Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Kembali menikmati tubuh sang mantan

“Nar, aku minta kamu jaga rahasia ini. Jangan sampai ada yang tahu tentang peristiwa antara kita berdua hari ini. Aku nggak mau dikait-kaitkan sama kamu.” Ucapnya dengan wajah menunduk. Susanti sama sekali tidak memiliki persaan pada Nardi. Jadi dia tidak ingin jika sampai dirinya digosipkan dengan pria tersebut.

“Memangnya kamu punya pacar to? Siapa? Anak mana?” Tanya Nardi dengan wajah serius. Pria itu menyentuh jemari tangan Susanti. “Jika kamu takut kenapa-kenapa, aku mau kok tanggung jawab.” Ucapnya sungguh-sungguh.

Susanti langsung menatap Nardi dengan penuh amarah. Gadis itu menggelengkan kepalanya berulangkali.

“Ya! Kamu mau! Tapi aku yang nggak mau! Aku nggak sudi nikah sama kamu Nar! Kamu itu bukan tipeku!” Serunya seraya berusaha bangkit berdiri, kedua kaki Susanti gemetaran. Dia kesulitan berjalan, hubungan intim dengan Nardi kali ini adalah pertama baginya. Susanti sangat menyesal karena sudah melepas keperawanannya dengan pria yang sama sekali tidak dia inginkan.

“San, Susanti.. mbok ya jangan marah begini to, kita bisa bicarakan baik-baik.” Ucap Nardi sambil memegangi kedua sisi pinggang Susanti dari belakang punggungnya agar gadis tersebut tidak tersandung dan terjatuh.

“Aku nggak cinta sama kamu! Sudah lepasin, nggak usah pegang-pegang! Aku benci sama kamu!”

“Susantiiii! Gimana sih, tadi saja kamu mau kok! Malah nambah dua, tiga kali!” Seru Nardi yang mulai kehabisan kesabaran.

“Aku terpaksa! Kamu yang mancing! Kalau kamu nggak mancing, mana mungkin aku ngalah sama kamu! Sudah minggir, lepasin pinggangku!” Teriak Susanti dengan wajah kesal.

“Apanya yang mancing-mancing? Kalian mancing ikan di mana?” Sela Samsudin. Pria itu sedang melintas di sebelah mereka berdua sambil mendorong kereta berisi sepuluh tabung susu sapi.

“Kepalamu itu dipancing! Biar nggak keruh!” Omel Susanti sambil melotot kesal. Gadis itu berjalan terpincang-pincang sambil mendorong kerata berisi peralatan miliknya tadi.

Samsudin berhenti di sebelah Nardi, Samsudin menatap wajah kusut Nardi.

“Kenapa kamu? Kusut begitu? Kurang minum? Noh minum susu Mbok Jinah! Biar nggak kusut!” seloroh Samsudin dengan sengaja.

“Sudah minggat sana kamu! Aku itu naksir sama Susan bukan sama Mbok Jinah. Tapi aku ditolak Sam..” keluhnya seraya mendongak menatap ke atas langit.

Samsudin bukannya membantu, pria itu malah berkata. “Awas burung terbang banyak di langit, nanti kotoran jatuh dari langit.. kan sayang wajah kamu yang mirip To Ming Se! hahahaha! Dasar Nardi gembos!” Ujarnya sambil berlalu.

Di dalam ruangan kerja Darto. Pria itu sedang memeriksa pembukuan. Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar ruangan.

“Masuk,” sahutnya dari dalam ruangan.

“Tuan, jamunya..” Jinah masuk ke dalam membawa botol jamu khusus untuk Darto.

“Jamu, wah kebetulan sekali kamu datang ke sini. Bawa berapa botol kamu, Nah?” Tanya Darto, pria itu langsung berdiri dari kursinya lalu duduk di sofa panjang dalam ruangan kerjanya tersebut. Mbok Jinah membuka tutup bakulnya. Wanita itu mengeluarkan tiga botol dan meletakkannya di atas meja.

“Tiga botol, Tuan.” Ucapnya pada Darto sambil memijit tungkai kaki pria berkumis tersebut. Jinah membuka kancing kebaya serta melonggarkan kembennya. Sudah menjadi rutinitas dia setiap tiga hari sekali untuk memberikan servis pegang sana-sini. Semakin banyak jamu yang dibeli pelanggan maka semakin lama waktu yang akan Jinah berikan.

Darto menelan ludahnya melihat kedua bukit kembar yang kini terbuka di depan matanya. Pria itu langsung menarik Jinah agar rebah di kursi, sambil menyesap bukit kembarnya. Darto menyibak jarit Jinah ke atas, direnggangkannya kedua kaki wanita itu lalu menekan tongkatnya ke dalam.

