Bab 5
Hari demi hari telah berlalu. Retha sudah mulai bisa mengikhlaskan kepergian Bunda-nya. Gadis itu sudah mulai kembali ceria lagi sekarang, dengan Farrel yang selalu disisinya disaat suka maupun duka yang menjadi alasan Retha sudah mulai ceria lagi.
Dua minggu pasca kepergian Bunda-nya, Retha habiskan dengan berbagai macam kesibukan. Bukannya ia tidak perduli, hanya saja ia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ayahnya saja bisa kuat, mengapa ia tidak?
Saat ini, gadis itu sedang duduk di atas meja belajarnya. Jari jemarinya sedang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Retha sedang membuat laporan untuk acara pensi sekolah yang akan di adakan seminggu lagi.
Sebenarnya, ini bukan tugas Retha. Ia bukan anggota osis atau pun seksi acara. Namun, karena keahliannya di dalam bidang menyusun acara, jadilah sekarang ia dipilih oleh Radit sebagai wakil ketua acara pensi. Ketuanya? Tentu saja Radit.
Aktivitas Retha terhenti karena ponselnya berdering. Retha meraih ponselnya yang terletak di samping laptop, nama Farrel dengan emoji love sepuluh biji tertera di sana.
Retha segera menggeser icon hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Iya?" sahut Retha.
"Kamu masih sibuk? Kamu udah seminggu anggurin aku, mau aku berpaling?" ucap Farrel dengan nada mengancam.
Retha terkekeh. "Silahkan aja berpaling." sahutnya santai. "Kalau bisa."
Di sebrang sana, Farrel terdiam. Tentu saja ia tidak bisa berpaling, karena memang hanya Retha yang bisa meluluhkan hatinya.
"Hari ini kita jalan. Cukup ya, satu minggu di duain sama laptop."
Retha melirik sekilas laptopnya yang menampilkan susunan acara pensi yang telah selesai.
"Yaudah, iyadeh."
"Satu jam lagi on the way, ya."
"Jangan ngebut." nasehat Retha yang hanya di tanggapi gumaman oleh Farrel.
Tepat saat Farrel mematikan telfonnya, ponsel Retha kembali berdering. Menampilkan nama Radit di sana. Retha langsung mengangkat telfon itu tanpa ragu, karena memang akhir-akhir ini Radit sering menelfonnya karena urusan pensi.
Tentunya tanpa sepengetahuan Farrel. Kalau cowok itu tau, bisa habis Radit di hajar habis-habisan. Gimana, ya. Abisnya Farrel gedek, udah tau pacarnya, masih aja Radit sok-sok caper. Farrel tonjok aja pipinya, nggak keras, sih. Cuman katanya sampe nggak bisa makan tiga hari.
"Tha, hari ini bisa temenin gue? Party organation yang kita pilih kemaren ada kendala, kita harus cari PO yang baru."
Retha menggigit bibir bawahnya. "Gue, ada acara hari ini, Dit. Gimana kalo sama Cindy aja? Diakan sekertaris lo."
"Tha, lo tau sendiri Cindy orangnya gimana. Bukannya nyari PO, dia bisa bawa gue keliling Jakarta seharian." keluh Radit.
"Coba aja dulu, Dit. Satu jam aja, kalo Cindy nggak ngelakuin tugasnya dengan baik, lo bisa berhentiin dia jadi wakil. Tapi, untuk sekarang lo kasih dia kesempatan dulu, lo belom nyoba, jangan suudzon dulu. Kali aja Cindy bisa professional." ucap Retha menyemangati. "Kalau gue bisa, pasti gue temenin. Sayangnya gue nggak bisa."
"Lo nemeran sibuk, atau lo ada acara sama Farrel? C'mon Tha, ini bukan urusan pribadi. Ini masalah pensi sekolah, gue bukan ngajak lo nge-date, gue ngajak lo nyari PO buat acara sekolah kita." ucap Radit dengan menekan kata 'sekolah'.
"Enggak kok, Dit. Gue nggak janjian sama Farrel, gue emang sibuk.." bohong Retha dengan ragu.
Terdengar hembusan nafas berat Radit di sebrang sana. "Oke, gue bakal coba ajak Cindy. Semoga aja dia bisa professional seperti kata lo, dan semoga urusan lo ini benar-benar penting."
Sebelum Retha sempat menjawab, Radit sudah mematikan sepihak telfonnya. Membuat Retha sedikit merasakan rasa bersalah karena ia telah berbohong, Retha memang ingin pergi bersama Farrel.
