuh hati Nathan dan membantunya keluar dari kegelapan? Atau justru Nathan yang akan menyeret Anindya masuk ke dunianya yang penuh bahaya?

RomansaMetropolitanactionbadboyDramaPlot TwistThriller

Bab 1: Pertemuan Dua Dunia

Malam itu, Nathan Arsyad memacu motornya seakan tak peduli dunia. Udara dingin menusuk, tetapi Nathan hanya merasa panas membara di dadanya. Pelampiasan. Selalu begitu. Ketika amarah, frustrasi, dan kekosongan menyerang, ia akan keluar ke jalanan, mencari apa saja yang bisa memacu adrenalinnya.

Kawannya, Rio, yang juga pembalap liar, sempat mengingatkan agar dia lebih berhati-hati malam ini. Ada kabar polisi sedang patroli di sekitar daerah balapan. Tapi, Nathan tidak pernah mendengar nasihat siapa pun.

"Peduli setan," gumamnya sambil menyalakan mesin motornya, suara raungannya menggema memecah keheningan malam.

---

Sementara itu, di sisi lain jalan, Anindya Zahra baru saja menyelesaikan kegiatan kajian rutin di masjid kampus. Meski sudah larut malam, ia tak merasa takut. Jalanan sepi ini sudah akrab baginya. Anindya percaya, selama ia menjaga niat baik dan berdoa, Allah akan melindunginya.

Namun, kali ini, firasatnya sedikit berbeda. Di kejauhan, ia mendengar deru motor yang semakin mendekat. Dengan langkah kecil namun tetap tenang, ia memilih menepi ke trotoar. Ia tidak ingin terlibat masalah dengan siapapun, apalagi di malam seperti ini.

---

Nathan semakin menambah kecepatannya. Angin dingin menerpa wajahnya, tetapi itu justru memacu semangatnya. Matanya menangkap lampu merah di ujung jalan. Namun, seperti biasa, Nathan tak peduli. Baginya, lampu merah hanyalah simbol lain dari aturan yang dibuat untuk dikangkangi.

Tepat saat ia melintasi persimpangan itu, Nathan menginjak rem mendadak. Ada seseorang berdiri di trotoar, membuatnya nyaris kehilangan kendali. Ban motornya berdecit keras, dan motor itu berhenti hanya beberapa meter dari sosok yang berdiri tegak.

Nathan turun dari motornya dengan kasar, helm masih menempel di kepala. Matanya menyipit memandang orang yang telah mengganggu malamnya.

"Hei! Mau mati, ya? Jalan sembarangan begitu!" bentaknya.

Gadis itu menoleh dengan tenang. Raut wajahnya tidak menunjukkan ketakutan, melainkan keterkejutan kecil yang segera tergantikan oleh ekspresi sabar.

"Maaf, saya tidak menyangka kamu akan melaju secepat itu," jawabnya lembut.

Nathan mengerutkan kening. Nada bicara gadis itu terlalu tenang untuk situasi seperti ini. Ia mendekat, ingin melayangkan lebih banyak kata-kata kasar, tetapi langkahnya terhenti. Untuk pertama kalinya, ia melihat wajah gadis itu dengan jelas di bawah sorotan lampu jalanan.

Jilbab putih yang ia kenakan terlihat kontras dengan gelapnya malam. Matanya besar, bersinar lembut meski penuh kehati-hatian. Wajahnya tampak begitu bersih, tanpa riasan apapun, tetapi keindahannya terasa menenangkan.

Namun, Nathan tidak akan menunjukkan kebingungannya. Ia bukan tipe yang mudah luluh hanya karena wajah manis.

"Dasar sok suci," gumam Nathan sambil mengalihkan pandangannya.

Anindya tidak bereaksi terhadap hinaan itu. Ia hanya menghela napas pelan. "Kamu baik-baik saja? Kelihatannya tadi hampir jatuh," tanyanya, tulus.

Pertanyaan itu membuat Nathan terkejut. Biasanya, orang akan langsung pergi atau membalas emosinya dengan amarah. Tapi gadis ini... dia malah peduli padanya?

"Aku baik-baik saja," jawab Nathan ketus, berbalik dan menuju motornya. Namun, saat ia hendak menyalakan mesin, kata-kata gadis itu membuatnya menghentikan gerakannya.

"Hati-hati di jalan. Jangan sampai ada yang terluka karena kebut-kebutanmu."

Nathan menoleh, sorot matanya tajam. "Kau pikir siapa dirimu, ha? Sok mengatur hidup orang lain!"

Anindya menunduk sedikit, tetapi tidak ada rasa gentar di wajahnya. "Saya hanya mengingatkan. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan marah-marah dan melawan aturan."

Nathan terdiam. Ucapannya menusuk, bukan karena ia takut, tetapi karena itu terasa benar. Namun, ego Nathan terlalu besar untuk mengakuinya.

Ia menyalakan mesinnya dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi, meninggalkan Anindya yang berdiri sendirian di bawah lampu jalan.

---

Pagi Hari

Keesokan harinya, Anindya kembali ke rutinitasnya. Ia tidak menganggap kejadian semalam sebagai sesuatu yang istimewa. Ia bertemu banyak orang, dan seperti biasa, ia hanya mencoba menjadi versi terbaik dirinya.

Namun, takdir ternyata tidak membiarkan pertemuan itu berlalu begitu saja.

Di sebuah kafetaria kampus, Nathan dan Rio duduk bersama. Nathan jarang ke kampus, tetapi kali ini ia terpaksa datang untuk mengurus masalah akademiknya. Ia tidak pernah tertarik pada lingkungan kampus, apalagi pada orang-orangnya.

Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Tepat di sudut kafetaria, seorang gadis yang sangat dikenalnya sedang duduk bersama beberapa teman. Gadis itu berbicara dengan tenang, sering tersenyum, dan terlihat begitu damai.

Anindya Zahra.

Nathan langsung ingat kejadian malam itu. Gadis itu tampaknya tidak menyadari kehadirannya.

"Hei, Nat, lo kenapa? Ngelamun?" tanya Rio sambil mengunyah makanan.

Nathan menggeleng pelan. "Enggak. Cuma lihat orang aneh."

Rio mengikuti pandangan Nathan. "Oh, yang itu? Anindya Zahra, kan? Anak jurusan pendidikan. Dia terkenal di sini, sih. Katanya pinter, alim, dan... terlalu baik buat hidup di dunia ini."

Nathan mendengus. "Terkenal? Sok suci mungkin."

Rio terkekeh. "Yah, mungkin aja. Tapi, kayaknya dia tipe cewek yang nggak bakal ada gunanya buat lo, Nat. Nggak mungkin lo dapet dia, kalau itu yang lo pikirin."

Nathan tersenyum miring, penuh tantangan. "Siapa bilang gue pengen dia?"

Namun, dalam hati, Nathan tahu, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengabaikan Anindya begitu saja. Ada rasa penasaran yang mengusik. Gadis itu bukan seperti orang-orang di sekitarnya. Dan untuk alasan yang bahkan tidak ia pahami, ia ingin tahu lebih banyak tentangnya.