PART 02
Zawir menoleh sesaat dan tersenyum agak sinis. “Coba lu ingat-ingat lagi deh, Yas. Selama setahun kita pacaran sudah berapa kali kita bisa berkencan dan jalan bareng? Sembilan puluh sembilan persen kita hanya bisa bertemu di kampuas doang, selain itu langka kita bertemu di luar! Gue mo ngapelin lu ke rumahnya lu makin nggak mungkin. Paman lo sombongnya muntah firaun! Ya wajar, lu tinggal sama seorang pengusaha kaya. Sementara gue ini siapa? Kita berada pada level sosial yang berbeda, Yas.”
Oh, itu yang menjadi penyebab semua kekakuan hubungan mereka ini, lalu pemuda itu lebih memilih untuk beralih ke lain hati?
“Jujur, Yas, lu adalah seorang gadis yang sangat sempurna. Lu cantik! Bahkan sangat cantik, menurut gue. Sejak awal perkenalan, gue langsung sangat tergila-gila ama lu. Seiring waktu, dan gue paham siapa lu siapa gue, gue putuskan untuk menahan langkah, walau hatiku tetap mengagumi hingga kapan pun. Sebab jika hubungan kita ini mau dilanjutkan, kayaknya seperti akan menempuh jalan menuju langit. Teramat sulit. Pada akhirnya perasaan kita yang akan sangat tersakiti. Kita punya perbedaan yang sangat timpang, Yas. Sekat antara kita itu begitu kuat, gue rasa.”
Benar! Yasmin harus mengakui, bahwa selama ini dia sangat jarang untuk berkencan dan jalan-jalan dengan Zawir. Jika pun pernah jalan-jalan untuk menikmati kebersamaan mereka, ia melakukannya setelah mata kuliah berakhir. Itu pun ia harus mengarang alasan kepada paman dan tantenya mengapa pulangnya terlambat, plus bisa bekerja sama dengan sopir yang senantiasa stand by untuk mengantar-jemputnya ke dan dari kampus.
Farid Rukmana Van Rutger, pamannya yang pengusaha itu, sangat ketat didikannya. Yasmin merasa, bahwa sejak ia tinggal bersama sang paman sejak lima tahun yang silam sejak kematian mamanya, ia tak lebih sebagai boneka robot yang sama sekali tak mampu berbuat sesuatu menurut ide dan pikirannya sendiri. Kemerdekaan hidupnya selah-olah telah dibeslah tanpa sisa. Ditambah pula dengan Tante Sita yang senantiasa menatapnya dengan mimik yang tak suka dan setiap saat siap untuk menistakannya, jika ia melakukan sebuah kesalahan sekecil apa pun. Ya, di rumah Paman Farid yang mewah bak istana, ia sama sekali tak menemukan ketenteraman batin, apalagi sebuah kebahagiaan. Untung dalam rumah itu masih ada manusia yang punya hati, yaitu Edwin, saudara sepupunya, anak dari Paman Farid. Walau tak bisa berani memperlihatkan pembelaan terahadapnya seutuhnya dan terang-terangan, namun saudara sepupunya selalu membesarkan hatinya jika ia mendapatkan perlakuan kasar dari mama dan papanya.
“Iya, Wir, gue terima keputusan lu. Gue sadar, gue memang tak mampu untuk menjadi kekasih yang ideal buat lu. Terima kasih karena lu sudah sempat dalam kehidupan gue...!”
Yasmin akhirnya harus mengatakan itu. Kedua matanya tergenang dan berkaca-kaca. Dengan cepat diusapnya sebelum ia bangkit dan pergi meninggalkan Zawir. Pergi dengan membawa sebongkah kekecewaan dansekerat luka dan keperihan dalam hatinya.
Zawir berusaha menghadang langkahnya. “Maafkan gue, Yas...! Gue hanya tak ingin akhirnya kita sama tersakiti, walau sebenarnya...”
“Iya, gue tahu,” potong Yasmin, lalu setengah mendorong tubuh Zawir agar ia dapat melanjutkan langkahnya.
“Yas...!”
Yasmi tak menyahuti maupun menoleh, malah semakin mempercepat langkahnya.
Sesampai di rumah, kesedihan di wajahnya tertangkap oleh Edwin, yang saat itu sedang main hape di sofa ruang keluarga.
Tanpa menyapa cowok sepupunya itu, Yasmin langsung masuk ke dalam kamarnya. Cowok itu hanya menggeleng-geleng.
“Kenapa lu, Yas? Gue lihat lo membawa wajah sedih dari kampus?” tanya Edwin melalui pesan Whatsapp.
“Yas gak papa, A. Yasmin hanya lagi capek saja.”
“Gak mungkin, Yas. Secapek dan sesedihnya apa pun lu, tetap juga lu berusaha terlihat ceriah dan menyapa gue. Gue ini abang sepupu lu, keturunan Van Rutger, jadi sudah sangat tau watak lu, Yas. Ceritakan ma gue, ada masalah apa?”
“Benar, Aa sayang yang ganteng, nggada apa-apa. Swear....!”
“Hm, ya udah. Kalau ada apa-apa lu bilang aja ke gue, ya?”
“Iya, Aa sayang. Terima kasih. Ummach...!”
Edwin menggeleng-geleng pelan, dan tak membalas lagi. Pemuda jebolan S2 sebuah univereristas ternama di Eropa itu selalu terenyum jika melihat kesedihan di wajah Yamsin. Tapi ia tak mampu berbuat banyak. Jika ia memberikan perhatian secara terang-terangan di depan mama dan papanya, bisa-bisa dia sendiri yang bakal kena teguran. Papa dan mamanya seolah-olah merupakan pasangan tiran dalam rumah itu. Mereka egois dan arogan. Keduanya tak segan-segan untuk menghardik sia pun yang menentang atau mengabaikan perintahnya.
Yasmin ingin merendam kekecewaan dan kepenatan pikirannya dengan memejamkan kedua matanya sembari tidur menelentang di atas tempat tidurnya. Ia berusaha untuk berkonsentrasi dan berharap ia bisa langsung tertidur. Tetapi ketukan di pintu membuyarkan semuanya.
“Non Yasmin...dipanggil Nyonya...!”
Itu suara Bik Hana.
“Iya, Bik, sebentar...!”
Yasmin langsung bangkit dan melangkah keluar setelah berdiri sesaat di depan cermin lemarinya.
“Tante di mana, Bik?” tanya Yasmin kepada Bik Hana yang sedang sibuk di dapur.
“Di taman belakang. Di sana ada Tuan, Nyonya, Den Edwin, dan seorang tamu. Non disuruh membawakan minuman ini ke sana oleh Nyonya.”
“Oh...!” Dikira apa. “Baik, Bik. Ini minumannya?”
“Iya, Non.”
Mungkin maksud Tante Sita menyuruhnya membawa minuman itu ke taman karena ia lebih pas daripada yang mengantarkan minuman itu adalah Bik Hana yang tua. Karena jarak ruangan dapur dengan taman belakang cukup jauh jaraknya.
Di taman belakang yang asri di sore hari, terlihat ada empat orang seperti yang disebutkan oleh Bik Hana. Ketika Yasmin melihat wajah tamu yang dimaksud, ia sangat kaget. Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Namun ia berusaha untuk bersikap yang wajar.
Tante Sita memperkenalkan dirinya kepada tamu di depannya saat Yasmin menaruh gelas-gelas cawan itu di meja.
“Dia keponakan Bapak, namanya Yasmin. Yasmin Van Rutger. Yasmin, kenalkan ini Bang Norman. Beliau mitra bisnisnya pamanmu, pengusaha muda yang sukses, lho...!”
Yasmin melihat kepada pria yang bernama Norman itu dan berusaha untuk bersikap sopan dan ramah walau hatinya langsung terasa mules saat melihatnya. Lebih-lebih ketika melihat laki-laki balas menatapnya. Tatapan yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. Sebuah tatapan mesum yang membuat bulu kuduknya menegang.
Laki-laki itu memang tampan dengan posturnya yang tinggi dan putih. Tetapi ketika ia ingat kembali perilaku mesranya dengan Tante Sita kemarin di Mall, yang timbul adalah rasa jijiknya. Ia bukan saja jijik pada laki-laki itu, tapi juga pada Tante Sita. Jika Paman Faridnya tahu bahwa antara laki-laki itu dengan istrinya ada main, Yasmin tak bisa membayangkan betapa murkanya abang kandung mendiang mamanya itu. Edwin juga mungkin bisa muntab. Entahlah!
Yasmin langsung pamit untuk kembali ke dalam. Rasa mules dalam perutnya terasa makin kuat. Sesampai di dalam kamarnya, ia langsung masuk ke dalam kamar mandi dan berusaha untuk muntah-muntah. Tapi tak ada yang keluar.
“Non Yasmin kenapa? Sakitkah...?” tanya Bik Hana di luar dengan nada khawatir. Maya barusan memang lupa menutup pintu kamarnya.
“Tak apa-apa, Bik. Jijik saja pas tadi melihat kodok di luar,” sahut Yasmin dengan beralasan sekenanya.
“Oh, bik kira Non Yasmin sakit.”
***