Retha hanya ingin bersikap adil. Sudah cukup dua minggu ini ia disibukkan dengan urusan pensi dan menomor duakan Farrel, dan cowok itu selalu bersabar walaupun hanya bisa memandang Retha beberapa jam saja di sekolah, itupun dengan posisi Retha yang fokus dengan laptopnya.
Retha menutup laptopnya sesaat setelah ia mematikan benda itu. Retha beranjak dari meja belajarnya dan meregangkan sedikit otot-ototnya yang kaku karena beberapa jam terus duduk dengan posisi diam, hanya jari tangannya yang bergerak.
Krek, krek
Terdengar suara tulang Retha yang berbunyi bergemeretuk, menandakan bahwa sendinya memang sudah kaku.
Dengan langkah lunglai, Retha berjalan menunju kamar mandi. Suara air yang mengalir dari shower menandakan bahwa Retha sedang mengerjakan ritual bersih-bersihnya.
Cukup lama Retha mandi, mungkin sekitar setengah jam atau lebih. Karena, ia hanya berdiam diri di bawah shower tanpa melakukan apa-apa. Malas, tapi harus, ya begini jadinya.
Selesai bersabun dan sebagainya, Retha mengambil handuknya yang berbentuk baju. Mengikatkan talinya di pinggang agar tidak terbuka, dan melangkah keluar dari kamar mandi.
Tepat saat Retha berjalan ke arah lemari baju, matanya terbelalak karena melihat sosok Farrel yang sedang tiduran di atas kasur Queen-nya sembari mengutak-atik ponselnya.
"Farrel!" pekik Retha tidak senang. "Kamu ngapain di kamar aku?!"
Farrel meletakan ponsel Retha di sampingnya, lalu ia merubah posisi tidurnya menjadi duduk.
"Satu hari dapet telfon lebih dari 20 kali, dari Radit. Dan, aku? 5 kali juga nggak nyampe." ucapnya datar sembari menatap lurus ke arah Retha.
Retha meneguk salivanya. Ketahuan. Sebenarnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan, toh Radit menelfonnya karena urusan pensi. Bukan karena hal yang lain. Namun, yang membuat Retha takut adalah, Farrel tidak percaya dengannya.
"Dia nelfon cuman buat urusan pensi, Farrel. Bukan buat yang lain." jelas Retha dengan nada melemah.
"Kenapa kamu nggak bilang?" tanya Farrel dengan nada malas.
Retha mendesah pelan. Pasti ini akan terjadi, Farrel memang suka mengajaknya berdebat akhir-akhir ini.
"Kalau aku bilang, kamu juga pasti nggak bakalan izinin, kan?"
"Kata siapa?" Farrel menaikkan alisnya. "Kalau kamu izin, aku bakal bolehin aja dia nelfon kamu."
Retha mengernyitkan dahinya. "Radit boleh nelfon aku?"
Farrel mengangguk. "Boleh," kemudian ia memasang wajah datarnya. "Tapi, nelfonnya ke aku. Ntar aku kasih tau ke kamu."
Sungguh, rasanya Retha ingin melempar Farrel dengan sandal.
"Itu sama aja nggak boleh, Farrel." ucap Retha gemas.
"Udah, ah. Sana, pake baju."
Farrel beranjak pergi dari kasur Retha, berjalan santai menuju pintu dan keluar. Farrel menutup pintu itu, dan sebelumnya ia berkata
"Jadi pengen cepet-cepet halal-in kamu."
Dan, saat itu juga Retha baru sadar kalau tubuhnya hanya terbalut baju Handuk tangan panjang selutut.
"Farrel.." gumamnya kesal.
***
Jantung Retha bertedetak kencang tidak karuan. Kakinya ia lipat ke atas kursi bioskop, tangannya ia gunakan untuk menutupi wajah, namun matanya masih terlihat dari sela-sela jarinya.
Sedangkan Farrel, cowok itu duduk anteng sembari memakan popcorn caramell-nya. Layar besar di hadapannya sedang menampilkan film IT, menampakan wajah badut mengerikan yang sedang ingin membunuh orang.
Ada yang berteriak, ada yang ingin menangis, ada yang terkejut, namun hanya Farrel yang anteng, diam menatap layar lebar itu dengan tatapan datar.
"Yah, habis." gumam Farrel sembari menatap popcornnya yang hanya menyisakan tempatnya.
Farrel melirik ke arah Retha yang berada di sampingnya. Rasanya, Farrel ingin tertawa. Gadis itu sangat ketakutan, namun masih memaksakan menonton film itu melalui sela jarinya.
"Pstt," Retha menoleh. "Bagi popcorn, dong." pinta Farrel.
