Bab 10
"SMA Golden generasi 53 di nyatakan lulus 100%!" seru Kepala Sekolah di depan mic dan di dengar oleh sekitar enam ratus lima puluh siswa SMA Golden kelas dua belas.
Riuh pikuk teriakan senang dan bahagia membanjiri Aula SMA Golden. Ada yang bersujud syukur, menangis, dan memeluk orang tuanya.
Usai sudah masa SMA yang mereka jalani selama tiga tahun ini. Setelah ini, tidak ada lagi yang menuntut mereka untuk bangun pagi, tidak ada lagi yang namanya pekerjaan rumah tapi di kerjakan di sekolah, tidak ada lagi yang melarang merekab untuk mewarnai rambut, tidak ada lagi aturan yang mereka langgar, dan tidak ada lagi upacara di hari Senin yang membosankan.
Tidak ada.
Setelah ini, terserah mereka ingin melanjutkan ke mana. Entah ke Universitas, Bekerja, atau langsung menikah.
Abaikan yang terakhir.
Mengingat ini adalah sekolah elite dan hampir seluruh muridnya berada di golongan atas, rasanya mereka semua akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, atau mewarisi perusahaan orang tua mereka.
Entah lah.
"Sekarang, kami akan mengumumkan juara satu dari masing-masing kelas." lanjut sang Kepala Sekolah, lagi.
Jantung para juara kelas tahun kemaren, berdetak kencang. Menerka-nerka, apakah mereka akan menjadi juara lagi tahun ini.
Begitu pula dengan Retha. Tangannya berkeringat dingin, sesekali ia meremas lengan Farel yang berada di sebelahnya.
Ya, nasib Retha dan Farrel sama. Tidak ada wali yang datang di saat pengumuman kelulusan mereka, di saat semua murid menangis haru bahagia sembari memeluk orang tuanya, Retha hanya bisa memeluk Farrel yang selalu berada di sisinya.
"--juara kelas IPA 1-" Kepala Sekolah menjeda kalimatnya. Kemudian, pria paruh baya itu membenarkan letak kacamatanya, membaca dengan benar nama yang akan ia sebutkan saat ini.
"Farrel Manggala Wdyatmaja, selamat." ucap Kepala Sekolah, ragu. Ya, hanya sebentar, Kemudian, pria itu kembali membacakan urutan semua juara kelas sampai selesai.
"It's the best day ever." Farrel melebarkan senyumannya.
Sedangkan Retha, gadis itu ternganga. Telinganya tidak salah dengar, kan? Posisinya tergeser karena Farrel? Dan, sekarang ia harus menuruti permintaan cowok itu?
"This is boomerang?" gumam Retha tak habis pikir.
***
Gedung aula yang tadinya sempat di banjiri air mata bahagia. Kini berubah menjadi ruangan pesta yang sangat mewah. Dekorasi dan pesta yang bertema oscar, sangat cocok dengan sekolah ini, elite.
Sekitar enam ratus lima puluh murid SMA Golden, angkatan 53 tengah berkumpul merayakan kelulusan mereka yang baru saja di umumkan tadi siang.
Mengambil Tema oscar, orang-orang yang hadir di pesta inipun berpakaian formal. Yang laki-laki, memakai setelan jas terbaik mereka. Yang wanita, gaun malam yang cukup elegan. Rata-rata, panjang dress mereka hanya selutut atau kurang.
Intinya, kurang bahan.
Sepertinya, hanya Retha yang memakai gaun yang cukup sopan. Selain panjang semata kaki, juga tertutup, walau lengan pendek.
Tentu saja, ini gaun pilihan Farrel.
Tidak ingin tubuh Retha terekspos kemana-mana. Karena, hanya Farrel yang boleh melihatnya.
Emm, maksudnya nanti. Kalau sudah sah.
Acara berlangsung meriah dan terkendali. Selama acara, Retha tidak pernah terpisah dari Farrel. Bukannya apa, cowok itu merengkuh pinggangnya sangat erat.
Bukan tanpa alasan. Kalau di lepaskan, Retha sudah seperti umpan untuk singa yang sedang kelaparan. Daritadi, banyak sekali mata lelaki yang menatap Retha penuh minat, untuk kedua kalinya kecantikan Retha terpancar di depan umum seperti ini.
Retha memang cantik setiap harinya, standar. Hanya saja, yang berbeda adalah ia memakai make up tipis yang memang sangat jarang ia gunakan. Karena itu, Retha jadi kelihatan sangat cantik di mata para cowok yang baru melihatnya menggunakan make up.
"Kamu kenapa, sih?" Retha menatap aneh ke arah Farrel. Cowok itu, daritadi menghentak-hentakkan kakinya, gelisah.
"Kebelet." sahut Farrel. Masih menghentak-hentakkan kakinya.
"Ke toilet, sana." usir Retha, risih dengan Farrel yang harus menghentak-hentakkan kakinya, menahan niatnya untuk membuang air kecil-hanya karena tidak ingin meninggalkan Retha sendiri, di sini, di saat semua lelaki menatap Retha seperti harimau yang sudah tidak makan selama seminggu.
"Nanti aja, masih tahan." bohong Farrel.
Tentu saja cowok itu tidak tahan, jelas-jelas sudah di ujung tanduk. Senggol dikit, bablas lah air kemih itu. Farrel tidak ingin membayangkannya.
"Kalau masih tahan, diem. Kakinya nggak usah di hentak-hentak kek gitu." titah Retha.
Langsung saja Farrel menurut, namun ia tidak bisa berlama-lama seperti ini, menahan panggilan alam. Lagi, Farrel kembali menghentak-hentakkan kakinya.
Mendengar suara mengganggu itu, lagi, Retha menghela nafasnya kasar, mengalihkan lagi tatapannya yang semula berpusat pada panggung, kini teralih pada Farrel.
"Ke toilet, sana.." titah Retha lelah. "Kalo mau pipis itu nggak usah di tahan, kantung kemih kamu bisa bengkak, terus kemih yang ada di kantung kemih kamu tumpah ke dalam tubuh, jadi racun. Kamu mau mati?"
Mendengar itu, Farrel langsung keringat dingin. Dilema, kalau nggak ke toilet, Farrel udah nggak tahan, kalau ke sana, ntar Retha di lirik cowok-cowok itu.
"Aku nggak papa, Rel.." ucap Retha malas. "Kalau kamu mati gara-gara nahan pipis, kamu mau aku nikah sama cowok lain gara-gara kamu tinggal mati?"
"Iya, iya, ah." menurut, Farrel segera beranjak dari posisi duduknya.
Dengan cepat, Farrel keluar meninggalkan aula, berjalan ke arah toilet yang terletak di dekat parkiran. Jauh sekali, serasa berjalan di sepanjang gurun pasir.
Berusaha menyelesaikan panggilannya secepat mungkin, agar cepat juga ia kembali ke dalam aula, dan menjaga gadisnya lagi.
Selesai, Farrel segera keluar toilet. Bergegas ingin kembali ke aula, namun langkahnya tercekat karena seorang anak kecil menghentikannya.
"Kakak..."lirih seorang gadis yang kira-kira berumur sembilan tahun itu.
Farrel mengernyitkan dahinya, kemudian cowok itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang ingin menangis itu.
"Hey," Farrel menyentuh pipi gadis kecil yang sebenarnya tidak ia kenali itu. "Kenapa?"
"Kakak, mau tolongin aku?" anak kecil itu berucap memelas. Menahan air matanya yang hendak tumpah.
"Tolong apa?" tanya Farrel lembut.
"Kakak mau nggak, beli ini?" Gadis kecil itu menyodorkan sebotol air mineral. "Tadi, aku di kasih ini, daripada aku minum, mendingan aku jual, uangnya bisa buat kasih ke Ibu." jelas gadis itu dengan suara seraknya.
Hati Farrel yang sangat batu dan hanya bisa di luluhkan oleh Retha itu, tiba-tiba bergetar karena gadis kecil yang berpenampilan lusuh di hadapannya.
