Bab 8
"Saya kira cukup sampai di sini untuk hari ini."
Kata-kata yang sudah di tunggu para murid sejak tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata yang akhirnya membebaskan mereka dari pelajaran Kimia yang memusingkan, dan Bu Nurul yang menjengkelkan.
Sudah tiga puluh menit berlalu, sejak bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini alias jam pulang sekolah di bunyikan mereka semua menahan kesal karena tak kunjung di pulangkan. Ini termasuk korupsi waktu, kan?
Memang, terkadang ada guru yang memulangkan muridnya sebelum jam pulang. Dan, ada juga guru sejenis Bu Nurul, guru Kimia yang suka mengambil jam istirahat dan jam pulang siswa.
"Jangan lupa belajar, lusa kita akan mengadakan UTS."
Setelah mengucapkan kalimat keramat itu, Bu Nurul langsung melenggang pergi ke luar kelas. Menenteng dua buah buku paket Kimia yang super duper tebal, dan absen anak-anak yang tadi bolos saat pelajarannya.
"Kalo gue kepsek, gue pensiunin dini ntar itu orang." kesal Valerie sembari merapikan mejanya.
Retha terkekeh, gadis itu sibuk merapiiam peralatan sekolahnya dan memasukkan ke dalam tas, sampai tidak sadar kalau Farrel sudah berdiri di sampingnya.
"Udah?" tanya Farrel dan membuat aktivitas Retha terhenti.
Retha menengok ke samping, menatap Farrel yang sudah siap ingin pulang. Cowok itu sudah memakai jaketnya, menyampirkan tas sekolahnya ke bahu samping dan memasukan tangannya ke dalam kantong jaket.
"Bentar," Retha memasukan buku-buku yang sudah ia susun ke dalam tasnya. Memakai hoodie, dan beranjak dari bangkunya. "Yuk."
Farrel mengangguk, kemudian seperri biasa, cowok itu meraih tangan Retha, menggenggamnya dengan erat seolah kalau tidak di genggam Retha akan hilang.
"Duluan, Val, Dev!" pamit Retha di ambang pintu.
Valerie mengacungkan jempopnya, sedangkan Deva..gadis itu tidak mendengar karena telinganya di sumpal headset.
"Kamu lama banget beres-beresnya." komentar Farrel sembari berjalan menuju parkiran.
"Ya, kan buku aku banyak. Harus di rapiin, bukan di masukin sembarangan. Ntar bukunya rusak, lagian itukan sumber ilmu." kata Retha menjelaskan. "Nggak kayak kamu, tas gede, isinya cuman satu pulpen sama charger."
"Kan buku nya aku taroh di laci. Ngapain susah-susah tiap hari nyiapin buku, bolak-balik chek jadwal pelajaran. Taroh aja semuanya di laci, tinggal ambil. Simple." Farrel berucap membela dirinya.
Retha memutar bola matanya malas. "Itu bukan simple, kamu aja yang terlalu males. Terus, tas kamu cuman buat naroh sebiji pulpen yang dapet dari ngambil punya Wulan?" Wulan--teman sekelas Retha dan Farrel, tempat Farrel meminjam semua peralatan sekolah dan tidak pernah Farrel kembalikan. Untung Wulan ikhlas.
"Tas aku juga ada charger sama power bank, tau. Bukan cuman sebiji pulpen doang." kilah Farrel. Seakan-akan yang ada di dalam tasnya adalah sesuatu yang sangat penting.
"Kamu sebenernya niat sekolah nggak, sih?" tanya Retha bingung.
"Enggak." jawab Farrel enteng. "Sebelum ketemu kamu, jawabannya enggak. Sekarang, jawabannya iya."
"Kalo niat, kenapa kamu nggak berubah, Farrel.."
"Kata siapa nggak berubah?" celetuk Farrel. "Sebelum sama kamu, tas aku kosong. Pas sama kamu, aku bawa satu pulpen dan charger buat isi batre kalo abis. Kemajuan, kan?" ucapnya berbangga diri.
