
Ringkasan
Yasmin Van Rutger adalah keponakan kandung dari Farid Rukmana, seorang pengusaha kaya. Gadis itu diajak tinggal di rumahnya yang megah dan mewah. Akan tetapi, Yasmin tak merasakan kasih sayang dan perlindungan di rumah itu, baik dari paman maupun dari istri pamannya. Ia tak ubahnya seorang asisten rumah tangga yang nyaris tiap hari dihina karena sebuah kesalahan kecil yang dilakukannya. Bagi Yasmin, hinaan demi hinaan sudah terbiasa baginya. Ia tidak menanggapinya. Namun dalam hati kecilnya ia bertekad untuk membayar lunas hinaan demi hinaan itu, sehingga mereka yang menghinanya harus menyesali perbuatan mereka di masa lalu terhadapnya!
PART 01
LANGKAH kaki Yasmin Van Rutger spontan terhenti dan kedua bola mata membulat sempurna tatkala pandangannya lekat pada sepasang sejoli yang berjalan saling berpelukan pinggang dengan mesra. Perilaku sepasang sejoli yang dinilainya beda usia dan tak wajar itu sontak membuat jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Ia justru menjadi gugup sendiri.
Wanita yang telah berusia nyaris setengah abad itu tentu sangat ia kenal. Tetapi yang prianya tidak ia kenal. Sekali-sekali si pria--yang berumur sekitar 30-an tahun--mendaratkan ciumannya pada ubun-ubun si wanita. Perlakuan mesra di laki-laki membuat si tante-tante tersenyum manja dan semakin mendekat kuat pinggang si pemuda, tanpa merasa peduli pada keadaan sekelilingnya. Dunia seolah-olah telah menjadim milik mereka berdua.
“Nauzubillahi minzalik. Tante Sita...!” ucap Yasmin dengan ekspresi wajah terperangah. Namun dengan cepat ia menutupi separuh wajahnya dengan sapu tangan serta menyamarkan wajahnya dengan kacamata riben lebarnya.
Tante Sita adalah istri dari pamannya. Tapi siapa laki-laki yang berjalan dengannya itu? Yasmin terus mengawasi. Ketika berdiri di depan sebuah etalasi jewerly shop pun, gantian laki-laki muda itu tak pernah lepas dari pinggang Tante Sita.
“Eh, lu kenapa, kayaknya orang kebingungan gitu?”
Teguran Kirana agak membuat kaget Yasmin. Gadis itu tak menjawab pertanyaan sahabatnya, namun justru menarik tangan dan mengajaknya keluar dari mall itu.
Di luar mall perutnya tiba-tiba terasa mules dan nyaris muntah-muntah. Tapi ia masih mampu untuk menahannya.
“Lu masuk angin, ya?”
“Iya kali, Na. Perut gue tiba-tiba terasa mules, dan badan gue seperti mau meriang gitu.”
“Wah, kalau gitu beneran tuh lo masuk angin. Ya udah, kita balik saja.”
Di rumah pun, Yasmin masih kepikiran dengan peristiwa yang disaksikannya tadi. Sejak lima tahun yang lalu ia tinggal di rumah pamannya, Paman Farid, suami dari Tante Sita, setelah ia ditinggal mati oleh mamanya.
“Siapa laki-laki yang bersama Tante Sita itu tadi?” Yasmin maish bertanya-tanya dalam hati. Ia belum pernah melihat laki-laki itu. Apakah wanita yang bernama Sitaresmi Paramita itu telah berbuat curang di belakang suaminya? Benar-benar di luar dugaannya. Wanita yang selama ini terlihat sangat menjaga imejnya sebagai istri yang setia dan berwibawa, ternyata, oh, aslinya seperti itu?
Ya Tuhan! Jika itu terjadi, betapa Yasmin merasa iba terhadap Paman Farid. Sekalipun Paman Farid sangat tak ramah dan suka menghardik atau menzalimininya secara verbal, tetap saja perasaannya tak terima jika Tante Sita mendurhakainya. Bagaimana pun, Paman Farid Rukmana adalah Abang Kandung dari mendiang mamanya, Argita Van Rutger.
Sore hari, saat Tante Sita pulang, Yasmin tetap bersikap yang wajar saja di depan wanita itu. Hanya saja, rasa hormat terhadap wanita itu lenyap seketika. Terlebih saat dilihatnya keadaan penampilan sang tante saat itu tak lagi rapi dan menawan, perutnya langsung kembali mual. Dengan cepat itu berjalan cepat ke dalam kamarnya, langsung masuk ke kamar mandi. Ia muntah-muntah. Sekalipun tak ada isi ususnya yang berhasil keluar dari mulutnya, namun tetap saja membuat tubuhnya tak nyaman. Dari kamat mandi ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tidur menelentang sembari memejamkan kedua matanya.
Esok hari, usai jam kuliah pertama, Yasmin melangkah menuju kantin. Ia janjian dengan Kirana yang sudah lebih dahulu di sana.
