BAB. 5 Sang Juara
Setelah bel sekolah berbunyi, tiga remaja tampan dari SMA CIPTA NUSANTARA, Joseph, Farez, dan Arnold, berjalan keluar dengan langkah ringan. Mereka baru saja memenangkan pertandingan three-on-three basket ball yang penuh semangat dan kini sedang merayakan kemenangan mereka di sebuah mall di kawasan Jakarta Pusat. Senyum lebar terpancar di wajah ketiganya saat mereka memasuki kafe favorit mereka.
“Chocolate milk tea tiga, ya!” seru Joseph kepada seorang barista.
“Ini dia, minuman kemenangan kita,” tambahnya sambil mengedipkan mata pada Farez dan Arnold. Mereka semua tertawa riang, menikmati suasana santai sore itu. Minuman favorit ketiga pria tampan itu, chocolate milk tea, sudah di tangan, dan mereka lalu mencari tempat duduk yang nyaman di pojokan kafe.
“Gila, tadi siang kita main keren banget!” tukas Arnold sambil duduk dan menyeruput minumannya.
“Yoi, strategi kita pas banget. Gue nggak nyangka kita bisa menang dengan skor telak,” sahut Farez dengan semangat. Joseph hanya tersenyum lebar, mengingat momen-momen kemenangan mereka.
Namun, di seberang kafe, suasana berbeda terlihat. Tiga pemuda lain, Abdiel, Christian, dan Brian, duduk bersama di meja dekat jendela besar. Mereka adalah lawan Joseph, Farez, dan Arnold dalam pertandingan basket tadi siang. Meski mereka mencoba bersikap santai, aura permusuhan dan ketidakpuasan jelas terlihat dari wajah mereka.
“Aku nggak nyangka kita bisa kalah dari mereka,” gerutu Abdiel sambil menatap minuman di depannya.
Christian, yang duduk di sebelahnya, mengangguk setuju.
“Permainan mereka memang bagus, tapi kita bisa lebih baik, kok. Kita hanya perlu pertandingan ulang,” ucap Christian dengan nada serius.
Brian, yang biasanya tenang, menatap langsung ke arah Joseph dan kawan-kawannya yang sedang berada di seberang kafe tempat mereka nongkrong.
“Aku tidak terima kekalahan ini. Kita harus tantang mereka lagi,” ujarnya tegas.
“Setuju,” jawab Abdiel cepat.
“Mereka mungkin menang kali ini, tapi kita harus buktikan kalau kita bisa lebih baik dari para pria songong itu!”
Sementara itu, di pojokan kafe, Joseph, Farez, dan Arnold terus berbincang dengan riang. Ketiganya tidak menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan oleh Abdiel dan teman-temannya.
“Aku rasa kita harus latihan lebih keras lagi untuk turnamen berikutnya,” usul Joseph.
“Kita tidak boleh lengah.”
“Benar, kita nggak boleh cepat puas. Tapi hari ini, kita nikmati dulu kemenangan kita,” jawab Farez sambil tersenyum.
Arnold mengangguk setuju. “Kemenangan ini harus kita rayakan. Tapi kita juga harus siap untuk tantangan berikutnya.”
Tiba-tiba, Abdiel, Christian, dan Brian berdiri dari tempat duduk mereka dan berjalan masuk di kafe yang ada ketiga pria itu. Mereka lalu mendekati meja Joseph, Farez, dan Arnold. Suasana kafe yang tadinya riang mendadak menjadi tegang.
“Hei, selamat atas kemenangan kalian tadi,” ucap Abdiel dengan suara datar.
“Permainan kalian bagus.”
“Terima kasih,” jawab Joseph sambil tersenyum, meski dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan kedatangan ketiganya.
“Tapi kami nggak bisa terima kekalahan ini begitu saja,” lanjut Christian.
“Kita ingin pertandingan ulang!” ujarnya lantang.
“Ya, kita harus tahu siapa yang benar-benar terbaik! Dan siapakah yang sebenarnya cocok dikatakan sebagai pecundang!” tambah Brian dengan tatapan tajam.
Joseph, Farez, dan Arnold saling bertukar pandang. Ketiganya bisa merasakan semangat kompetisi yang masih membara di antara mereka.
“Baiklah,” jawab Joseph dengan tenang.
“Kita siap untuk pertandingan ulang kapan saja. Tapi hari ini, kami mau merayakan dulu kemenangan kami!” sindir Farez.
“Kami akan tunggu! Kapan saja kami siap untuk pertandingan ulang!” seru Abdiel sebelum berbalik dan berjalan keluar kafe bersama Christian dan Brian. Aura ketegangan masih terasa bahkan setelah mereka pergi.
Joseph menghela napas panjang.
“Ternyata ini belum berakhir, teman-teman. Kita harus siap untuk tantangan berikutnya.”
“Yap, kita harus tetap fokus dan perlu untuk latihan lagi,” jawab Farez.
Arnold mengangguk setuju. “Kita akan buktikan kalau kita memang yang terbaik.”
Para pria itu kembali menikmati minuman mereka, namun pikiran masing-masing sudah melayang ke pertandingan ulang yang akan datang. Suasana kafe kembali riang, tapi di balik keceriaan itu, ada semangat kompetisi yang terus menyala di hati mereka.
Beberapa hari kemudian, di lapangan basket sekolah, Joseph, Farez, dan Arnold berlatih dengan giat. Ketiganya tahu bahwa tantangan dari Abdiel dan teman-temannya bisa datang kapan saja. Latihan demi latihan mereka jalani dengan penuh semangat, mempersiapkan diri untuk pertandingan ulang yang pasti akan datang.
“Ayo, kita harus lebih baik dari sebelumnya,” tukas Joseph sambil menggiring bola.
“Kita harus tetap fokus,” tambah Farez.
Arnold, yang sedang melakukan lay-up, menoleh dan tersenyum.
“Kita pasti bisa, Bro! Karena kita tim yang solid.”
Sementara itu, di sisi lain lapangan, Abdiel, Christian, dan Brian juga berlatih dengan tekun. Mereka tak mau kalah lagi dan bertekad untuk membalas kekalahannya beberapa waktu yang lalu.
“Kita harus lebih cepat, dan kuat,” tutur Abdiel dengan penuh semangat.
“Ya, kita harus menang kali ini,” jawab Christian sambil menggenggam bola dengan erat.
Brian mengangguk. “
Kita akan buat mereka menyesal pernah menang dari kita!”
Hari-hari berlalu dengan cepat. Akhirnya, datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Pertandingan ulang antara dua tim terbaik di SMA CIPTA NUSANTARA pun digelar. Lapangan penuh dengan sorak sorai siswa-siswi yang ingin menyaksikan pertarungan sengit ini.
Di satu sisi lapangan, Joseph, Farez, dan Arnold berdiri dengan penuh percaya diri. Mereka tahu bahwa ini adalah momen penting untuk membuktikan kemampuan mereka.
Sementara Abdiel, Christian, dan Brian juga sedang bersiap dengan tekad yang membara. Mereka tidak mau mengulang kesalahan yang sama.
Wasit meniup peluit tanda pertandingan dimulai. Suasana menjadi tegang seketika. Kedua tim bermain dengan penuh semangat, menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Bola bergulir cepat dari satu pemain ke pemain lain, dengan serangan dan pertahanan yang sama kuatnya.
Joseph menggiring bola dengan lincah, menghindari sergapan Christian. Dia melempar bola ke arah Farez, yang dengan cepat melakukan lay-up. Skor pertama tercetak, dan sorakan dari penonton menggema di seluruh lapangan.
“Bagus, Farez!” teriak Arnold dengan semangat.
Namun, Abdiel dan timnya tidak mau kalah. Mereka segera membalas dengan serangan cepat, dan bola berhasil masuk ke keranjang dengan sempurna. Skor menjadi imbang.
Pertandingan terus berlangsung dengan sengit. Kedua tim saling berkejaran dalam mencetak poin, menunjukkan strategi dan keterampilan terbaik mereka. Peluh membasahi wajah-wajah mereka, namun semangat tak pernah surut.
Akhirnya, di detik-detik terakhir pertandingan, Joseph mendapatkan kesempatan emas. Dengan cepat, dia menggiring bola dan melakukan tembakan tiga angka yang sempurna. Bola melayang di udara, semua mata tertuju padanya, dan ... masuk!
Sorakan menggema saat Joseph, Farez, dan Arnold merayakan kemenangan mereka. Ketiga pria itu telah membuktikan bahwa mereka memang yang terbaik.
Abdiel, Christian, dan Brian hanya bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, meski mereka sudah berjuang sekuat tenaga. Namun para pria itu kalah strategi.
“Pertandingan berakhir dengan skor 55-52, kemenangan untuk Joseph, Farez, dan Arnold! teriak sang wasit.
Mereka saling berpelukan, merayakan kemenangan yang diraih dengan kerja keras dan semangat yang tak kenal menyerah. Pertandingan ulang ini menjadi bukti bahwa persahabatan dan semangat kompetisi bisa berjalan beriringan, dan setiap tantangan bisa dihadapi dengan tekad yang kuat.
Sementara Abdiel, Christian, dan Brian terlihat sinis menatap ke arah mereka. Ketiganya sepertinya masih menyimpan dendam di hatinya untuk Joseph, Farez, dan Arnold.