Jadi, sebuah pulpen bertengger di tasnya, sudah menjadi hal yang sangat luar biasa bagi seorang Farrel? Wow, amazing.
"Yaudah lah, terserah kamu." balas Retha menyerah.
"Besok-besok, bukunya aku bawa terus, deh."
Mendengar itu, Retha menolehkan kepalanya. "Bener?" tanyanya menyakinkan. "Di bawa di tas?"
"No," Farrel menggelengkan kepalanya. Cowok itu menunjuk kepalanya. "Bawa di sini."
"Maksud kamu apa?" Retha tidak mengerti. Farrel mau menempelkan buku itu di kepalanya, begitu?
"Bukunya di blender, terus aku minum. Biar masuk otak." jelas Farrel dan seketika mendapatkan tabokan keras dari Retha.
"Nggak usah bercanda, bisa nggak?" kesal Retha.
"Sakit!" Farrel meringis, mengusap lengannya yang terasa panas karena di pukul Retha. "Sensi amat, lagi dapet?"
"Enggak." ketus Retha. "Lagian, aku lagi serius, kamu malah bercanda."
"Cie, yang mau di seriusin, cie.." Farrel menoel-noel gemas pipi Retha.
"Farrel..." desah Retha kesal.
Beberapa hari ini, Farrel agak berubah. Cowok ini lebih sering bercanda, bahkan godaannya tidak seserius dulu. Sebenarnya bagus, karena Farrel tidak secuek dulu. Namun, Farrel lebih cocok menjadi cowok dingin daripada humoris.
"Retha..." ucap Farrel meniru gaya Retha barusan, kemudian cowok itu terkekeh.
"Rel," panggil Retha. Gadis itu menghentikan langkahnya, membuat Farrel yang sedang menggenggam tangannya juga ikut berhenti.
"Kenapa?" sahut Farrel bingung.
"Kamu, nggak abis neguk pil PCC, kan?" tanya Retha disertai tatapan curiganya.
"Enggak, lah!" jawab Farrel cepat. "Kamu apaan, si."
"Ya abisnya, kamu beberapa hari ini beda."
"Beda gimana?" tanya Farrel bingung.
"Ya, gitu. Kamu berubah." jelas Retha.
"Berubah apanya? Aku masih Farrel, kok. Nggak berubah jadi super man, atau batman."
Tuh, kan. Bercanda, lagi.
"Bukan itu maksud, aku." Retha menggeram. "Kamu itu--"
"Masuk dulu," sela Farrel. Tanpa sadar, dua orang itu sudah sampai di parkiran mobil, tautan tangan mereka juga sudah terlepas karena Farrel membukakan Retha pintu.
Memang, sejak kejadian rambut kusut, Farrel menepati perkataannya untuk tidak membawa motornya lagi. Cowok itu takut, akan menyakiti Retha kalau membawa motor. Farrel...lebay ya?
Dengan setengah hati, Retha mengikuti perkataan Farrel. Cewek itu masuk ke dalam mobil Farrel, dan duduk manis di sana, seperti biasanya.
Setelah menutup pintu, Farrel berjalan mengelilingi mobilnya, masuk dan mengeluarkan kunci dari kantong celananya.
Farrel menyalakan mobil sport itu, dan menjalankannya keluar lingkungan sekolah.
"Lanjutin, tadi mau ngomong apa?" ucap Farrel, membuat Retha menghela nafasnya.
"Kamu itu beda. Kamu udah nggak secuek dulu, kamu jadi agak...humoris." jelas Retha.
"Kamu nggak suka, ya?" Farrel menoleh ke arah Retha, menatap gadis itu penuh tanda tanya.
Retha menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu," jawabnya ragu. "Rasanya, aneh aja. Kamu tiba-tiba berubah, emang ada apa, sih?"