Segera, Farrel merogoh saku celananya. Mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam, yang berisi barisan uang berwarna merah dan biru.
Farrel menyerahkan dua lembar uang seratus ribu pada gadis kecil itu. Shock, gadis itu menatap bingung ke arah Farrel.
"Kakak, ini cuman dua ribu." ia menyodorkan botol air mineral itu. "Bukan dua ratus ribu."
Farrel tersenyum hangat. "Nggak papa."
Tangan gadis kecil itu bergetar menerima uang itu. Ia menatap Farrel dengan ragu, namun saat Farrel menyunggingkan senyumnya, mata gadis itu langsung berbinar.
"Makasih, kak." ucapnya senang. "Ini, minumnya." ia menyodorkan air mineral itu.
"Nggak usah," tolak Farrel.
Tiba-tiba, binar di mata gadis kecil iti meredup. Di sodorkannya kembali uang yang tadi Farrel berikan.
"Kalau kakak nggak mau terima ini, aku juga nggak mau terima uang dari kakak. Aku jualan, bukan ngemis." katanya dengan sedikit nada kecewa.
Astaga, Farrel sudah membuat gadis itu bersedih lagi. Padahal, tadi Farrel yang sudah membuat gadis itu tersenyum cerah.
Akhirnya, Farrel mengambil botol mineral itu. Membuka tutupnya yang masih tersegel, dan langsung menegaknya sampai habis.
Gadis itu melebarkan matanya melihat aksi Farrel. Ya ampun, kakak itu menegak sebotol air mineral ukuran 400Gram dengan sekali tegak!
"Udah kakak minum sampe habis, berarti kakak harus bayar, kan?" ujar Farrel dan gadis itu mengangguk.
"Nah, karena udah selesai," Farrel berdiri, "sekarang, kamu pulang. Nggak baik anak cewek kelayapan jam segini." nasehat Farrel.
Gadis kecil itu mengangguk, menatap Farrel dengan kagum. Setelahnya, ia berlalu pergi, meninggalkan Farrel seraya melambaikan tangannya pada cowok itu.
Dan, Farrel baru menyadari satu hal.
"Lah, ini kan sekolah lagi ada acara. Kok dia bisa masuk sembarangan?"
***
Dua jam berlalu
Acara meriah itu telah selesai. Satu persatu para tamu mulai meninggalkan aula ini. Meninggalkan sisa-sisa kesedihan dan kebahagiaan yang mereka rayakan baru saja.
"Bentar lagi, jadi mahasiswa." gumam Retha.
"Lo jadi, Tha, kuliah di Luar?" tanya Valerie.
Dengan ragu, Retha mengangguk. "Kayaknya jadi, Val. Ayah udah bilang sama temennya di sana, mau jagain gue."
Valerie mengangguk. "Bakalan jauh deh, kita. Mana beda waktu, pasti susah kalau mau ngajak lo telfonan."
Retha meringis. "Gue usahain, dalam seminggu bisa hubungin lo, deh."
"Alah, omdo." Valerie cemberut. "Udah pasti lo tiap saat cuman telfonan sama Farrel doang."
Retha terkekeh. "Ntar pasti gue usahaain, ya?"
"Awas aja sampe enggak." kata Valerie mengancam. "Eh-eh, btw Farrel kuliah di mana, sih?"
Yang di tanya hanya diam, sibuk memijit kepalanya yang terasa pening sedari tadi.
Retha memerhatikan Farrel, cowok itu seperti sedang menahan rasa sakit. "Kamu kenapa?" tanya Retha cemas.
Farrel memijat pelipisnya. "Kepala aku, sakit."
"Yaudah, ayo kita pulang." ajak Retha.
Memang, sedari tadi mereka nerempat masih belum pulang. Mereka masih bersantai duduk di atas meja bundar, padahal sudah banyak yang pulang daritadi.
"Kamu aja yang nyetir, ya?" pinta Farrel.
Mereka berdua sudah sampai di parkiran sekarang. Setelah memberikan kunci mobilnya pada Retha, Farrel langsung melangkah lunglai masuk ke dalam mobil, disusul Retha yang masuk ke kursi sopir.
Meski ragu, Retha mengangguk. Sebenarnya, menyuruh ia menyetir, sama saja dengan meminta dekat dengan Tuhan semakin cepat.
Gadis itu baru bisa nyetir seminggu yang lalu, itu juga karena Farrel yang memaksanya untuk belajar. Selama itu juga, jidat Farrel benjol dan membiru karena kejedot, Retha suka rem mendadak.
Retha meneguk salivanya. Memerhatikan setiap bagian penting pada mobil Farrel. Tidak tanggung-tanggung, Farrel langsung mengajarkan Retha menggunakan lamborgjni-nya.
Dengan ragu, Retha menyalakan mobil mewah itu, dan, menyala. Wow, beri Retha tepuk tangan.
Setelahnya, Retha mulai mengerjakan setiap langkah-langkah yang di ajarkan Farrel selama seminggu kemarin.
Retha melirik Farrel yang masih memijat pelipisnya. Kemudian, ia kembali fokus pada jalanan karena mobil itu kini sedang berjalan.
Sedang fokus menyetir dengan pelan dan hati-hati, tiba-tiba ia di kejutkan dengan suara Farrel yang tiba-tiba histeris.
"Rel, Rel, jangan ngebut!" pekik Farrel.
"Rel?" Retha menaikkan sebelah alisnya. "Kamu ngapain manggil diri kamu sendiri?"
Farrel, cowok itu terdiam, menatap Retha lekat-lekat, lalu tiba-tiba ia tertawa. Membuat Retha menjadi bingung setengaj mati.
"Rel, kamu kenapa?" tanya Retha bingung.
Pasalnya, tidak ada angin, tidak ada hujan, cowok itu tiba-tiba histeris, lalu tertawa.
"Kamu cantik," kata Farrel seraya tersenyum. "Kayak Mama kamu."
Retha menaikkan sebelah alisnya. "Emang pernah liat muka Mama? Perasaan, waktu Mama meninggal, kamu nggak ngeliat mukanya."
Farrel cemberut. Lalu, menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dam ke kiri. "Aku pernah lihat," katanya dengan nada merajuk.
"Oh, ya? Waktu di rumah aku, ya?" tanya Retha.
Farrel menggeleng. "Bukan, aku liat Mama kamu di..." cowok itu nampak berpikir. "Aduh, lupa." sambungnya. Kemudian, ia tertawa.
Dahi Retha sudah menampilkan lipatan-lipatan. Bingung, cowok ini kenapa?
"Farrel, kamu mabuk?!" tembak Retha.
Lagi-lagi, Farrel cemberut. Cowok itu melipat tangannya di depan dadanya, persis gaya ngambek anak SD.
"Nggak!" kilahnya dengan nada merajuk. "Aku cuman pernah mabuk sekali, terus gara-gara itu, aku nabrak orang."
Retha langsung menoleh, gadis itu ngerem mendadak. Membuat kepala Farrel lagi-lagi kejedot.
"Aduh!" ringis Farrel. "Sakit, tau! Udah dibilangin, jangan ngerem mendadak!"
"Farrel, kamu mabuk!" teriak Retha.
"Udah aku bilang, aku nggak mabuk!" kilah Farrel. "Aku cuman pernah mabuk sekali, terus nabrak orang!" balas Farrel tak kalah nyaring.
"Kamu nabrak siapa?!"
"Mau tau aja, atau mau tau banget??" Farrel tertawa. "Rahasia dong."
"Farrel!"
"Apa, sayang?" sahut Farrel. Cowok itu benar-benar kehilangan kesadarannya.
Entah apa yang telah ia makan atau minum, yang jelas Farrel sedang mabuk sekarang. Meskipun anak club, Farrel jarang minum, karena memang tidak kuat.
"Kamu nabrak siapa?!" tanya Retha berapi-api.
"Rahasia dong!" Farrel tertawa lagi. "Pokonya, aku nggak bakalan kasih tau kalau yang aku tabrak itu Mama kamu. Nggak bakal."
Dan, tepat saat itu juga dunia Retha berhenti berputar.
"SMA Golden generasi 53 di nyatakan lulus 100%!" seru Kepala Sekolah di depan mic dan di dengar oleh sekitar enam ratus lima puluh siswa SMA Golden kelas dua belas.
Riuh pikuk teriakan senang dan bahagia membanjiri Aula SMA Golden. Ada yang bersujud syukur, menangis, dan memeluk orang tuanya.
Usai sudah masa SMA yang mereka jalani selama tiga tahun ini. Setelah ini, tidak ada lagi yang menuntut mereka untuk bangun pagi, tidak ada lagi yang namanya pekerjaan rumah tapi di kerjakan di sekolah, tidak ada lagi yang melarang merekab untuk mewarnai rambut, tidak ada lagi aturan yang mereka langgar, dan tidak ada lagi upacara di hari Senin yang membosankan.
Tidak ada.
Setelah ini, terserah mereka ingin melanjutkan ke mana. Entah ke Universitas, Bekerja, atau langsung menikah.
Abaikan yang terakhir.
Mengingat ini adalah sekolah elite dan hampir seluruh muridnya berada di golongan atas, rasanya mereka semua akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, atau mewarisi perusahaan orang tua mereka.
Entah lah.
"Sekarang, kami akan mengumumkan juara satu dari masing-masing kelas." lanjut sang Kepala Sekolah, lagi.
Jantung para juara kelas tahun kemaren, berdetak kencang. Menerka-nerka, apakah mereka akan menjadi juara lagi tahun ini.
Begitu pula dengan Retha. Tangannya berkeringat dingin, sesekali ia meremas lengan Farel yang berada di sebelahnya.
Ya, nasib Retha dan Farrel sama. Tidak ada wali yang datang di saat pengumuman kelulusan mereka, di saat semua murid menangis haru bahagia sembari memeluk orang tuanya, Retha hanya bisa memeluk Farrel yang selalu berada di sisinya.
"--juara kelas IPA 1-" Kepala Sekolah menjeda kalimatnya. Kemudian, pria paruh baya itu membenarkan letak kacamatanya, membaca dengan benar nama yang akan ia sebutkan saat ini.
"Farrel Manggala Wdyatmaja, selamat." ucap Kepala Sekolah, ragu. Ya, hanya sebentar, Kemudian, pria itu kembali membacakan urutan semua juara kelas sampai selesai.
"It's the best day ever." Farrel melebarkan senyumannya.
Sedangkan Retha, gadis itu ternganga. Telinganya tidak salah dengar, kan? Posisinya tergeser karena Farrel? Dan, sekarang ia harus menuruti permintaan cowok itu?
"This is boomerang?" gumam Retha tak habis pikir.
***
Gedung aula yang tadinya sempat di banjiri air mata bahagia. Kini berubah menjadi ruangan pesta yang sangat mewah. Dekorasi dan pesta yang bertema oscar, sangat cocok dengan sekolah ini, elite.
Sekitar enam ratus lima puluh murid SMA Golden, angkatan 53 tengah berkumpul merayakan kelulusan mereka yang baru saja di umumkan tadi siang.
Mengambil Tema oscar, orang-orang yang hadir di pesta inipun berpakaian formal. Yang laki-laki, memakai setelan jas terbaik mereka. Yang wanita, gaun malam yang cukup elegan. Rata-rata, panjang dress mereka hanya selutut atau kurang.
Intinya, kurang bahan.
Sepertinya, hanya Retha yang memakai gaun yang cukup sopan. Selain panjang semata kaki, juga tertutup, walau lengan pendek.
Tentu saja, ini gaun pilihan Farrel.
Tidak ingin tubuh Retha terekspos kemana-mana. Karena, hanya Farrel yang boleh melihatnya.
Emm, maksudnya nanti. Kalau sudah sah.
Acara berlangsung meriah dan terkendali. Selama acara, Retha tidak pernah terpisah dari Farrel. Bukannya apa, cowok itu merengkuh pinggangnya sangat erat.