Jinah yang sudah hafal dengan perlakuan Darto sama sekali tidak terlihat kaget atau panik.

“Ouuh, Tuan, kenapa buru-buru sekali? Aku biasa lama di sini, kan? Tuaan, ouuh enak..” Jinah menggeliat senang sambil membuka kedua kakinya semakin lebar.

“Ah, Jinah, ouhh, ah, ahhhh, ouhhh.” Darto menggenjotnya dengan sangat cepat. Pria itu sangat menikmati area basah milik penjual jamu gendong tersebut.

Hanya beberapa menit saja, Darto segera mengeluarkan cairan kentalnya. Jinah langsung mengulum tongkat Darto dengan penuh hasrat. Darto sangat senang sekali.

“Jinah, ouhhn lidahmu! Dahsyaaat! Aduhhh, pelan-pelan, jangan digigit.. nanti ilang tongkatku bisa berabe!” Omelnya saat kulit kejantanannya menyenggol gigi Jinah yang tidak begitu rata.

“Iya, Tuan, maaf..” Jinah tersenyum lalu mengelusnya dan mengulumnya dengan kuluman lembut. Wanita itu duduk bersimpuh di lantai sambil memberikan servis pada Darto menggunakan lidah serta bibirnya.

“Ouuh, sudah, cukup, ouhhhh!”

“Tuan, enak?” Jinah mengukir senyum senang melihat Darto merem-melek sambil menyentuh puncak kedua bukit kenyal miliknya. Pria itu terlihat gemas dan sangat puas.

“Enak sekali, oouuhhh, ahhhh, aku mau, keluaar... ourrghhhh!” Cairan Darto muncrat kembali, kali ini mengenai wajah Jinah.

“Tuan, ih! Malah dimuntahin di wajah Jinah..” rengeknya manja seraya menggesekkan tongkat Darto pada pipi lalu kembali mengulum menggunakan bibirnya.

Dimanjakan sedemikian rupa oleh penjual jamu tersebut, Darto semakin senang. Setelah puas, pria itu memberikan beberapa lembar ratusan ribu pada Jinah.

“Untuk kamu, tiga hari lagi datang ke sini. Aku senang bibirmu yang seksi ini!” Darto menyentuh dagu Jinah lalu melumat bibir wanita itu dengan buas.

“Umm, iya Tuan. Jinah akan datang ke sini, tiga hari lagi.” Ucapnya dengan suara pelan. “Jinah pamit dulu, Tuan.” Ucapnya seraya kembali menggendong bakulnya lalu keluar dari dalam ruangan.

Darto masih bersandar nyaman di sofa, pria itu menyulut rokoknya seraya menatap langit-langit ruangan kerjanya. Kancing shirt lengan panjang yang dia kenakan masih terbuka pada sisi depannya, memamerkan dada bidangnya yang ditumbuhi bulu lumayan lebat.

Di sisi lain..

Devan sudah kembali ke rumah, pria itu baru pulang dari mengantarkan kedua anaknya. Sarinten terlihat sibuk dibantu Narti di ruang makan belakang.

Narti melihat Devan berjalan menuju ke dapur, pria itu tidak menegur tapi hanya meliriknya sejenak. Narti juga sama, wanita itu melirik sosok pria tampan yang dulunya sering menidurinya. Sarinten juga tahu kalau dulu-dulu Narti itu adalah salah satu gebetan Devan.

“Nar, aku ambil wadah lagi ke dapur. Ini takutnya kurang kalau cuma bawa segini, karyawan di peternakan bertambah sepuluh orang. Kasihan kalau ada yang nggak bagian jatah makan.” Ujarnya sambil berlalu ke dapur.

“Iya, Mbak..” sahut Narti pada Sarinten.

Sarinten merasa cemas dan was-was jika berada di dekat Narti sejak Anto nekat menerjang tubuhnya pagi ini. Sebisa mungkin Sarinten bersikap baik dan wajar-wajar saja seperti hari-hari biasa untuk menutupi hubungan gelap yang dia lakukan dengan Anto, suami Narti.

Devan meneguk air dari dalam gelas, pria itu sengaja menarik kursi di meja makan di mana Narti sedang berdiri di sebelahnya.

“Nar?” Bisiknya sambil melongok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada siapa-siapa di sana. Jemari Devan yang usil merogoh sisi tengah paha Narti yang hanya tertutup dengan rok mini.

“Akh, Mas! Nakal..” Narti menggerakkan pinggulnya ke samping lantaran Devan mulai menggelitik ke dalam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel