Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Tergoda tubuh Susanti yang mulus

“Dasar Samsudin! Ngeselin jadi orang! Mbok ya sekali-kali nyenengin kawan seperjuangan! Bilang iya, kek! Malah begitu!” Nardi berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala menatap Samsudin kabur tanpa menoleh lagi ke belakang punggungnya.

Jinah tukang jual jamu melihat Nardi cemberut. Wanita itu menggendong bakulnya sambil berjalan di depan kandang.

“Nar! Jamu!” Panggilnya pada pria tersebut.

“Libur Mbok! Sudah kuat! Ntar terlalu kuat malah repot, nggak ada lawan mainnya!” Serunya apa adanya lalu kembali membersihkan kotoran sapi di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Gratis deh Nar, khusus untuk kamu aku bikinin yang spesial.”

“Nggak usah Mbok, sana cari Samsudin. Mungkin dia mau borong, sama yang jual sekalian.” Timpalnya dengan sengaja.

“Samsudin? Aku nggak suka sama dia, punya dia kecil Nar! Tapi punyamu itu kayaknya lebih besar!” Mbok Jinah terkikik geli melihat wajah Nardi memerah. Wanita itu menutupi bibirnya, tersenyum-senyum malu.

“Wah, woaahhhh! Ini bakul jamu kalau ngoceh nggak digiling dulu apa ya? Masa iya Samsudin sama Mbok Jinah main kuda-kudaan? Ngaco saja si tukang jamu.” Nardi bergumam sendiri sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Seriusan Mbok?! Memangnya Mbok Jinah itu lihat dari mana? Lawong aku ndak pernah buka celana di depan Mbok Jinah.” Ujarnya sambil menggembungkan pipinya, Nardi merasa ternoda mendengar seloroh Jinah si tukang jamu. Pria itu makin cemas kalau Jinah menyebarkan rumor tentang itu sampai-sampai dia nggak laku nikah.

“Ya tahu, aku kan sering lihatin kamu pas kencing di samping kandang, mau tahu jam berapa? Rahasia! Nanti kamu nggak kencing di sana lagi! Kamar mandi juga jauh. Selamat tersiksa! Hahahahaha!” Mbok Jinah tertawa ngakak seraya berjalan menjauh dari Nardi. Pria itu melotot kesal seraya mengayunkan sekop dalam genggaman tangannya.

“Wah, bener-bener nih tukang jamu! Tak gejrot ntar jerit-jerit ampun-ampun tahu rasa! Kelihatannya usianya sudah empat puluh lima-an. Tapi masih lumayan, kulitnya mulus, bagaimana isi dalam jarit dan dalam kembennya ya?” Gumamnya sambil mengusap rambutnya sendiri sampai semrawut lalu berjoget ala dj tik-tok.

Susan yang sedang membawa alat perah susu dalam kereta dorong melihat Nardi berjoget di belakang bokong sapi.

“Nar! Wooi! Braaak!” Susanti melemparkan topinya sampai mengenai wajah Nardi.

“Astaga! Ngagetin saja kamu! Apa? Lempar-lempar!?” Gerutu Nardi pada gadis ayu berusia dua puluh lima tahun tersebut.

“Kamu ngapain joget-joget!? Di belakang bokong sapi pula! Mana laku kawin kalau modelmu saja seperti itu!? Kawin saja sama itu!” menunjuk sapi di depan Nardi. Susanti tertawa geli sambil memegangi perutnya. Gadis itu kembali mendorong keretanya melewati jalan di depan kandang.

Nardi sejak tadi hanya melongo menatap senyum manis dari gadis bergigi gingsul tersebut. “San! Susanti! Tunggu sebentar!” Nardi langsung memburu dan meraih pinggang gadis tersebut.

“Nar, mau dibawa ke mana aku? Nar..!”

“Nggak ke mana-mana! Sudah jangan berisik, nanti ketahuan orang!” Pria itu membawanya sembunyi di belakang dinding kandang dekat kebun rumput gajah.

Nardi langsung menyibak kaos ketat warna hijau muda seragam pegawai yang membalut tubuh rampingnya. “Nar, jangan buka bajuku!” Susanti memukuli kedua bahu Nardi. Tapi Nardi tidak peduli. Diciuminya bukit kenyal yang masih terbalut penutup berenda warna biru muda.

“Nar, mau ngapain, eh, ah, aduh! Nar, jangan..” Susan mengerjapkan kedua matanya seraya bersandar pada dinding di belakang punggungnya.

Nardi menatap wajah ayu yang kini tengah mendesah karena ulah jahilnya. “San.. aku isap ya? Nggak sakit kok..” ucapnya dengan suara pelan. Nardi menarik ke atas penutup buah kenyal tersebut lalu mulai memilin seraya menghisapnya bergantian. Tubuh Susanti menggeliat pelan, kulit mulus serta bibir ranum yang kini mengerang manja saat dia sentuh, terlihat sangat seksi dan menggairahkan!

“Emmhh, ouuhh, Nar, aahhh, ouhhh.” Susan semakin keras mengerang akibat ulah pria itu. Karena tidak ingin terdengar pekerja lain, Nardi segera melumat bibir Susan, jemarinya mulai menggerayang ke sisi bawah. Menyelinap masuk ke dalam celana Susan.