Bukan tanpa alasan. Kalau di lepaskan, Retha sudah seperti umpan untuk singa yang sedang kelaparan. Daritadi, banyak sekali mata lelaki yang menatap Retha penuh minat, untuk kedua kalinya kecantikan Retha terpancar di depan umum seperti ini.
Retha memang cantik setiap harinya, standar. Hanya saja, yang berbeda adalah ia memakai make up tipis yang memang sangat jarang ia gunakan. Karena itu, Retha jadi kelihatan sangat cantik di mata para cowok yang baru melihatnya menggunakan make up.
"Kamu kenapa, sih?" Retha menatap aneh ke arah Farrel. Cowok itu, daritadi menghentak-hentakkan kakinya, gelisah.
"Kebelet." sahut Farrel. Masih menghentak-hentakkan kakinya.
"Ke toilet, sana." usir Retha, risih dengan Farrel yang harus menghentak-hentakkan kakinya, menahan niatnya untuk membuang air kecil-hanya karena tidak ingin meninggalkan Retha sendiri, di sini, di saat semua lelaki menatap Retha seperti harimau yang sudah tidak makan selama seminggu.
"Nanti aja, masih tahan." bohong Farrel.
Tentu saja cowok itu tidak tahan, jelas-jelas sudah di ujung tanduk. Senggol dikit, bablas lah air kemih itu. Farrel tidak ingin membayangkannya.
"Kalau masih tahan, diem. Kakinya nggak usah di hentak-hentak kek gitu." titah Retha.
Langsung saja Farrel menurut, namun ia tidak bisa berlama-lama seperti ini, menahan panggilan alam. Lagi, Farrel kembali menghentak-hentakkan kakinya.
Mendengar suara mengganggu itu, lagi, Retha menghela nafasnya kasar, mengalihkan lagi tatapannya yang semula berpusat pada panggung, kini teralih pada Farrel.
"Ke toilet, sana.." titah Retha lelah. "Kalo mau pipis itu nggak usah di tahan, kantung kemih kamu bisa bengkak, terus kemih yang ada di kantung kemih kamu tumpah ke dalam tubuh, jadi racun. Kamu mau mati?"
Mendengar itu, Farrel langsung keringat dingin. Dilema, kalau nggak ke toilet, Farrel udah nggak tahan, kalau ke sana, ntar Retha di lirik cowok-cowok itu.
"Aku nggak papa, Rel.." ucap Retha malas. "Kalau kamu mati gara-gara nahan pipis, kamu mau aku nikah sama cowok lain gara-gara kamu tinggal mati?"
"Iya, iya, ah." menurut, Farrel segera beranjak dari posisi duduknya.
Dengan cepat, Farrel keluar meninggalkan aula, berjalan ke arah toilet yang terletak di dekat parkiran. Jauh sekali, serasa berjalan di sepanjang gurun pasir.
Berusaha menyelesaikan panggilannya secepat mungkin, agar cepat juga ia kembali ke dalam aula, dan menjaga gadisnya lagi.
Selesai, Farrel segera keluar toilet. Bergegas ingin kembali ke aula, namun langkahnya tercekat karena seorang anak kecil menghentikannya.
"Kakak..."lirih seorang gadis yang kira-kira berumur sembilan tahun itu.
Farrel mengernyitkan dahinya, kemudian cowok itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang ingin menangis itu.
"Hey," Farrel menyentuh pipi gadis kecil yang sebenarnya tidak ia kenali itu. "Kenapa?"
"Kakak, mau tolongin aku?" anak kecil itu berucap memelas. Menahan air matanya yang hendak tumpah.
"Tolong apa?" tanya Farrel lembut.
"Kakak mau nggak, beli ini?" Gadis kecil itu menyodorkan sebotol air mineral. "Tadi, aku di kasih ini, daripada aku minum, mendingan aku jual, uangnya bisa buat kasih ke Ibu." jelas gadis itu dengan suara seraknya.
Hati Farrel yang sangat batu dan hanya bisa di luluhkan oleh Retha itu, tiba-tiba bergetar karena gadis kecil yang berpenampilan lusuh di hadapannya.