Retha mengambil popcornnya, dan memberikan pada Farrel. Cowok itu menerimanya dan kembali menatap datar layar di hadapannya sembari memakan popcorn-nya.
Entah terbuat dari apa hati Farrel. Film yang lumayan mengerikan ini, tidak berpengaruh banyak padanya. Lihat saja sekarang, filmnya sudah habis, dan Farrel masih memasang ekspresi yang sama. Datar.
"Kamu lebay, sampe teriak-teriak gitu." komentar Farrel saat ia dan Retha sudah keluar dari studio XXI.
Retha menoleh, dan melotot menatap Farrel. "Aku? Lebay? Bukan aku yang lebay, emang kamu aja yang batu. Serem gitu, tapi kamu biasa aja. Tapi, emang lebih nyeremin muka datar kamu, sih. Daripada badut yang tadi."
"Kamu bandingin kegantengan aku sama badut?" tanya Farrel tidak percaya.
Retha memutar bola matanya malas. "Aku bilang muka kamu lebih nyeremin dari badut yang tadi, bukan ganteng."
"Serah, dasar penakut." cibir Farrel.
"Aku nggak penakut, ya!" sanggah Retha kesal. "Lagian, semua orang juga punya rasa takut. Kamu pasti juga punya."
Farrel menaikkan sebelah alisnya. "Aku nggak takut apapun."
"Alah, sok banget. Nggak mungkin, pasti kamu punya hal yang di takuti walaupun cuman satu."
Farrel memikirkan sesuatu, dan langsun menemukan sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan pada Retha.
"Ah, aku baru inget. Aku cuman takut sama satu hal." seru Farrel dan langsung mendapatkan perhatian dari Retha.
"Apa?"
"Mau tau?" tanya Farrel dan langsung mendapatkan anggukan dari Retha. "Sini, sini, aku bisikin. Ntar malu kalo ada yang denger."
Retha memgangguk, gadis itu menuruti permintaan Farrel untuk mendekatkan telinganya ke bibir cowok itu.
"Nih, rahasia, ya?" bisik Farrel dan Retha mengangguk polos. "Jadi, aku itu paling takut.."
"Takut apa?" tanya Retha tidak sabaran.
"Takut..."
"Apa?!"
"Takut kehilangan kamu."
Tuh, kan. Baper.
Hari demi hari telah berlalu. Retha sudah mulai bisa mengikhlaskan kepergian Bunda-nya. Gadis itu sudah mulai kembali ceria lagi sekarang, dengan Farrel yang selalu disisinya disaat suka maupun duka yang menjadi alasan Retha sudah mulai ceria lagi.
Dua minggu pasca kepergian Bunda-nya, Retha habiskan dengan berbagai macam kesibukan. Bukannya ia tidak perduli, hanya saja ia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ayahnya saja bisa kuat, mengapa ia tidak?
Saat ini, gadis itu sedang duduk di atas meja belajarnya. Jari jemarinya sedang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Retha sedang membuat laporan untuk acara pensi sekolah yang akan di adakan seminggu lagi.
Sebenarnya, ini bukan tugas Retha. Ia bukan anggota osis atau pun seksi acara. Namun, karena keahliannya di dalam bidang menyusun acara, jadilah sekarang ia dipilih oleh Radit sebagai wakil ketua acara pensi. Ketuanya? Tentu saja Radit.
Aktivitas Retha terhenti karena ponselnya berdering. Retha meraih ponselnya yang terletak di samping laptop, nama Farrel dengan emoji love sepuluh biji tertera di sana.
Retha segera menggeser icon hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Iya?" sahut Retha.
"Kamu masih sibuk? Kamu udah seminggu anggurin aku, mau aku berpaling?" ucap Farrel dengan nada mengancam.
Retha terkekeh. "Silahkan aja berpaling." sahutnya santai. "Kalau bisa."
Di sebrang sana, Farrel terdiam. Tentu saja ia tidak bisa berpaling, karena memang hanya Retha yang bisa meluluhkan hatinya.
"Hari ini kita jalan. Cukup ya, satu minggu di duain sama laptop."
Retha melirik sekilas laptopnya yang menampilkan susunan acara pensi yang telah selesai.
"Yaudah, iyadeh."
"Satu jam lagi on the way, ya."
"Jangan ngebut." nasehat Retha yang hanya di tanggapi gumaman oleh Farrel.
Tepat saat Farrel mematikan telfonnya, ponsel Retha kembali berdering. Menampilkan nama Radit di sana. Retha langsung mengangkat telfon itu tanpa ragu, karena memang akhir-akhir ini Radit sering menelfonnya karena urusan pensi.
Tentunya tanpa sepengetahuan Farrel. Kalau cowok itu tau, bisa habis Radit di hajar habis-habisan. Gimana, ya. Abisnya Farrel gedek, udah tau pacarnya, masih aja Radit sok-sok caper. Farrel tonjok aja pipinya, nggak keras, sih. Cuman katanya sampe nggak bisa makan tiga hari.
"Tha, hari ini bisa temenin gue? Party organation yang kita pilih kemaren ada kendala, kita harus cari PO yang baru."
Retha menggigit bibir bawahnya. "Gue, ada acara hari ini, Dit. Gimana kalo sama Cindy aja? Diakan sekertaris lo."
"Tha, lo tau sendiri Cindy orangnya gimana. Bukannya nyari PO, dia bisa bawa gue keliling Jakarta seharian." keluh Radit.
"Coba aja dulu, Dit. Satu jam aja, kalo Cindy nggak ngelakuin tugasnya dengan baik, lo bisa berhentiin dia jadi wakil. Tapi, untuk sekarang lo kasih dia kesempatan dulu, lo belom nyoba, jangan suudzon dulu. Kali aja Cindy bisa professional." ucap Retha menyemangati. "Kalau gue bisa, pasti gue temenin. Sayangnya gue nggak bisa."
"Lo nemeran sibuk, atau lo ada acara sama Farrel? C'mon Tha, ini bukan urusan pribadi. Ini masalah pensi sekolah, gue bukan ngajak lo nge-date, gue ngajak lo nyari PO buat acara sekolah kita." ucap Radit dengan menekan kata 'sekolah'.
"Enggak kok, Dit. Gue nggak janjian sama Farrel, gue emang sibuk.." bohong Retha dengan ragu.
Terdengar hembusan nafas berat Radit di sebrang sana. "Oke, gue bakal coba ajak Cindy. Semoga aja dia bisa professional seperti kata lo, dan semoga urusan lo ini benar-benar penting."
Sebelum Retha sempat menjawab, Radit sudah mematikan sepihak telfonnya. Membuat Retha sedikit merasakan rasa bersalah karena ia telah berbohong, Retha memang ingin pergi bersama Farrel.
Retha hanya ingin bersikap adil. Sudah cukup dua minggu ini ia disibukkan dengan urusan pensi dan menomor duakan Farrel, dan cowok itu selalu bersabar walaupun hanya bisa memandang Retha beberapa jam saja di sekolah, itupun dengan posisi Retha yang fokus dengan laptopnya.
Retha menutup laptopnya sesaat setelah ia mematikan benda itu. Retha beranjak dari meja belajarnya dan meregangkan sedikit otot-ototnya yang kaku karena beberapa jam terus duduk dengan posisi diam, hanya jari tangannya yang bergerak.
Krek, krek
Terdengar suara tulang Retha yang berbunyi bergemeretuk, menandakan bahwa sendinya memang sudah kaku.
Dengan langkah lunglai, Retha berjalan menunju kamar mandi. Suara air yang mengalir dari shower menandakan bahwa Retha sedang mengerjakan ritual bersih-bersihnya.
Cukup lama Retha mandi, mungkin sekitar setengah jam atau lebih. Karena, ia hanya berdiam diri di bawah shower tanpa melakukan apa-apa. Malas, tapi harus, ya begini jadinya.
Selesai bersabun dan sebagainya, Retha mengambil handuknya yang berbentuk baju. Mengikatkan talinya di pinggang agar tidak terbuka, dan melangkah keluar dari kamar mandi.
Tepat saat Retha berjalan ke arah lemari baju, matanya terbelalak karena melihat sosok Farrel yang sedang tiduran di atas kasur Queen-nya sembari mengutak-atik ponselnya.
"Farrel!" pekik Retha tidak senang. "Kamu ngapain di kamar aku?!"
Farrel meletakan ponsel Retha di sampingnya, lalu ia merubah posisi tidurnya menjadi duduk.
"Satu hari dapet telfon lebih dari 20 kali, dari Radit. Dan, aku? 5 kali juga nggak nyampe." ucapnya datar sembari menatap lurus ke arah Retha.
Retha meneguk salivanya. Ketahuan. Sebenarnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan, toh Radit menelfonnya karena urusan pensi. Bukan karena hal yang lain. Namun, yang membuat Retha takut adalah, Farrel tidak percaya dengannya.
"Dia nelfon cuman buat urusan pensi, Farrel. Bukan buat yang lain." jelas Retha dengan nada melemah.
"Kenapa kamu nggak bilang?" tanya Farrel dengan nada malas.
Retha mendesah pelan. Pasti ini akan terjadi, Farrel memang suka mengajaknya berdebat akhir-akhir ini.
"Kalau aku bilang, kamu juga pasti nggak bakalan izinin, kan?"
"Kata siapa?" Farrel menaikkan alisnya. "Kalau kamu izin, aku bakal bolehin aja dia nelfon kamu."
Retha mengernyitkan dahinya. "Radit boleh nelfon aku?"
Farrel mengangguk. "Boleh," kemudian ia memasang wajah datarnya. "Tapi, nelfonnya ke aku. Ntar aku kasih tau ke kamu."
Sungguh, rasanya Retha ingin melempar Farrel dengan sandal.
"Itu sama aja nggak boleh, Farrel." ucap Retha gemas.
"Udah, ah. Sana, pake baju."
Farrel beranjak pergi dari kasur Retha, berjalan santai menuju pintu dan keluar. Farrel menutup pintu itu, dan sebelumnya ia berkata
"Jadi pengen cepet-cepet halal-in kamu."
Dan, saat itu juga Retha baru sadar kalau tubuhnya hanya terbalut baju Handuk tangan panjang selutut.
"Farrel.." gumamnya kesal.
***
Jantung Retha bertedetak kencang tidak karuan. Kakinya ia lipat ke atas kursi bioskop, tangannya ia gunakan untuk menutupi wajah, namun matanya masih terlihat dari sela-sela jarinya.
Sedangkan Farrel, cowok itu duduk anteng sembari memakan popcorn caramell-nya. Layar besar di hadapannya sedang menampilkan film IT, menampakan wajah badut mengerikan yang sedang ingin membunuh orang.
Ada yang berteriak, ada yang ingin menangis, ada yang terkejut, namun hanya Farrel yang anteng, diam menatap layar lebar itu dengan tatapan datar.
"Yah, habis." gumam Farrel sembari menatap popcornnya yang hanya menyisakan tempatnya.
Farrel melirik ke arah Retha yang berada di sampingnya. Rasanya, Farrel ingin tertawa. Gadis itu sangat ketakutan, namun masih memaksakan menonton film itu melalui sela jarinya.
"Pstt," Retha menoleh. "Bagi popcorn, dong." pinta Farrel.
Retha mengambil popcornnya, dan memberikan pada Farrel. Cowok itu menerimanya dan kembali menatap datar layar di hadapannya sembari memakan popcorn-nya.
Entah terbuat dari apa hati Farrel. Film yang lumayan mengerikan ini, tidak berpengaruh banyak padanya. Lihat saja sekarang, filmnya sudah habis, dan Farrel masih memasang ekspresi yang sama. Datar.
"Kamu lebay, sampe teriak-teriak gitu." komentar Farrel saat ia dan Retha sudah keluar dari studio XXI.
Retha menoleh, dan melotot menatap Farrel. "Aku? Lebay? Bukan aku yang lebay, emang kamu aja yang batu. Serem gitu, tapi kamu biasa aja. Tapi, emang lebih nyeremin muka datar kamu, sih. Daripada badut yang tadi."
"Kamu bandingin kegantengan aku sama badut?" tanya Farrel tidak percaya.
Retha memutar bola matanya malas. "Aku bilang muka kamu lebih nyeremin dari badut yang tadi, bukan ganteng."
"Serah, dasar penakut." cibir Farrel.
"Aku nggak penakut, ya!" sanggah Retha kesal. "Lagian, semua orang juga punya rasa takut. Kamu pasti juga punya."
Farrel menaikkan sebelah alisnya. "Aku nggak takut apapun."
"Alah, sok banget. Nggak mungkin, pasti kamu punya hal yang di takuti walaupun cuman satu."
Farrel memikirkan sesuatu, dan langsun menemukan sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan pada Retha.
"Ah, aku baru inget. Aku cuman takut sama satu hal." seru Farrel dan langsung mendapatkan perhatian dari Retha.
"Apa?"
"Mau tau?" tanya Farrel dan langsung mendapatkan anggukan dari Retha. "Sini, sini, aku bisikin. Ntar malu kalo ada yang denger."
Retha memgangguk, gadis itu menuruti permintaan Farrel untuk mendekatkan telinganya ke bibir cowok itu.
"Nih, rahasia, ya?" bisik Farrel dan Retha mengangguk polos. "Jadi, aku itu paling takut.."
"Takut apa?" tanya Retha tidak sabaran.
"Takut..."
"Apa?!"
"Takut kehilangan kamu."
Tuh, kan. Baper.