“San, basah, wah, seksi San..” Nardi menariknya turun ke bawah, dengan gencar pria itu mulai menciumi bukit berbulu halus tersebut, Nardi mengangkat satu kaki Susan lalu meletakkannya di atas bahu kanannya.

“Nar, akhh, sshhh, ouhh, emmh, Nar, aku nggak tahan.. ouhh, Nar, emm.. enggh..”

Pria itu mengocok menggunakan jari tengah seraya menyesap sisi depan area intim milik Susan. Tonjolan di sana semakin membulat dan nampak menyembul. Nardi tidak sabar, dihisapnya kuat-kuat benda kecil itu sampai lahar Susan tumpah-tumpah pada jemarinya yang kini sedang mengaduk sisi dalam area tersebut.

“Ouukhhhh, Naaarr.. aku keluar.. emmmhhh, ouuhhh!” Susan meremas kuat tengkuk Nardi yang kini masih berjongkok di depan organ intimnya. Susan keenakan sampai lupa dengan penolakannya barusan.

“Enak kan? Lihat wajahmu merem-melek begitu.” Nardi menyesap habis cairan yang tumpah di pangkal paha Susan. Lalu kembali berdiri, Nardi memutar tubuh Susan agar menghadap dinding.

“Nar, kamu mau ngapain, aku masih gadis.. nanti kalau aku hamil bagaimana?” Tanyanya dengan wajah cemas menoleh ke belakang. Susan bis melihat tonggak milik Nardi lumayan besar dan panjang. Susan menggigit bibirnya ketika Nardi mulai mendorong pelan senjatanya ke dalam area intim miliknya. “Nar, oouuhmmm! Akhhh, Nar, pelan-pelan..” rengeknya seraya memukul lengan Nardi yang kini menahan kedua sisi pinggang rampingnya.

“Iya, ini juga pelan, San.. akkh, San..ouuuh enak San, punyamu sempit sekali! Oukkhhh!”

“Nar, ouhh, terus Nar, lebih kenceng dorongnya! Akhh, oukh, ya.. ahh Naaarrr, aku keluar lagiii, oukkhhh! Enak Nar, terus, akhh, enak sekali ouuhh!” Susan mulai menikmati dorongan pinggang Nardi.

“San, aku mau crott, sebentar lag—giii! Ouukkh! Argghhhh!” Nardi menambah kecepatan lalu langsung memuntahkan cairannya di kulit bokong Susan.

Susanti dengan napas tersengal terlihat puas sekali, Nardi segera merapikan celananya. “San, Susan? Kamu kelelahan ya? Padahal cuma dua puluh menit kayaknya..” Nardi mengukir senyum menatap Susanti yang kini jatuh terduduk di atas rerumputan. Kaos dan celananya masih terbuka. Nardi menatap ke arah pangkal pahanya, pria itu kembali meraih tengkuk Susanti melumat bibir gadis tersebut seraya mengusap selangkanganya yang masih basah akibat ulahnya.

“Ummh, Nar, uummm, Nar..” Susanti membuka pahanya, gadis itu sengaja memberi ruang agar Nardi dengan bebas bisa mengocok liang basah berbulu miliknya. “Nar, aku ouhhhh, nggak nahan.. kamu oukhh, na-kal sekali!” Rengeknya seraya mengerjapkan kedua matanya. Tongkat Nardi kembali bangun dari tidurnya, area intim basah itu sangat memanjakan penglihatannya. Bukit kenyal yang kini tampak kencang mengeras serta erangan manja dari bibir ranum tipis Susanti membuat otaknya semakin liar.

“San, kamu mau lagi. Sini aku pangku!” Nardi langsung menarik Susan agar duduk di atas pangkuannya.

“Nar, ouhhh, besar sekali..” Susanti mulai menggerakkan pinggulnya naik-turun untuk mendapatkan kepuasan yang diinginkan.

“Ouuh, San, ouuh. Kamu hebat sekali! Terus San! Ouuhh!” Nardi meremas-remas pinggul Susanti seraya menyesap bukit kembar milik gadis tersebut. Gerakan pinggul Susanti semakin lama semakin liar dan cepat.

“Nar, aku keluaar, ouhhh!” Pekiknya penuh kepuasan.

Nardi tersenyum senang, pria itu langsung mendorong Susanti agar rebah di atas rerumputan. Ditekannya kedua kaki Susanti ke atas sampai liang basah kemerahan itu terlihat jelas di depan matanya. Nardi menciuminya sejenak lalu kembali mendorong senjatanya ke dalam. Sekitar dua puluh menit Nardi berpacu di atas tubuh Susanti. Pria itu memuntahkan kembali cairannya, kali ini Nardi mengeluarkannya di atas kedua bukit kenyal milik gadis ayu tersebut.

Lima menit kemudian, Susanti sudah membenahu bajunya seperti semula. Begitu juga dengan Nardi, dua muda-mudi itu duduk dengan bersandar dinding di belakang punggung mereka berdua.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel