Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Retha terus menangis di pelukan Farrel. Sedangkan Farrel, cowok itu menatap nanar ke arah wanita yang sedang berjuang antara hidup dan mati sekarang.

Mesin EKG yang di gunakan untuk memperlihatkan detak jantung ibu Retha, geraknya tidak beraturan. Membuat Retha semakin tegang.

Dokter yang sedang menangani ibu Retha, kelabakan karena kurang lengkapnya alat-alat untuk menyelamatkan ibu Retha. Ia membutuhkan alat kejut jantung, namun alat itu tidak ada di sini.

Tiba-tiba, mesin EKG berbunyi nyaring. Menampakan garis lurus, seiring dengan detak jantung ibu Retha yang berhenti, serta nafasnya yang terhembus untuk terakhir kalinya.

Dia telah pergi.

Tubuh Retha membeku saat mendengar suara mesin EKG. Walaupun ia tidak melihat, namun Retha tau apa arti bunyi itu. Detak jantung ibunya sudah berhenti.

"Innalillahi wainnailahi rojiun." Dokter Nesya menundukan kepalanya, dan menatap Rio--Ayah Retha dengan tatapan duka.

Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nes, nggak mungkin, Nes. Periksa Tasya sekali lagi, ini pasti cuman kesalahan!" pekik Rio tidak terima.

Nesya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu harus sabar, Yo. Tasya sudah tenang."

Tubuh Retha lemas. Rasanya ia ingin pingsan, namun tidak bisa. Ia tidak bisa menopang tubuhnya sendiri kalau bukan Farrel yang memeluknya erat.

Tangisan Retha semakin deras. Ia belum berani untuk menengok ke belakang, menatap Bunda-nya yang sudah terbujur kaku tanpa nyawa.

Retha tidak kuat, Retha tidak sanggup. Pupus sudah harapannya untuk bisa kembali menjadi keluarga yang utuh, Bundanya telah pergi untuk selamanya.

Bunda-nya bukan lagi tidur untuk sementara, Bunda-nya tertidur untuk selamanya. Benar-benar Retha tidak sanggup.

Tangisnya yang di sertai kepedihan lah yang menggambarkan betapa hancurnya ia saat ini. Dunianya seakan berhenti berputar, tubuhnya membeku, otaknya tidak dapat mencerna.

"Bunda..."lirih Retha di sela isakannya. Ia mencengkram erat jaket Farrel, menangis tanpa henti di dada bidang cowok itu.

Farrel, cowok itu terdiam. Tangannya terus memeluk Retha dengan erat, Farrel menumpukan dagunya di atas kepala Retha. Dapat ia rasakan, tubuh lemah Retha saat ini. Kalau saja ia melepaskan pelukan ini, maka tubuh Retha akan langsung jatuh.

"Farrel..."lirih Retha pelan. "Ini cuman mimpi, kan? Tolong, bangunin aku. Aku nggak kuat.."

Mendengar itu, membuat hati Farrel terasa perih. Muncul rasa bersalah yang sangat besar di dalam hatinya, kenapa harus Bunda Retha? Kenapa dunia se sempit ini? Apa yang akan terjadi kalau Retha tahu, yang sebenarnya?

"Kamu harus kuat," hanya itu yang dapat Farrel ucapkan. Ia memejamkan matanya, ikut merasakan sakit dan kehilangan yang sedang Retha alami saat ini.

"A-aku, aku benci dia, Farrel! Orang yang nabrak Bunda, aku benci!" teriak Retha dengan isakan. "Aku benci..."

Rasanya dada Farrel seperti habis ditikam ribuan jarum, di jatuhi puluhan balok kayu, dan ada rasa sangat perih di dalam hatinya.

Tiba-tiba, bayangan Retha meninggalkannya muncul di benak Farrel. Bayangan tentang gadis itu yang menatapnya dengan kilatan benci di matanya, astaga, Farrel bahkan tidak sanggup membayangkannya.

*****

Retha memeluki gundukan tanah yang masih basah. Di dalam sana, ada tubuh ibunya yang sudah tidak lagi bernyawa. Retha kembali menangis, mengingat lagi kenangannya bersama Ibunya.

"Tha, gue sama Valina duluan. Bokap nyokap gue udah duluan ke mobil. Nanti malem, kami ke rumah lo lagi." ucap Vanesha seraya menepuk pundak Retha sekali.

Retha bergeming. Masih menangis di atas makam ibunya yang masih baru dan di penuhi taburan hingga buket bunga.

Vanesha menatap nanar sepupunya itu. Setelahnya, ia menatap Farrel dan mengangguk sekali. Kemudian, ia beranjak pergi dari sana di susul kembarannya, Valina.

Kuburan sudah mulai sepi. Teman sekolah Retha, guru-guru, dan juga kerabatnya sudah meninggalkan pemakaman sejak satu jam yang lalu. Bahkan, Ayahnya juga.

Hanya tersisa Retha di sini, di temani Farrel yang selalu berada disisinya. Bahkan, di saaat Retha pingsan karena melihat Ibunya yang mulai di timbun tanah.

Farrel menjongkokan tubuhnya, menaikkan kacamata hitam yang menyangkut di hidung mancungnya. Sekali lagi, ada rasa perih yang timbul di dalam hatinya.

"Re, pulang, yuk?" ajak Farrel dengan lembut. "Kasian Bunda kamu kalau kamu nangis kayak gini, pasti dia nggak bakalan tenang."

Retha bergeming. Walaupun matanya di tutupi kacamata hitam, Farrel tahu, gadis itu masih menangis. Sudah hampir dua belas jam Retha menangis tanpa henti, bahkan saat pingsan matanya juga mengeluarkan airmata.

"Kamu tau, nggak? Bunda pernah bilang, dia bakalan dandanin aku buat pesta kelusan. Orang pertama yang denger curhatan aku tentang cowok, orang pertama yang sedih karena sakit ringan. Orang yang paling ngerti aku, orang yang selalu bisa ngendaliin aku yang keras kepala. Cuman Bunda.." Retha tertawa getir. "Tapi, semuanya udah nggak ada lagi. Udah jadi kenangan, nggak ada lagi kasih sayang seorang ibu untuk aku. Dan, semuanya gara-gara dia!"

"Aku nggak bakalan maafin orang itu, Rel! Nggak akan!" teriak Retha dengan amarah, kemudian menangis lagi sembari menumpukan kepalanya di nisan ibunya. "Nggak akan..."

Lagi, jantung Farrel berdegub tidak karuan. Wajahnya pucat, dan tubuhnya bergetar. Farrel menatap Retha dengan nanar.

Gue harus gimana, Re?

*****

Retha mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengernyitkan dahinya, menatap sekeliling ruangan yang sedang ia tempati saat ini. Ini adalah kamarnya, begitu sepi di sini. Berbeda jauh dengan ingatan terakhirnya yang ia ingat, sebelumnya kamarnya sangat ramai.

Sekarang, kamarnya sepi. Retha bingung.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terdorong ke belakang. Dan, mata Retha terbelalak kala melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.

"Bunda?!" pekik Retha kaget. Gasis itu segera turun dari kasurnya dan berlari memeluk Bundanya erat.

"Eh?" kaget Tasya. "Anak Bunda kenapa?"

Retha tiba-tiba menangis. Di peluknya Bundanya erat-erat. Ini terasa sangat nyata, pasti tadi ia hanya bermimpi, mimpi yang sangat panjang.

"Bunda, Retha mimpi buruk. Di mimpi Retha, Bunda di tabrak, Bunda koma lebih dari satu tahun, terus Bunda meninggal." jelasnya sembari terisak. "Mimpinya terasa nyata banget, Retha takut.."

Tasya, wanita berumur 39 tahun itu hanya diam. Sesekali mengelus punggung putrinya dengan sayang.

"Retha, Bunda mau ngomong sesuatu." ucap Tasya dengan nada yang amat sangat lembut.

Retha mendongakan wajahnya yang sudah di banjiri air mata. "Bunda mau ngomong apa?"

"Ayo kita duduk dulu di sana, masa sambil berdiri." ajak Tasya yang sudah membawa Retha menuju pinggir kasur.

Mereka berdua duduk di pinggir kasur, dengan posisi Retha yang memeluk Bundanya dengan erat.

"Retha, Retha anak penurut, kan?" tanya Tasya dan membuat Retha mengerucutkan bibirnya.

"Jelas, lah. Retha kan selalu ngikutin kata Bunda, Ayah sama guru di sekolah." jawabnya dengan sedikit nada merajuk.

Tasya terkekeh, kemudian membelai rambut panjang putri semata wayangnya itu. "Retha harus inget, ya. Jangan jadi orang yang pendendam, Retha harus pemaaf."

Retha mendongakan kepalanya, menatap aneh ke arah ibunya yang berwajah sangat lembut itu. "Bunda kok tiba-tiba ngomong kayak gitu? Kayak mau pergi aja."

"Ya, pokoknya. Ingat kata-kata Bunda. Bunda selalu sayang Retha dan Ayah, kalau Bunda pergi, Retha jangan lemah. Retha harus tetap kuat." nasehat Tasya yang tidak terasa matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu Bunda nggak lama.."

"Bunda ngomong apa, sih?!" sentak Retha kesal. Tidak lama, matanya mulai berair lagi. Mengingat kembali mimpi buruk yang baru saja ia alami.

Tasya mengusap pipi Retha, menghapus air mata yang mengalir di pipi anaknya. "Retha, Bunda harus pergi.."

"Enggak!" Retha kembali memeluk Bundanya erat. "Bunda nggak boleh kemana-mana!"

"Retha, harus ingat kata-kata Bunda tadi, ya?" Tasya ikut terisak.

Retha menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak mau, Bunda. Jangan pergi, Retha nggak mau Bunda pergi.."

"Bunda sayang Retha sama Ayah. Terus doain Bunda, ya? Jangan pernah berubah. Maafin semua kesalahan Bunda, ya? Bunda pamit.."

Retha menggelengkan kepalanya. Ia semakin memeluk Bundanya dengan erat, namun pelukan itu semakin melonggar. Objek yang berada di pelukannya menghilang, ibunua menghilang.

"BUNDA!!"

Dan, Retha terbangun dari mimpinya.

Nafasnya terhengal-hengal, peluh keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Retha menatap sekelilingnya, hanya ada Farrel yang sedang tertidur di pinggir kasur sembari menggenggam erat tangannya.

Retha kembali menangis histeris. Ternyata hanya mimpi. Bundanya benar-benar sudah tidak ada, dan mimpinya tadi seakan sebagai salam perpisahan.

Farrel mengerjapkan matanya. Ia terbangun karena mendengarkan isakan tangis dari Retha, dengan cepat Farrel memeluk gadis itu, mengusap punggungnya untuk memberi ketenangan.

"Stt," Farrel menciup puncak kepala Retha. "Udah, kamu bisa sakit kalau nangis terus."

"Farrel.." Retha terisak. "Bunda.."

Farrel hanya diam. Ia terus memeluk gadis itu dengan erat, mengusap punggungnya dengan sayang.

Maafin aku, sayang.

Retha terus menangis di pelukan Farrel. Sedangkan Farrel, cowok itu menatap nanar ke arah wanita yang sedang berjuang antara hidup dan mati sekarang.

Mesin EKG yang di gunakan untuk memperlihatkan detak jantung ibu Retha, geraknya tidak beraturan. Membuat Retha semakin tegang.

Dokter yang sedang menangani ibu Retha, kelabakan karena kurang lengkapnya alat-alat untuk menyelamatkan ibu Retha. Ia membutuhkan alat kejut jantung, namun alat itu tidak ada di sini.

Tiba-tiba, mesin EKG berbunyi nyaring. Menampakan garis lurus, seiring dengan detak jantung ibu Retha yang berhenti, serta nafasnya yang terhembus untuk terakhir kalinya.

Dia telah pergi.

Tubuh Retha membeku saat mendengar suara mesin EKG. Walaupun ia tidak melihat, namun Retha tau apa arti bunyi itu. Detak jantung ibunya sudah berhenti.

"Innalillahi wainnailahi rojiun." Dokter Nesya menundukan kepalanya, dan menatap Rio--Ayah Retha dengan tatapan duka.

Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nes, nggak mungkin, Nes. Periksa Tasya sekali lagi, ini pasti cuman kesalahan!" pekik Rio tidak terima.

Nesya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu harus sabar, Yo. Tasya sudah tenang."

Tubuh Retha lemas. Rasanya ia ingin pingsan, namun tidak bisa. Ia tidak bisa menopang tubuhnya sendiri kalau bukan Farrel yang memeluknya erat.

Tangisan Retha semakin deras. Ia belum berani untuk menengok ke belakang, menatap Bunda-nya yang sudah terbujur kaku tanpa nyawa.

Retha tidak kuat, Retha tidak sanggup. Pupus sudah harapannya untuk bisa kembali menjadi keluarga yang utuh, Bundanya telah pergi untuk selamanya.

Bunda-nya bukan lagi tidur untuk sementara, Bunda-nya tertidur untuk selamanya. Benar-benar Retha tidak sanggup.

Tangisnya yang di sertai kepedihan lah yang menggambarkan betapa hancurnya ia saat ini. Dunianya seakan berhenti berputar, tubuhnya membeku, otaknya tidak dapat mencerna.

"Bunda..."lirih Retha di sela isakannya. Ia mencengkram erat jaket Farrel, menangis tanpa henti di dada bidang cowok itu.

Farrel, cowok itu terdiam. Tangannya terus memeluk Retha dengan erat, Farrel menumpukan dagunya di atas kepala Retha. Dapat ia rasakan, tubuh lemah Retha saat ini. Kalau saja ia melepaskan pelukan ini, maka tubuh Retha akan langsung jatuh.

"Farrel..."lirih Retha pelan. "Ini cuman mimpi, kan? Tolong, bangunin aku. Aku nggak kuat.."

Mendengar itu, membuat hati Farrel terasa perih. Muncul rasa bersalah yang sangat besar di dalam hatinya, kenapa harus Bunda Retha? Kenapa dunia se sempit ini? Apa yang akan terjadi kalau Retha tahu, yang sebenarnya?

"Kamu harus kuat," hanya itu yang dapat Farrel ucapkan. Ia memejamkan matanya, ikut merasakan sakit dan kehilangan yang sedang Retha alami saat ini.

"A-aku, aku benci dia, Farrel! Orang yang nabrak Bunda, aku benci!" teriak Retha dengan isakan. "Aku benci..."

Rasanya dada Farrel seperti habis ditikam ribuan jarum, di jatuhi puluhan balok kayu, dan ada rasa sangat perih di dalam hatinya.

Tiba-tiba, bayangan Retha meninggalkannya muncul di benak Farrel. Bayangan tentang gadis itu yang menatapnya dengan kilatan benci di matanya, astaga, Farrel bahkan tidak sanggup membayangkannya.

*****

Retha memeluki gundukan tanah yang masih basah. Di dalam sana, ada tubuh ibunya yang sudah tidak lagi bernyawa. Retha kembali menangis, mengingat lagi kenangannya bersama Ibunya.

"Tha, gue sama Valina duluan. Bokap nyokap gue udah duluan ke mobil. Nanti malem, kami ke rumah lo lagi." ucap Vanesha seraya menepuk pundak Retha sekali.

Retha bergeming. Masih menangis di atas makam ibunya yang masih baru dan di penuhi taburan hingga buket bunga.

Vanesha menatap nanar sepupunya itu. Setelahnya, ia menatap Farrel dan mengangguk sekali. Kemudian, ia beranjak pergi dari sana di susul kembarannya, Valina.

Kuburan sudah mulai sepi. Teman sekolah Retha, guru-guru, dan juga kerabatnya sudah meninggalkan pemakaman sejak satu jam yang lalu. Bahkan, Ayahnya juga.

Hanya tersisa Retha di sini, di temani Farrel yang selalu berada disisinya. Bahkan, di saaat Retha pingsan karena melihat Ibunya yang mulai di timbun tanah.

Farrel menjongkokan tubuhnya, menaikkan kacamata hitam yang menyangkut di hidung mancungnya. Sekali lagi, ada rasa perih yang timbul di dalam hatinya.

"Re, pulang, yuk?" ajak Farrel dengan lembut. "Kasian Bunda kamu kalau kamu nangis kayak gini, pasti dia nggak bakalan tenang."

Retha bergeming. Walaupun matanya di tutupi kacamata hitam, Farrel tahu, gadis itu masih menangis. Sudah hampir dua belas jam Retha menangis tanpa henti, bahkan saat pingsan matanya juga mengeluarkan airmata.

"Kamu tau, nggak? Bunda pernah bilang, dia bakalan dandanin aku buat pesta kelusan. Orang pertama yang denger curhatan aku tentang cowok, orang pertama yang sedih karena sakit ringan. Orang yang paling ngerti aku, orang yang selalu bisa ngendaliin aku yang keras kepala. Cuman Bunda.." Retha tertawa getir. "Tapi, semuanya udah nggak ada lagi. Udah jadi kenangan, nggak ada lagi kasih sayang seorang ibu untuk aku. Dan, semuanya gara-gara dia!"

"Aku nggak bakalan maafin orang itu, Rel! Nggak akan!" teriak Retha dengan amarah, kemudian menangis lagi sembari menumpukan kepalanya di nisan ibunya. "Nggak akan..."

Lagi, jantung Farrel berdegub tidak karuan. Wajahnya pucat, dan tubuhnya bergetar. Farrel menatap Retha dengan nanar.

Gue harus gimana, Re?