Segera, Farrel merogoh saku celananya. Mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam, yang berisi barisan uang berwarna merah dan biru.
Farrel menyerahkan dua lembar uang seratus ribu pada gadis kecil itu. Shock, gadis itu menatap bingung ke arah Farrel.
"Kakak, ini cuman dua ribu." ia menyodorkan botol air mineral itu. "Bukan dua ratus ribu."
Farrel tersenyum hangat. "Nggak papa."
Tangan gadis kecil itu bergetar menerima uang itu. Ia menatap Farrel dengan ragu, namun saat Farrel menyunggingkan senyumnya, mata gadis itu langsung berbinar.
"Makasih, kak." ucapnya senang. "Ini, minumnya." ia menyodorkan air mineral itu.
"Nggak usah," tolak Farrel.
Tiba-tiba, binar di mata gadis kecil iti meredup. Di sodorkannya kembali uang yang tadi Farrel berikan.
"Kalau kakak nggak mau terima ini, aku juga nggak mau terima uang dari kakak. Aku jualan, bukan ngemis." katanya dengan sedikit nada kecewa.
Astaga, Farrel sudah membuat gadis itu bersedih lagi. Padahal, tadi Farrel yang sudah membuat gadis itu tersenyum cerah.
Akhirnya, Farrel mengambil botol mineral itu. Membuka tutupnya yang masih tersegel, dan langsung menegaknya sampai habis.
Gadis itu melebarkan matanya melihat aksi Farrel. Ya ampun, kakak itu menegak sebotol air mineral ukuran 400Gram dengan sekali tegak!
"Udah kakak minum sampe habis, berarti kakak harus bayar, kan?" ujar Farrel dan gadis itu mengangguk.
"Nah, karena udah selesai," Farrel berdiri, "sekarang, kamu pulang. Nggak baik anak cewek kelayapan jam segini." nasehat Farrel.
Gadis kecil itu mengangguk, menatap Farrel dengan kagum. Setelahnya, ia berlalu pergi, meninggalkan Farrel seraya melambaikan tangannya pada cowok itu.
Dan, Farrel baru menyadari satu hal.
"Lah, ini kan sekolah lagi ada acara. Kok dia bisa masuk sembarangan?"
***
Dua jam berlalu
Acara meriah itu telah selesai. Satu persatu para tamu mulai meninggalkan aula ini. Meninggalkan sisa-sisa kesedihan dan kebahagiaan yang mereka rayakan baru saja.
"Bentar lagi, jadi mahasiswa." gumam Retha.
"Lo jadi, Tha, kuliah di Luar?" tanya Valerie.
Dengan ragu, Retha mengangguk. "Kayaknya jadi, Val. Ayah udah bilang sama temennya di sana, mau jagain gue."
Valerie mengangguk. "Bakalan jauh deh, kita. Mana beda waktu, pasti susah kalau mau ngajak lo telfonan."
Retha meringis. "Gue usahain, dalam seminggu bisa hubungin lo, deh."
"Alah, omdo." Valerie cemberut. "Udah pasti lo tiap saat cuman telfonan sama Farrel doang."
Retha terkekeh. "Ntar pasti gue usahaain, ya?"
"Awas aja sampe enggak." kata Valerie mengancam. "Eh-eh, btw Farrel kuliah di mana, sih?"
Yang di tanya hanya diam, sibuk memijit kepalanya yang terasa pening sedari tadi.
Retha memerhatikan Farrel, cowok itu seperti sedang menahan rasa sakit. "Kamu kenapa?" tanya Retha cemas.
Farrel memijat pelipisnya. "Kepala aku, sakit."
"Yaudah, ayo kita pulang." ajak Retha.
Memang, sedari tadi mereka nerempat masih belum pulang. Mereka masih bersantai duduk di atas meja bundar, padahal sudah banyak yang pulang daritadi.
"Kamu aja yang nyetir, ya?" pinta Farrel.
Mereka berdua sudah sampai di parkiran sekarang. Setelah memberikan kunci mobilnya pada Retha, Farrel langsung melangkah lunglai masuk ke dalam mobil, disusul Retha yang masuk ke kursi sopir.
Meski ragu, Retha mengangguk. Sebenarnya, menyuruh ia menyetir, sama saja dengan meminta dekat dengan Tuhan semakin cepat.
Gadis itu baru bisa nyetir seminggu yang lalu, itu juga karena Farrel yang memaksanya untuk belajar. Selama itu juga, jidat Farrel benjol dan membiru karena kejedot, Retha suka rem mendadak.
Retha meneguk salivanya. Memerhatikan setiap bagian penting pada mobil Farrel. Tidak tanggung-tanggung, Farrel langsung mengajarkan Retha menggunakan lamborgjni-nya.
Dengan ragu, Retha menyalakan mobil mewah itu, dan, menyala. Wow, beri Retha tepuk tangan.
Setelahnya, Retha mulai mengerjakan setiap langkah-langkah yang di ajarkan Farrel selama seminggu kemarin.
Retha melirik Farrel yang masih memijat pelipisnya. Kemudian, ia kembali fokus pada jalanan karena mobil itu kini sedang berjalan.
Sedang fokus menyetir dengan pelan dan hati-hati, tiba-tiba ia di kejutkan dengan suara Farrel yang tiba-tiba histeris.
"Rel, Rel, jangan ngebut!" pekik Farrel.
"Rel?" Retha menaikkan sebelah alisnya. "Kamu ngapain manggil diri kamu sendiri?"
Farrel, cowok itu terdiam, menatap Retha lekat-lekat, lalu tiba-tiba ia tertawa. Membuat Retha menjadi bingung setengaj mati.
"Rel, kamu kenapa?" tanya Retha bingung.
Pasalnya, tidak ada angin, tidak ada hujan, cowok itu tiba-tiba histeris, lalu tertawa.
"Kamu cantik," kata Farrel seraya tersenyum. "Kayak Mama kamu."
Retha menaikkan sebelah alisnya. "Emang pernah liat muka Mama? Perasaan, waktu Mama meninggal, kamu nggak ngeliat mukanya."
Farrel cemberut. Lalu, menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dam ke kiri. "Aku pernah lihat," katanya dengan nada merajuk.
"Oh, ya? Waktu di rumah aku, ya?" tanya Retha.
Farrel menggeleng. "Bukan, aku liat Mama kamu di..." cowok itu nampak berpikir. "Aduh, lupa." sambungnya. Kemudian, ia tertawa.
Dahi Retha sudah menampilkan lipatan-lipatan. Bingung, cowok ini kenapa?
"Farrel, kamu mabuk?!" tembak Retha.
Lagi-lagi, Farrel cemberut. Cowok itu melipat tangannya di depan dadanya, persis gaya ngambek anak SD.
"Nggak!" kilahnya dengan nada merajuk. "Aku cuman pernah mabuk sekali, terus gara-gara itu, aku nabrak orang."
Retha langsung menoleh, gadis itu ngerem mendadak. Membuat kepala Farrel lagi-lagi kejedot.
"Aduh!" ringis Farrel. "Sakit, tau! Udah dibilangin, jangan ngerem mendadak!"
"Farrel, kamu mabuk!" teriak Retha.
"Udah aku bilang, aku nggak mabuk!" kilah Farrel. "Aku cuman pernah mabuk sekali, terus nabrak orang!" balas Farrel tak kalah nyaring.
"Kamu nabrak siapa?!"
"Mau tau aja, atau mau tau banget??" Farrel tertawa. "Rahasia dong."
"Farrel!"
"Apa, sayang?" sahut Farrel. Cowok itu benar-benar kehilangan kesadarannya.
Entah apa yang telah ia makan atau minum, yang jelas Farrel sedang mabuk sekarang. Meskipun anak club, Farrel jarang minum, karena memang tidak kuat.
"Kamu nabrak siapa?!" tanya Retha berapi-api.
"Rahasia dong!" Farrel tertawa lagi. "Pokonya, aku nggak bakalan kasih tau kalau yang aku tabrak itu Mama kamu. Nggak bakal."
Dan, tepat saat itu juga dunia Retha berhenti berputar.