Farrel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Coba kamu ambil buku di dalam dashboard."
Retha mengernyitkan dahinya, bingung. Kemudian, ia menuruti Farrel untuk mengambil sebuah buku di dashboard yang terletak di hadapannya.
Dapat, Retha kemudian membaca sampul buku kecil itu, dan sekarang ia paham dengan perubahan sikap Farrel selama ini.
"1001 cara menyenangkan wanita?" Retha menatap Farrel dengan wajah tidak percayanya. "Kamu sejak kapan baca ginian?"
"Sejak aku takut kehilangan kamu." jawab Farrel polos. "Beneran, aku nggak lagi bercanda atau ngegombal." tambahnya kala melihat raut wajah ketidak percayaan Retha.
"Maksudnya gimana, si?" bingungnya. "Hubungannya sama buku ini, apa?"
Harus kah Farrel menjelaskan, se detail-detail-nya?
"Aku, mau bikin kamu bahagia." Farrel menjeda sebentar kalimatnya, melihat ekspresi Retha yang menunggu, akhirnya ia melanjutkan. "Aku nggak tau caranya. Jadi, Samudra ngasih buku itu. Aku baca dalam semalem, sekitar 500 halaman. Terus, ternyata intisari dari buku itu, cowok humoris itu paling banyak bisa membahagiakan."
Pantesan si Samudra sekarang humoris, terus hubungannya sama Valerie awet. Ternyaa, buku ini...
"Farrel.." Retha tertawa kecil. "Kamu nggak perlu baca buku ini buat bikin aku bahagia. Aku udah bahagia sama Farrel yang kayak gini, aku malah bingung sama Farrel yang tiba-tiba humoris. Kalau kamu berubah demi bikin aku bahagia, sama aja yang bikin aku bahagia itu orang lain."
"Tetap jadi Farrel yang kayak gini, jangan berubah. Aku jatuh cinta sama Farrel yang batu sama orang lain, tapi lunak sama aku. Bukan sama Farrel yang sosoan humoris tapi bukan dirinya sendiri." jelas Retha panjang lebar.
Seketika, senyuman limited edition tercetak di bibir Farrel. Ia kagum pada Retha, di saat semua gadis menginginkan cowoknya berubah, Retha malah menginginkan Farrel seperti ini saja.
Ya, walaupun sebenarnya Farrel tidak pernah cuek pada Retha.
"Kita nikah sekarang aja, bisa nggak?" celetuk Farrel.
"Farrel, ih!" lagi, Retha memukul keras lengan Farrel. Membuat cowok itu meringis. "Nikah mulu!"
"Ntar kamu di ambil orang, aku mana bisa. Nikah aja, ya? Biar nggak ada yang rebut." ucap Farrel memelas.
"Sekolah dulu yang bener. Kalau kamu sukes, baru nikahin aku." nasehat Retha. "Gimana mau sukes, kalau sekolah cuman bawa pulpen sama charger. Masa depan itu di raih, bukan di isi ulang."
Seperti habis di cambuk, Farrel merasakan desiran aneh di sekujur tubuhnya. Barusan, gadis itu sedang menasehatinya, kan? Bukan menyantetnya? Kenapa tubuh Farrel bergetar, seperti habis di sengat listrik?
"Iya, Ratu."
"Kok Ratu? Ratu siapa? Kamu selingkuh? Anak mana si Ratu-Ratu itu? Lebih cantik mana sama aku?" cerocos Retha. "Jawab!"
Farrel meneguk salivanya. Kok Retha serem?
"Ratu, Ratu itu cewek yang aku sayang dan cinta." jawab Farrel. "Dia cantik, sama kayak kamu."
"Kamu?" Retha menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Jadi, selama ini kamu selingkuh?"
"And she's calling you, Mommy."ucap Farrel dan langsung membuat Retha mengernyitkan dahinya tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Ratu, our future daughter."