*****

Retha mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengernyitkan dahinya, menatap sekeliling ruangan yang sedang ia tempati saat ini. Ini adalah kamarnya, begitu sepi di sini. Berbeda jauh dengan ingatan terakhirnya yang ia ingat, sebelumnya kamarnya sangat ramai.

Sekarang, kamarnya sepi. Retha bingung.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terdorong ke belakang. Dan, mata Retha terbelalak kala melihat sosok yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.

"Bunda?!" pekik Retha kaget. Gasis itu segera turun dari kasurnya dan berlari memeluk Bundanya erat.

"Eh?" kaget Tasya. "Anak Bunda kenapa?"

Retha tiba-tiba menangis. Di peluknya Bundanya erat-erat. Ini terasa sangat nyata, pasti tadi ia hanya bermimpi, mimpi yang sangat panjang.

"Bunda, Retha mimpi buruk. Di mimpi Retha, Bunda di tabrak, Bunda koma lebih dari satu tahun, terus Bunda meninggal." jelasnya sembari terisak. "Mimpinya terasa nyata banget, Retha takut.."

Tasya, wanita berumur 39 tahun itu hanya diam. Sesekali mengelus punggung putrinya dengan sayang.

"Retha, Bunda mau ngomong sesuatu." ucap Tasya dengan nada yang amat sangat lembut.

Retha mendongakan wajahnya yang sudah di banjiri air mata. "Bunda mau ngomong apa?"

"Ayo kita duduk dulu di sana, masa sambil berdiri." ajak Tasya yang sudah membawa Retha menuju pinggir kasur.

Mereka berdua duduk di pinggir kasur, dengan posisi Retha yang memeluk Bundanya dengan erat.

"Retha, Retha anak penurut, kan?" tanya Tasya dan membuat Retha mengerucutkan bibirnya.

"Jelas, lah. Retha kan selalu ngikutin kata Bunda, Ayah sama guru di sekolah." jawabnya dengan sedikit nada merajuk.

Tasya terkekeh, kemudian membelai rambut panjang putri semata wayangnya itu. "Retha harus inget, ya. Jangan jadi orang yang pendendam, Retha harus pemaaf."

Retha mendongakan kepalanya, menatap aneh ke arah ibunya yang berwajah sangat lembut itu. "Bunda kok tiba-tiba ngomong kayak gitu? Kayak mau pergi aja."

"Ya, pokoknya. Ingat kata-kata Bunda. Bunda selalu sayang Retha dan Ayah, kalau Bunda pergi, Retha jangan lemah. Retha harus tetap kuat." nasehat Tasya yang tidak terasa matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu Bunda nggak lama.."

"Bunda ngomong apa, sih?!" sentak Retha kesal. Tidak lama, matanya mulai berair lagi. Mengingat kembali mimpi buruk yang baru saja ia alami.

Tasya mengusap pipi Retha, menghapus air mata yang mengalir di pipi anaknya. "Retha, Bunda harus pergi.."

"Enggak!" Retha kembali memeluk Bundanya erat. "Bunda nggak boleh kemana-mana!"

"Retha, harus ingat kata-kata Bunda tadi, ya?" Tasya ikut terisak.

Retha menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak mau, Bunda. Jangan pergi, Retha nggak mau Bunda pergi.."

"Bunda sayang Retha sama Ayah. Terus doain Bunda, ya? Jangan pernah berubah. Maafin semua kesalahan Bunda, ya? Bunda pamit.."

Retha menggelengkan kepalanya. Ia semakin memeluk Bundanya dengan erat, namun pelukan itu semakin melonggar. Objek yang berada di pelukannya menghilang, ibunua menghilang.

"BUNDA!!"

Dan, Retha terbangun dari mimpinya.

Nafasnya terhengal-hengal, peluh keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Retha menatap sekelilingnya, hanya ada Farrel yang sedang tertidur di pinggir kasur sembari menggenggam erat tangannya.

Retha kembali menangis histeris. Ternyata hanya mimpi. Bundanya benar-benar sudah tidak ada, dan mimpinya tadi seakan sebagai salam perpisahan.

Farrel mengerjapkan matanya. Ia terbangun karena mendengarkan isakan tangis dari Retha, dengan cepat Farrel memeluk gadis itu, mengusap punggungnya untuk memberi ketenangan.

"Stt," Farrel menciup puncak kepala Retha. "Udah, kamu bisa sakit kalau nangis terus."

"Farrel.." Retha terisak. "Bunda.."

Farrel hanya diam. Ia terus memeluk gadis itu dengan erat, mengusap punggungnya dengan sayang.

Maafin aku, sayang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel