Bab 2: Rahasia Nathan
Matahari sore memancarkan sinarnya melalui jendela besar di pojok ruang perpustakaan. Suasana hening, hanya terdengar suara lembaran buku yang dibalik dan langkah-langkah ringan pengunjung. Di sudut ruangan, Anindya Zahra duduk dengan tenang. Laptop dan buku-buku catatan berserakan di mejanya. Dia tenggelam dalam tugas makalahnya, sesekali mencoret-coret catatan dengan pulpen berwarna biru.
Namun, suasana tenang itu berubah ketika suara berat seseorang menyelusup ke telinganya.
"Rajin banget, ya?"
Anindya menoleh perlahan. Ia mendapati seorang pria berdiri di belakangnya, tangan dimasukkan ke saku celana jeans, dengan jaket hitam yang sudah terlihat usang. Wajah itu tidak asing baginya.
Nathan.
Hatinya sedikit berdesir, bukan karena takut, melainkan bingung. Ia tidak menyangka akan bertemu pria itu lagi, apalagi di tempat seperti ini.
Anindya tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perasaan canggung yang menyelinap. "Ada yang bisa saya bantu?"
Nathan menarik kursi di depannya tanpa meminta izin dan duduk dengan santai. "Nggak, cuma heran. Lo selalu sibuk ngerjain tugas, ya? Nggak pernah ada waktu buat... bersenang-senang?"
Anindya menutup bukunya perlahan, menatap Nathan dengan tatapan lembut tapi penuh kewaspadaan. "Sibuk itu bagian dari tanggung jawab, Nathan. Kalau soal bersenang-senang, menurut saya itu relatif. Kamu sendiri, kenapa ada di sini?"
Nathan terkekeh. "Kenapa? Tempat ini cuma buat orang alim kayak lo?"
"Semua orang berhak ke perpustakaan. Saya cuma nggak nyangka kamu tertarik."
Nathan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Anindya dengan sorot mata tajam. "Gue di sini karena Rio minta gue nemuin dosen buat benerin nilai gue. Tapi gue malah liat lo. Menarik juga, ya, lo di dunia nyata beda banget dari cerita orang-orang di kampus."
Anindya mengerutkan kening. "Cerita apa?"
Nathan tidak langsung menjawab. Ia mengamati gadis itu, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya membuatnya terlihat begitu berbeda. Perlahan, ia tersenyum tipis. "Nggak penting. Cuma heran aja kenapa lo selalu bersikap kayak lo hidup di dunia yang sempurna. Nggak takut disakiti, nggak takut kecewa?"
Kalimat itu membuat Anindya terdiam sejenak. Ada sesuatu di balik nada suara Nathan, seperti ada luka yang tak terucapkan. Ia menegakkan duduknya, berusaha menjaga nada bicara tetap lembut. "Hidup saya jauh dari sempurna, Nathan. Tapi saya percaya, setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Kita hanya perlu percaya."
Nathan tertawa kecil, tapi terdengar getir. "Percaya, ya? Lucu."
Anindya ingin bertanya lebih jauh, tetapi Nathan sudah bangkit dari tempat duduknya. "Gue cabut dulu. Lo terlalu serius buat gue."
---
Kehidupan di Balik Layar
Nathan kembali ke rumahnya malam itu dengan kepala penuh pikiran. Dia tidak tahu kenapa Anindya terus-terusan muncul di benaknya. Biasanya, ia tidak peduli dengan siapa pun, apalagi seorang gadis alim yang hidupnya berkebalikan dengannya.
Rumah Nathan terletak di kawasan elit, tetapi suasana di dalamnya tidak pernah mencerminkan kenyamanan. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, jarang berada di rumah. Ibunya sibuk dengan acara sosial yang tak ada habisnya. Nathan tumbuh dalam kesepian, dikelilingi materi, tetapi kehilangan kasih sayang.
Malam itu, ia duduk di balkon kamarnya, memandangi langit malam yang gelap. Ia menggenggam sebuah cincin kecil di tangannya—satu-satunya peninggalan dari adiknya, Naura, yang meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan.
Cincin itu selalu mengingatkannya pada rasa bersalah yang tak pernah hilang. Saat kecelakaan itu terjadi, Nathan sedang terlibat balapan liar. Ia tidak ada di sisi adiknya ketika ia membutuhkan. Perasaan itu terus menghantuinya, membentuk dinding yang tinggi di sekeliling hatinya.