Tetapi belum lagi ia memasuki kantin, Kirana sudah langsung menghadangnya dan langsung menarik tangannya ke arah sebaliknya.
Yasmin hendak bertanya, “Kenapa...?”. Tapi tak jadi, karena matanya menangkap sesuatu yang membuatnya jadi terdiam. Sebab dari Kirana menahannya agar tidak melanjutkan langkahnya ke dalam kantin.
Kirana ikut menghentikan langkah.
“Lu sudah melihatnya...?”
Yasmin manggut-manggut dengan wajah menunduk. Kedua matanya langsung digenangi oleh cairan bening.
“Yuk, kita ke perpus saja...!” Kirana langsung meraih pinggang Yasmin.
Di sebuah meja dalam ruangan kantin itu, barusan Yasmin melihat Zawir, pacarnya, sedang makan berdua dengan Liliana, gadis yang merupakan teman satu fakultas dengannya tapi beda jurusan. Ia juga sempat melihat, kedua insan itu tampaknya demikian mesra. Mereka saling menyendokkan makanan satu sama lain, lalu saling tertawa dengan jarak wajah keduanya begitu dekat.
Ya Tuhan, dua hari berturut-turut matanya disuguhi oleh pemandangan yang yang membuat perasaannya miris: penghianatan dan ketidaksetiaan!
Sebenarnya, pemandangan seperti itu bukan pertama kali ia saksikan. Sudah beberapa kali ia menyaksikan sang kekasihnya itu berduaan dengan gadis itu. Sakit hatinya kian menumpuk, rongga dadanya terasa sesak oleh rasa cemburu. Namun ia tak ingin berkata apa-apa, kecuali kedua matanya yang sembab.
Tidak! Yasmin tidak ingin memperlihatkan kecengengannya. Ia adalah wanita yang kuat. Dan ia harus menjaga imej dan marwah dirinya sebagai seorang wanita. Mengapa ia harus merasa terbanting oleh perkara cinta, sementara ia sudah terbiasa dengan ejekan dan hinaan dari orang-orang yang seharusnya menyayanginya?
Sejak belia ia selalu dihina dan direndahkan oleh banyak orang di sekitarnya, hingga kini pun hal yang sama masih ia terima, oleh paman dan istri pamannya, Sitaresmi Paramita. Lantas mengapa ia harus patah arang kalau hanya persoalan cinta?
Ya, Yasmin juga tak perlu untuk memperlihatkan kecemburuanya terhadap laki-laki itu, apalagi harus sampai pada level depresi segala. Ia harus kuat dan tetap bersikap wajar. Sebab jika ia memperlihatkan kegusaran atau rasa cemburunya di hadapan laki-laki itu, bisa jadi justru ia akan dijajarkannya dengan cewek mana pun yang pernah disakitinya. Selama ini pun ia telah berusaha untuk tidak memberi kesan kepada cowoknya itu bahwa ia sangat tergila-gila kepadanya.
Yasmin masih teringat pada sebuah kalimat almarhum mamanya yang ditulisnya dalam sebuah buku diarinya, bahwa wanita yang punya wibawa adalah wanita yang tidak menunjukkan rasa cinta yang besar, wajah marah, atau pun kesan cemburu yang berlebihan kepada seorang laki-laki. Sekalipun hati panas, tetap tampak yang wajar-wajar saja.
Sejauh ini, kalimat yang dia petik sebagai nasihat itu masih mampu ia pegang, dan tak sampai memperlihatkan wajah marah atau cemburu kepada Zawir, sekalipun cemburunya membakar rongga dadanya.
Namun karena ia masih merasa sebagai kekasihnya Zawir, ia hanya ingin ingin memastikan saja sebuah jawaban dari laki-laki itu, mengapa sikapnya menjadi jauh berubah?
Di lain kesempatan saat Yasmin menanyakan perubahan sikapnya itu, dengan sikap enteng Zawir malah mencoba untuk menyalahkannya:
“Ah, gak papa. Lu aja yang sensi...!”
Saat itu mereka duduk di sebuah bangku taman kampus.
Yasmin menatap Zawir dengan mengeryitkan kedua alisnya. “Jawab lu kok terasa aneh, Wir? Buktinya beberapa minggu ini lu gak pernah nyamperin gue seperti yang biasa lu lakukan. Bahkan menanyakan keadaan gue lewat WA saja lu sudah amat jarang...!”
“Lu seharusnya tak perlu menanyakan tentang mengapa gue tak seperti dulu lagi, Yas, karena lo pasti sudah tahu jawabannya,” cibir Zawir pelan sembari membuang pandangannya ke arah lain. “Malah gue berpikir, sebaiknya kita putus saja, Yas. Gue rasa...tak ada manfaatnya kita melanjutkan huhungan yang kaku dan gak jelas ini.”
“Lh, kok begitu? Maksud lo hubungan yang kaku dan gak jelas itu apa?”