"Saya kira cukup sampai di sini untuk hari ini."
Kata-kata yang sudah di tunggu para murid sejak tiga puluh menit yang lalu. Kata-kata yang akhirnya membebaskan mereka dari pelajaran Kimia yang memusingkan, dan Bu Nurul yang menjengkelkan.
Sudah tiga puluh menit berlalu, sejak bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini alias jam pulang sekolah di bunyikan mereka semua menahan kesal karena tak kunjung di pulangkan. Ini termasuk korupsi waktu, kan?
Memang, terkadang ada guru yang memulangkan muridnya sebelum jam pulang. Dan, ada juga guru sejenis Bu Nurul, guru Kimia yang suka mengambil jam istirahat dan jam pulang siswa.
"Jangan lupa belajar, lusa kita akan mengadakan UTS."
Setelah mengucapkan kalimat keramat itu, Bu Nurul langsung melenggang pergi ke luar kelas. Menenteng dua buah buku paket Kimia yang super duper tebal, dan absen anak-anak yang tadi bolos saat pelajarannya.
"Kalo gue kepsek, gue pensiunin dini ntar itu orang." kesal Valerie sembari merapikan mejanya.
Retha terkekeh, gadis itu sibuk merapiiam peralatan sekolahnya dan memasukkan ke dalam tas, sampai tidak sadar kalau Farrel sudah berdiri di sampingnya.
"Udah?" tanya Farrel dan membuat aktivitas Retha terhenti.
Retha menengok ke samping, menatap Farrel yang sudah siap ingin pulang. Cowok itu sudah memakai jaketnya, menyampirkan tas sekolahnya ke bahu samping dan memasukan tangannya ke dalam kantong jaket.
"Bentar," Retha memasukan buku-buku yang sudah ia susun ke dalam tasnya. Memakai hoodie, dan beranjak dari bangkunya. "Yuk."
Farrel mengangguk, kemudian seperri biasa, cowok itu meraih tangan Retha, menggenggamnya dengan erat seolah kalau tidak di genggam Retha akan hilang.
"Duluan, Val, Dev!" pamit Retha di ambang pintu.
Valerie mengacungkan jempopnya, sedangkan Deva..gadis itu tidak mendengar karena telinganya di sumpal headset.
"Kamu lama banget beres-beresnya." komentar Farrel sembari berjalan menuju parkiran.
"Ya, kan buku aku banyak. Harus di rapiin, bukan di masukin sembarangan. Ntar bukunya rusak, lagian itukan sumber ilmu." kata Retha menjelaskan. "Nggak kayak kamu, tas gede, isinya cuman satu pulpen sama charger."
"Kan buku nya aku taroh di laci. Ngapain susah-susah tiap hari nyiapin buku, bolak-balik chek jadwal pelajaran. Taroh aja semuanya di laci, tinggal ambil. Simple." Farrel berucap membela dirinya.
Retha memutar bola matanya malas. "Itu bukan simple, kamu aja yang terlalu males. Terus, tas kamu cuman buat naroh sebiji pulpen yang dapet dari ngambil punya Wulan?" Wulan--teman sekelas Retha dan Farrel, tempat Farrel meminjam semua peralatan sekolah dan tidak pernah Farrel kembalikan. Untung Wulan ikhlas.
"Tas aku juga ada charger sama power bank, tau. Bukan cuman sebiji pulpen doang." kilah Farrel. Seakan-akan yang ada di dalam tasnya adalah sesuatu yang sangat penting.
"Kamu sebenernya niat sekolah nggak, sih?" tanya Retha bingung.
"Enggak." jawab Farrel enteng. "Sebelum ketemu kamu, jawabannya enggak. Sekarang, jawabannya iya."
"Kalo niat, kenapa kamu nggak berubah, Farrel.."