"Pulang, Naura..." gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
---
Kembali Bertemu
Beberapa hari kemudian, Nathan kembali bertemu dengan Anindya, kali ini di kantin kampus. Anindya sedang duduk sendiri, membaca buku sambil menikmati teh hangat. Nathan mendekatinya tanpa ragu.
"Lo nggak bosen, ya, baca terus?" tanyanya, duduk tanpa meminta izin.
Anindya menoleh, sedikit terkejut. "Nathan? Kamu ngapain di sini?"
Nathan tersenyum miring. "Gue cuma mau ngobrol. Lo sibuk terus, kayak nggak pernah punya waktu buat orang lain."
Anindya menutup bukunya, tersenyum kecil. "Kalau saya nggak punya waktu, saya nggak akan meladeni kamu sekarang."
Nathan terkekeh. "Fair point. Tapi serius, lo nggak pengen nyoba hal-hal baru? Mungkin balapan motor, pesta tengah malam, atau... kabur dari rutinitas lo?"
Anindya menggeleng. "Nathan, hidup itu bukan soal lari dari rutinitas. Tapi bagaimana kita menemukan makna dari setiap hal kecil yang kita lakukan."
Nathan mengerutkan dahi. "Lo serius banget, ya? Hidup gue beda, Nin. Gue nggak punya 'makna' buat dikejar. Gue cuma... ya gini aja, jalanin aja."
Anindya memandangnya, sorot matanya penuh iba. "Mungkin kamu belum menemukannya. Tapi bukan berarti kamu nggak bisa."
Nathan terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang ia perkirakan.
---
Interaksi yang Mulai Berubah
Seiring waktu, Nathan mulai lebih sering mencari alasan untuk mendekati Anindya. Awalnya, ia berpikir itu hanya rasa penasaran, tetapi perlahan ia menyadari bahwa keberadaan Anindya membawa ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, mendekati Anindya bukan tanpa rintangan. Banyak teman-teman Nathan yang mulai mempertanyakan niatnya. Rio, sahabatnya sejak kecil, adalah salah satu yang paling lantang menentang.
"Nat, lo serius, deketin cewek itu? Dia bukan tipe lo. Lo bakal nyakitin dia, atau dia yang bakal ninggalin lo."
Nathan tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke depan, pikirannya berkelana.
Di sisi lain, Anindya juga menghadapi tekanan dari teman-temannya. Beberapa dari mereka mulai curiga dengan kehadiran Nathan yang semakin sering di sekitarnya.
"Nin, lo nggak takut? Nathan itu terkenal badboy. Jangan-jangan dia cuma mainin lo," kata salah satu temannya.
Anindya hanya tersenyum. "Nathan memang berbeda. Tapi saya percaya, setiap orang bisa berubah."
---
Rahasia yang Terkuak
Pada suatu malam, Nathan mengajak Anindya ke sebuah tempat yang menurutnya istimewa—bukit kecil di pinggiran kota, tempat ia sering menghabiskan waktu sendiri. Mereka duduk di atas kap mobil Nathan, memandangi langit malam yang bertabur bintang.
"Kenapa kamu ngajak saya ke sini?" tanya Anindya, memecah keheningan.
Nathan menghela napas. "Gue nggak tahu. Mungkin karena lo bikin gue... nyaman. Sesuatu yang jarang gue rasain."
Anindya tersenyum kecil. "Semua orang butuh tempat untuk merasa nyaman."
Nathan terdiam sejenak, lalu mengeluarkan cincin kecil dari saku jaketnya. Ia memandang cincin itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ini punya adik gue, Naura," katanya, suaranya serak. "Dia meninggal lima tahun lalu. Dan gue nggak ada di sana buat dia."
Anindya terkejut, tetapi ia tidak memotong. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Nathan melanjutkan, "Gue sibuk balapan waktu itu. Nyokap gue nggak pernah berhenti nyalahin gue. Gue juga nyalahin diri sendiri. Gue nggak tahu kenapa gue ceritain ini ke lo, tapi... gue capek."
Mendengar itu, Anindya merasa hatinya tersentuh. Ia menatap Nathan dengan penuh pengertian, lalu berkata pelan, "Nathan, kehilangan itu berat. Tapi menyalahkan diri sendiri tidak akan mengembalikan apa yang hilang. Mungkin ini waktunya kamu berdamai dengan masa lalu."
Nathan menoleh, menatap Anindya dalam-dalam. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar memahami dirinya.