PART 03
Sejak hubungannya putus dengan Zawir, gairah belajar Yasmin turun drastis. Bahkan, keceriaan di wajahnya pun seolah raib. Ia suka terlihat murung saat duduk seorang diri.
Dan lagi-lagi, orang yang paling memperhatikan perubahannya itu adalah Edwin.
“Pasti perubahan yang terjadi pada sikap lu adalah pacar lu itu?” ucap Edwin sembari duduk di samping Yasmin saat dilihatnya gadis itu sedang duduk merenung seorang diri di kursi taman belakang rumah.
Yasmin agak kaget juga dengan kehadiran Edwin dan melontarkan pertanyaan seperti itu. Ia hanya tersenyum pendek dan berkata:
“Kami sudah gak ada hubungan lagi, A.”
Edwin spontan menatap Yasmin dengan tak berkedip.
“Lh, kok, bisa tiba-tiba seperti itu? Penyebabnya apa?”
Yasmin pun menceritakan penyebab utama yang menyebabkan hubungannya dengan Zawir harus berakhir.
“Gue bisa memaklumi, Yas. Selama lu menjalin hubungan dengan do’i, kalian memang sangat jarang untuk bisa jalan bareng, terutama pada malam hari. Bahkan di saat kalian merayakan ultah, kalian tak bisa saling datang di acara itu. Maafkan ortu gue, Yas. Mereka sudah bersikap tak bijak dan tak adil ke lu. Mereka terlalu egois dan hanya mementingkan kepentingan dan perasaan mereka sendiri. Jadi...dalam hal ini gue tak bisa juga menyalahkan cowok itu. Kalian tak ada yang salah. Keadaanlah yang salah. Dan yang menciptakan keadaan yang buruk itu adalah papa dan mama. Maaf gue karena tak mampu berbuat apa-apa buatmu di hadapapan kedua ortu gue, Yas.”
“Iya, A, Yasmin paham...!” Yasmin menatap Edwin sesaat. Ada keharuan yang sangat muncul dari lubuk hatinya. Kedua mata indahnya berkaca-kaca. “Terima kasih, A, karena sudah berempati kepada gue. Hanya lu yang bisa mengerti gue di rumah ini.”
Edwin menggeser duduknya dan langsung memeluk tubuh Yasmin. “Tentu saja, Yas, gue kan abang lu. Gue selalu tak rela jika ada yang merendahkanmu, termasuk mama dan papa.”
Yasmin hanya mengangguk-angguk dan menyembunyikan wajahnya di rusuk Edwin.
Perilaku keduanya menimbulkan perhatian Sitaresmi Paramita, mamanya Edwin. Lewat kaca jendela kamarnya, wanita berusia kepala empat itu menatap geram kepada Edwin dan Yasmin.
“Dasar anak yang tak tahu diri! Rupanya kausudah mulai menjerat hati anakku!” desahnya geram. “Paaap, paaap...! Cepatan sini...!”
Farid Rukmana terlihat buru-buru muncul di pintu kamar dan bertanya, “Ada apa sih, mam, kok panggil papa seperti itu?”
“Tuh lihat perilaku keponakanmu! Si anak haram itu telah menjerat hati anak kita! Apa kata dunia jika sang putra mahkotamu itu terjerat oleh gadis yang tak jelas bapaknya seperti itu?!”
Farid Rukmana langsung melepas kacamatanya dan memandang lurus ke depan. Tatkala melihat Edwin sedang memeluk tubuh Yasmin, kemenakannya, wajahnya langsung melotot dan geram.
“Kurang ajar! Benar-benar anak yang tak tahu diuntung!” gerutunya. “Nanti malam ketika aku pulang aku ingin bicara dengan mereka di ruang keluarga. Aku harus menerima kolega penting di kantor. Anak setan itu harus diberi pelajaran! Huh...!”
Dengan tanpa mengatakan apa-apa lagi selain perasaan dongkolnya, laki-laki berusia paruh baya itu keluar dari kamar. Dengan cepat Sitaresmi Paramita menguikuti suaminya untuk mengantarnya hingga di depan pintu rumah mereka yang megah bak sebuah istana itu.
***
Malamnya, seperti janjinya, Farid Rukmana meminta istrinya untuk menghadirkan Yasmin di ruang keluarga. Dan Sitaresmi Paramita meminta kepada Bik Hana, asisten rumah tangga, untuk memanggilkan Yasmin.
Tak lama kemudian wanita paruh baya itu kembali lagi dan berkata, “Neng Yasmin sedang mandi, Nyonya...!”
“Kasih tau saja dia, nanti setelah mandi suruh hadap ke mari,” pinta Farid Rukmana tanpa melihat kepada asisten rumah tangganya itu.
“Ba-baik, Tuan...!”
“Eh, Bik, sini dulu...!”
“Saya, Nyonya...!”
Sitaresmi Paramita menyuruh wanita itu untuk mendekatkan telinganya ke dekatnya. Ia mengangguk-angguk saat sang nyonya besar itu membisikkan sesuatu kepadanya, lalu melangkah kembali menuju kamarnya Yasmin Van Rutger .
Beberapa menit kemudian Bik Hana sudah kembali dan berkata, “Non Yasmin sudah saya kasih tahu, Tuan.”
“Hm...!”
Kepada Nyonya Farid Bik Hana menyerahkan sebuah ponsel yang dibawanya dari kamarnya Yasmin.
Dengan cepat wanita yang selalu tampil dengan kebaya dan kundai itu memainkan jari jemarinya di layar android milik Yasmin. Dia merasa sangat beruntung karena sang pemiliknya tidak mengunci androidnya itu dengan kode, sehingga ia bisa langsung membukan Whatsapp dan membaca hasil chatting-an di dalamnya. Yang dicarinya adalah hasil chatting-an gadis keponakan suaminya itu dengan Edwin.
Saat membaca isi chatting-an yang sangat panjang itu, wajahnya berubah memerah menahan geram.
Begitu melihat kemunculan Yasmin, Sitaresmi Paramita langsung menatapnya dengan tajam dan sinis.
“Paman dan tante memanggil saya?”
“Duduk kau di situ...!”
Bentakan dari wanita yang dipanggilnya tante itu sontak membuat wajah Yasmin memerah dan agak gugup.
Ya, Tuhan, ada masalah baru apa lagi ini? Jerit batin Yasmin. Ia duduk di sofa panjang yang berhadapan langsung dengan Paman Farid dan Tante Sitaresmi. Ada Edwin yang duduk di pojok lain dari sofa yang didudukinya. Abang sepupunya itu terlihat hanya duduk dengan wajah menunduk.
“Tante lihat kamu selalu berusaha untuk terus mengambil hatinya Edwin, Yas...!” Sitaresmi Paramita langsung menuding dengan memperlihatkan raut muka yang sinis.
Kalimat itu seolah sambaran petir bagi Yasmin Van Rutger. Gadis itu sampai terbatuk-batuk. Paman dan Tante Sitaresmi menatapnya tanpa berkedip, kecuali Edwin yang tetap menunduk. Pemuda itu hanya sekali-sekali melirik ke arahnya.
“Ti-tidak demikian, Tante. Kami hanya mengobrol biasa saja. Tanya saja Aa Edwin, tuh...!”
“Peluk-pelukan di belakang rumah kaubilang ngobrol biasa? Sudah makin pintar saja kau ngeles!” geram Nyonya Farid Rukmana. Ia sama sekali tak bermintat untuk bertanya sang putranya.
Jika sudah begitu, Yasmin lebih memilih untuk diam saja. Apa pun alasan yang disampaikannya kepada Tante Sitaresmi, itu tak akan mendapatkan tanggapan yang adil.
Pandangan Yasmin terpaku pada ponsel yang dipegang oleh Tante Sita. Ponsel miliknya. Ia kaget. Seingatnya, ponselnya itu tadi sedang ia charge di kamarnya. Mengapa sekarang sudah berada di tangan tantenya?
Yasmin langsung melirik pada Bik Hana yang saat itu sedang meletakkan empat gelas teh hangat di atas meja. Merasakan dirinya dilirik, wanita setengah baya itu langsung salah tingkah dengan wajah menunduk lalu meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat ke ruang dapur.
Rupanya tadi asisten rumah tangga itu telah diperintah oleh Tante Sita untuk mengambilkan benda itu di kamarnya saat ia sedang dalam kamar mandi dalam kamarnya, pikir Yasmin.
Tatapan tajam dan menyelidik Paman Farid seakan-akan hendak menguliti marwah dirinya, menyebabkan muka putih Yasmin terlihat jadi makin pucat dan gugup.
“Kauharus jaga sikap di sini, Yas, jangan membuat harga diri paman jatuh di mata semua orang.”
Kalimat dengan suara berat itu seakan-akan tamparan dahsyat bagi Yasmin. Saat itu ia bagai seorang terdakwa yang sedang dikeroyok oleh oleh para hakim, jaksa, dan saksi-saksi yang memberatkannya. Kedua matanya langsung terlihat menggenang dan berkaca-kaca.
“Masak jatuh cinta terhadap saudara sepupu sendiri! Dasar tak tahu diri!”