"Kata siapa nggak berubah?" celetuk Farrel. "Sebelum sama kamu, tas aku kosong. Pas sama kamu, aku bawa satu pulpen dan charger buat isi batre kalo abis. Kemajuan, kan?" ucapnya berbangga diri.
Jadi, sebuah pulpen bertengger di tasnya, sudah menjadi hal yang sangat luar biasa bagi seorang Farrel? Wow, amazing.
"Yaudah lah, terserah kamu." balas Retha menyerah.
"Besok-besok, bukunya aku bawa terus, deh."
Mendengar itu, Retha menolehkan kepalanya. "Bener?" tanyanya menyakinkan. "Di bawa di tas?"
"No," Farrel menggelengkan kepalanya. Cowok itu menunjuk kepalanya. "Bawa di sini."
"Maksud kamu apa?" Retha tidak mengerti. Farrel mau menempelkan buku itu di kepalanya, begitu?
"Bukunya di blender, terus aku minum. Biar masuk otak." jelas Farrel dan seketika mendapatkan tabokan keras dari Retha.
"Nggak usah bercanda, bisa nggak?" kesal Retha.
"Sakit!" Farrel meringis, mengusap lengannya yang terasa panas karena di pukul Retha. "Sensi amat, lagi dapet?"
"Enggak." ketus Retha. "Lagian, aku lagi serius, kamu malah bercanda."
"Cie, yang mau di seriusin, cie.." Farrel menoel-noel gemas pipi Retha.
"Farrel..." desah Retha kesal.
Beberapa hari ini, Farrel agak berubah. Cowok ini lebih sering bercanda, bahkan godaannya tidak seserius dulu. Sebenarnya bagus, karena Farrel tidak secuek dulu. Namun, Farrel lebih cocok menjadi cowok dingin daripada humoris.
"Retha..." ucap Farrel meniru gaya Retha barusan, kemudian cowok itu terkekeh.
"Rel," panggil Retha. Gadis itu menghentikan langkahnya, membuat Farrel yang sedang menggenggam tangannya juga ikut berhenti.
"Kenapa?" sahut Farrel bingung.
"Kamu, nggak abis neguk pil PCC, kan?" tanya Retha disertai tatapan curiganya.
"Enggak, lah!" jawab Farrel cepat. "Kamu apaan, si."
"Ya abisnya, kamu beberapa hari ini beda."
"Beda gimana?" tanya Farrel bingung.
"Ya, gitu. Kamu berubah." jelas Retha.
"Berubah apanya? Aku masih Farrel, kok. Nggak berubah jadi super man, atau batman."
Tuh, kan. Bercanda, lagi.
"Bukan itu maksud, aku." Retha menggeram. "Kamu itu--"
"Masuk dulu," sela Farrel. Tanpa sadar, dua orang itu sudah sampai di parkiran mobil, tautan tangan mereka juga sudah terlepas karena Farrel membukakan Retha pintu.
Memang, sejak kejadian rambut kusut, Farrel menepati perkataannya untuk tidak membawa motornya lagi. Cowok itu takut, akan menyakiti Retha kalau membawa motor. Farrel...lebay ya?
Dengan setengah hati, Retha mengikuti perkataan Farrel. Cewek itu masuk ke dalam mobil Farrel, dan duduk manis di sana, seperti biasanya.
Setelah menutup pintu, Farrel berjalan mengelilingi mobilnya, masuk dan mengeluarkan kunci dari kantong celananya.
Farrel menyalakan mobil sport itu, dan menjalankannya keluar lingkungan sekolah.
"Lanjutin, tadi mau ngomong apa?" ucap Farrel, membuat Retha menghela nafasnya.
"Kamu itu beda. Kamu udah nggak secuek dulu, kamu jadi agak...humoris." jelas Retha.
"Kamu nggak suka, ya?" Farrel menoleh ke arah Retha, menatap gadis itu penuh tanda tanya.
Retha menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu," jawabnya ragu. "Rasanya, aneh aja. Kamu tiba-tiba berubah, emang ada apa, sih?"
Farrel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Coba kamu ambil buku di dalam dashboard."
Retha mengernyitkan dahinya, bingung. Kemudian, ia menuruti Farrel untuk mengambil sebuah buku di dashboard yang terletak di hadapannya.
Dapat, Retha kemudian membaca sampul buku kecil itu, dan sekarang ia paham dengan perubahan sikap Farrel selama ini.
"1001 cara menyenangkan wanita?" Retha menatap Farrel dengan wajah tidak percayanya. "Kamu sejak kapan baca ginian?"
"Sejak aku takut kehilangan kamu." jawab Farrel polos. "Beneran, aku nggak lagi bercanda atau ngegombal." tambahnya kala melihat raut wajah ketidak percayaan Retha.
"Maksudnya gimana, si?" bingungnya. "Hubungannya sama buku ini, apa?"
Harus kah Farrel menjelaskan, se detail-detail-nya?
"Aku, mau bikin kamu bahagia." Farrel menjeda sebentar kalimatnya, melihat ekspresi Retha yang menunggu, akhirnya ia melanjutkan. "Aku nggak tau caranya. Jadi, Samudra ngasih buku itu. Aku baca dalam semalem, sekitar 500 halaman. Terus, ternyata intisari dari buku itu, cowok humoris itu paling banyak bisa membahagiakan."
Pantesan si Samudra sekarang humoris, terus hubungannya sama Valerie awet. Ternyaa, buku ini...
"Farrel.." Retha tertawa kecil. "Kamu nggak perlu baca buku ini buat bikin aku bahagia. Aku udah bahagia sama Farrel yang kayak gini, aku malah bingung sama Farrel yang tiba-tiba humoris. Kalau kamu berubah demi bikin aku bahagia, sama aja yang bikin aku bahagia itu orang lain."
"Tetap jadi Farrel yang kayak gini, jangan berubah. Aku jatuh cinta sama Farrel yang batu sama orang lain, tapi lunak sama aku. Bukan sama Farrel yang sosoan humoris tapi bukan dirinya sendiri." jelas Retha panjang lebar.
Seketika, senyuman limited edition tercetak di bibir Farrel. Ia kagum pada Retha, di saat semua gadis menginginkan cowoknya berubah, Retha malah menginginkan Farrel seperti ini saja.
Ya, walaupun sebenarnya Farrel tidak pernah cuek pada Retha.
"Kita nikah sekarang aja, bisa nggak?" celetuk Farrel.
"Farrel, ih!" lagi, Retha memukul keras lengan Farrel. Membuat cowok itu meringis. "Nikah mulu!"
"Ntar kamu di ambil orang, aku mana bisa. Nikah aja, ya? Biar nggak ada yang rebut." ucap Farrel memelas.
"Sekolah dulu yang bener. Kalau kamu sukes, baru nikahin aku." nasehat Retha. "Gimana mau sukes, kalau sekolah cuman bawa pulpen sama charger. Masa depan itu di raih, bukan di isi ulang."
Seperti habis di cambuk, Farrel merasakan desiran aneh di sekujur tubuhnya. Barusan, gadis itu sedang menasehatinya, kan? Bukan menyantetnya? Kenapa tubuh Farrel bergetar, seperti habis di sengat listrik?
"Iya, Ratu."
"Kok Ratu? Ratu siapa? Kamu selingkuh? Anak mana si Ratu-Ratu itu? Lebih cantik mana sama aku?" cerocos Retha. "Jawab!"
Farrel meneguk salivanya. Kok Retha serem?
"Ratu, Ratu itu cewek yang aku sayang dan cinta." jawab Farrel. "Dia cantik, sama kayak kamu."
"Kamu?" Retha menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Jadi, selama ini kamu selingkuh?"
"And she's calling you, Mommy."ucap Farrel dan langsung membuat Retha mengernyitkan dahinya tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Ratu, our future daughter."