Bab 11
Rasa nyeri dan sakit merasuki tubuh dan kepala Farrel. Cowok itu terbangun, matanya berkunang-kunang, perutnya terasa mual.
Sedikit demi sedikit, pandangannya mulai mendapat pencerahan. Ternyata Farrel terbangun di kamarnya. Tapi, tunggu? Siapa yang membawanya kemari? Seingat Farrel, ia masih berada di dalam mobilnya dan Retha berada di sampingnya. Kepala Farrel sangat sakit, sampai cowok itu lupa apa yang terjadi setelahnya.
"Rel?"
Farrel mengerjap-ngerjapkan matanya, mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya.
"Retha?" gumannya.
"Gue Samudra, bego."
Samudra melangkah, berjalan mendekati sepupunya itu. Yang terjadi setelahnya, Samudra menonjok keras pipi Farrel.
Shock, tentu saja. Baru saja Farrel terbangun dari tidurnya, ia sudah menadapatkan tonjokkan telak di pipinya. Bahkan Farrel tidak tahu apa salahnya.
"Lo apa-apan?!" protes Farrel seraya mengusap-usap pipinya.
"Lo yang apa-apaa?!" bentak Samudra. "Kenapa lo selama ini nggak pernah cerita kalo yang nabrak nyokap Retha itu elo!"
Deg!
Jantung Farrel terasa di tikam seribu jarum. Nafasnya tercekat, tubuhnya tiba-tiba membeku. Semua ini salah!
"Maksud lo apa, Sam?" tanya Farrel tak mengerti.
"Tadi malem, gue sama Vale khawatir sama lo berdua. Gue sebenernya tau kalo lo mabuk, tapi gue sengaja diem, takut Retha marah di sana, di saat lo lagi mabuk. Malah berabe." mulai Samudra menjelaskan.
"Tapi, ternyata, mau gimana pun gue ngelindungin lo dari masalah, kayaknya ini udah takdir." lanjut Samudra lagi.
Farrel mengernyitkan dahinya. "Maksud lo apaan, si? Nggak usah berbelit-belit, elah!" ungkapnya tak sabaran.
"Gue kaget, kenapa tiba-tiba Retha ngerem mendadak. Valerie nekat mau nyamperin lo berdua, tapi gue tahan." Samudra menatap Farrel yang sudah menunggu kelanjutan ceritanya. "Sampe gue ngeliat, Retha tiba-tiba keluar dari mobil dalam keadaan nangis."
"Nangis?" Farrel mengenyitkan dahinya. "Kenapa? Apa yang terjadi, sih? Gue nggak inget apa-apa!"
Samudra menatap aneh ke arah Farrel. "Gue juga sama, bingung. Akhirnya, gue sama Vale nyamperin Retha. Tiba-tiba, Retha meluk Vale, minta di anterin pulang. Akhirnya gue sama Vale misah, karena gue harus nganterin lo yang udah nggak sadar diri."
Farrel masih bergeming. Mencerna cerita Samudra, dan berusaha mengingat apa saja yang ia bicarakan pada Retha hingga membuat gadis itu menangis.
"Dan, barusan Vale telfon gue." Samudra menatap Farrel tajam. "Vale bilang, lo nabrak nyokapnya Retha."
Bahu Farrel terkulai lemas. "Gue?"
"Gue nggak ngerti di mana otak lo, Rel. Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue? Kenapa lo masih ngelanjutin hubungan lo sama Retha, kalo lo tau lo yang udah bikin setengah kebahagiannya hilang?" Samudra berdecih. "Lo licik, Rel."
"Sam, ini semua salah paham!" kilah Farrel. "Bukan gue yang nabrak!"
"Terus siapa?!" tanya Samudra berteriak. "Kalo bukan lo, ngapain lo ngaku ke dia, goblok!"
"Gue mana tau, bangsat!" umpat Farrel kesal.
"Setau gue, orang mabuk nggak pernah bohong." ucap Samudra dan langsung membuat Farrel menatapnya tajam.
"Jadi, lo percaya, kalo gue yang nabrak nyokapnya Retha?!" teriak Farrel.
Samudra mengangguk. "Itu kan, yang bikin mobil kesayangan lo rusak parah?! Lo masuk jurang, tiga hari baru ketemu, gara-gara nabrak nyokap Retha, kan?!"
"Lo nggak tau cerita jelasnya, Sam." Farrel berdalih lemas.
"Gue nggak bakal tau, kalau lo nggak cerita, Rel!" Samudra berdecih. "Sekarang, gue paham kenapa lo trauma sama mobil itu."
"Sam, stop!"
"Apa?!" Samudra begitu kesal dengan sepupunya itu. Masalah sebesar ini, ia sembunyikan dari dirinya?!
"Lo nggak tau yang sebenernya, Sam." Farrel menatap Samudra tajam.
"Kalo gitu, cerita!" titah Samudra kesal.
"Nggak sekarang," Farrel beranjak turun dari kasurnya. "Gue harus ke rumah Retha, gue harus jelasin semuanya."
"Percuma, Rel." cegat Samudra. "She's gone."
"Apaan?! Retha nggak kemana-mana, baru tadi malem gue sama dia!" kesal Farrel karena Samudra menahannya.
"Ck," Samudra berdecak kesal. "Lo itu tidur udah hampir 24 jam, bego! Ini udah jam 8 malem!"
"Hah?" mulut Farrel menganga.
"Lo abis makan apaan, sih? Dokter bilang, lo abis makan/minum sesuatu yang mengandung alkohol dan obat tidur dosis tinggi. Lo bisa mati, sebenernya." jelas Samudra.
Farrel semakin bingung. "Sam, jangan bercanda."
"Lo kira gue ngelawak, bangsat?!" kesalnya.
Tidak perduli, Farrel segera turun dari kasurnya. Masih dengan pakaian lengkap yang ia pakai ke pesta kemarin, Farrel berlari ke bawah, mengambil kunci motornya yang sudah lama sekali tidak ia pakai, karena ia selalu membawa mobil.
***
Motor besar Farrel sudah berhenti tepat di depan pagar rumah Retha. Cowok itu langsung turun, melepaskan helm yang masih melekat di kepalanya.
Kemudian, Farrel berlari, menghampiri pak Bono yang sedang berjaga di posnya sembari menikmati kopi.
"Pak, buka!" teriak Farrel.
Pak Bono terkejut, lantas berlari menghampiri Farrel yang sedang berusaha membuka kunci gerbang.
"Den Farrel, ngapain?" tanya pak Bono bingung. "Tumben kesini jam segini, Den. Biasanya lebih cepet."
"Nggak penting, Pak. Bukain dulu." ucap Farrel tergesa-gesa.
"Bentar, Den. Saya ambil kuncinya dulu." pak Bono berlari lagi ke posnya, kemudian kembali dengan rentetan kunci yang diikat menjadi satu.
Kemudian, pak Bono membuka gemboknya, menarik pagar untuk Farrel masuk. Setelah itu, Farrel langsung nyelonong, lari ke rumah Retha.
"Eh, Den Farrel!" teriak pak Bono yang juga ikut berlari menyusul Farrel.
"Re, buka, Re!" Farrel mengetuk-ngetuk pintu Retha tidak sabaran, berulang kali, bahkan sangat kencang sampai lebih pantas di sebut menggedor. Farrel juga memencet tidak sabaran bel rumah Retha, berulang kali. Namun, tidak ada yang menyahut sama sekali.
"Den...Farrel..." Pak Bono baru datang dengan nafasnya yang terhengal-hengal. "Orang rumah sepi, Den. Tadi siang non Retha pergi ke bandara, mau nyusul papanya ke singapur." jelas pak Bono.
Bahu Farrel terkulai lemas. "Kenapa nggak bilang daritadi, Pak.."
"Belum sempet saya kasih tau, Aden udah lari." kata pak Bono.
"Terus, pulangnya kapan, Pak?" tanya Farrel.
Pak Bono menggelengkan kepalanya. "Saya kurang tau, Den. Tadi Non Retha cuman pamit gitu. Nanti, kalo Non Retha udah pulang, saya kabarin Aden, deh."
Farrel menganggukkan kepalanya. "Kabarin saya secepatnya, Pak. Kalau bapak tau Retha nginep di mana, juga kasih tau saya, ya. Saya mau nyusul aja."
"Siap, Den." ujar pak Bono.
Kemudian, Farrel berjalan lunglai ke depan pagar. Menaikki motor besarnya, dan terdengarlah suara kenalpotnya yang tak kalah besar.
Suara motor itu perlahan menghilang, berganti dengan kemunculan seorang gadis dari balik pintu rumah ber cat abu-abu itu.
"Dia udah pergi, Pak?" tanya gadis itu.
Pak Bono menoleh, dan mengangguk pada majikan kecilnya itu. "Udah, Non. Udah saya bilang sesuai sama yang Non bilang. Tapi, kenapa Non harus bohong sama Den Farrel?"
Retha tersenyum tipis. "Makasih, Pak." ucapnya sebelum ia kembali masuk ke dalam rumahnya.
Rasa nyeri dan sakit merasuki tubuh dan kepala Farrel. Cowok itu terbangun, matanya berkunang-kunang, perutnya terasa mual.
Sedikit demi sedikit, pandangannya mulai mendapat pencerahan. Ternyata Farrel terbangun di kamarnya. Tapi, tunggu? Siapa yang membawanya kemari? Seingat Farrel, ia masih berada di dalam mobilnya dan Retha berada di sampingnya. Kepala Farrel sangat sakit, sampai cowok itu lupa apa yang terjadi setelahnya.
"Rel?"
Farrel mengerjap-ngerjapkan matanya, mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya.
"Retha?" gumannya.
"Gue Samudra, bego."
Samudra melangkah, berjalan mendekati sepupunya itu. Yang terjadi setelahnya, Samudra menonjok keras pipi Farrel.
Shock, tentu saja. Baru saja Farrel terbangun dari tidurnya, ia sudah menadapatkan tonjokkan telak di pipinya. Bahkan Farrel tidak tahu apa salahnya.
"Lo apa-apan?!" protes Farrel seraya mengusap-usap pipinya.
"Lo yang apa-apaa?!" bentak Samudra. "Kenapa lo selama ini nggak pernah cerita kalo yang nabrak nyokap Retha itu elo!"
Deg!
Jantung Farrel terasa di tikam seribu jarum. Nafasnya tercekat, tubuhnya tiba-tiba membeku. Semua ini salah!
"Maksud lo apa, Sam?" tanya Farrel tak mengerti.
"Tadi malem, gue sama Vale khawatir sama lo berdua. Gue sebenernya tau kalo lo mabuk, tapi gue sengaja diem, takut Retha marah di sana, di saat lo lagi mabuk. Malah berabe." mulai Samudra menjelaskan.
"Tapi, ternyata, mau gimana pun gue ngelindungin lo dari masalah, kayaknya ini udah takdir." lanjut Samudra lagi.
Farrel mengernyitkan dahinya. "Maksud lo apaan, si? Nggak usah berbelit-belit, elah!" ungkapnya tak sabaran.
"Gue kaget, kenapa tiba-tiba Retha ngerem mendadak. Valerie nekat mau nyamperin lo berdua, tapi gue tahan." Samudra menatap Farrel yang sudah menunggu kelanjutan ceritanya. "Sampe gue ngeliat, Retha tiba-tiba keluar dari mobil dalam keadaan nangis."
"Nangis?" Farrel mengenyitkan dahinya. "Kenapa? Apa yang terjadi, sih? Gue nggak inget apa-apa!"
Samudra menatap aneh ke arah Farrel. "Gue juga sama, bingung. Akhirnya, gue sama Vale nyamperin Retha. Tiba-tiba, Retha meluk Vale, minta di anterin pulang. Akhirnya gue sama Vale misah, karena gue harus nganterin lo yang udah nggak sadar diri."
Farrel masih bergeming. Mencerna cerita Samudra, dan berusaha mengingat apa saja yang ia bicarakan pada Retha hingga membuat gadis itu menangis.
"Dan, barusan Vale telfon gue." Samudra menatap Farrel tajam. "Vale bilang, lo nabrak nyokapnya Retha."
Bahu Farrel terkulai lemas. "Gue?"
"Gue nggak ngerti di mana otak lo, Rel. Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue? Kenapa lo masih ngelanjutin hubungan lo sama Retha, kalo lo tau lo yang udah bikin setengah kebahagiannya hilang?" Samudra berdecih. "Lo licik, Rel."
"Sam, ini semua salah paham!" kilah Farrel. "Bukan gue yang nabrak!"
"Terus siapa?!" tanya Samudra berteriak. "Kalo bukan lo, ngapain lo ngaku ke dia, goblok!"
"Gue mana tau, bangsat!" umpat Farrel kesal.
"Setau gue, orang mabuk nggak pernah bohong." ucap Samudra dan langsung membuat Farrel menatapnya tajam.
"Jadi, lo percaya, kalo gue yang nabrak nyokapnya Retha?!" teriak Farrel.
Samudra mengangguk. "Itu kan, yang bikin mobil kesayangan lo rusak parah?! Lo masuk jurang, tiga hari baru ketemu, gara-gara nabrak nyokap Retha, kan?!"
"Lo nggak tau cerita jelasnya, Sam." Farrel berdalih lemas.
"Gue nggak bakal tau, kalau lo nggak cerita, Rel!" Samudra berdecih. "Sekarang, gue paham kenapa lo trauma sama mobil itu."
"Sam, stop!"
"Apa?!" Samudra begitu kesal dengan sepupunya itu. Masalah sebesar ini, ia sembunyikan dari dirinya?!
"Lo nggak tau yang sebenernya, Sam." Farrel menatap Samudra tajam.
"Kalo gitu, cerita!" titah Samudra kesal.
"Nggak sekarang," Farrel beranjak turun dari kasurnya. "Gue harus ke rumah Retha, gue harus jelasin semuanya."
"Percuma, Rel." cegat Samudra. "She's gone."
"Apaan?! Retha nggak kemana-mana, baru tadi malem gue sama dia!" kesal Farrel karena Samudra menahannya.
"Ck," Samudra berdecak kesal. "Lo itu tidur udah hampir 24 jam, bego! Ini udah jam 8 malem!"
"Hah?" mulut Farrel menganga.
"Lo abis makan apaan, sih? Dokter bilang, lo abis makan/minum sesuatu yang mengandung alkohol dan obat tidur dosis tinggi. Lo bisa mati, sebenernya." jelas Samudra.
Farrel semakin bingung. "Sam, jangan bercanda."
"Lo kira gue ngelawak, bangsat?!" kesalnya.
Tidak perduli, Farrel segera turun dari kasurnya. Masih dengan pakaian lengkap yang ia pakai ke pesta kemarin, Farrel berlari ke bawah, mengambil kunci motornya yang sudah lama sekali tidak ia pakai, karena ia selalu membawa mobil.
***
Motor besar Farrel sudah berhenti tepat di depan pagar rumah Retha. Cowok itu langsung turun, melepaskan helm yang masih melekat di kepalanya.
Kemudian, Farrel berlari, menghampiri pak Bono yang sedang berjaga di posnya sembari menikmati kopi.
"Pak, buka!" teriak Farrel.
Pak Bono terkejut, lantas berlari menghampiri Farrel yang sedang berusaha membuka kunci gerbang.
"Den Farrel, ngapain?" tanya pak Bono bingung. "Tumben kesini jam segini, Den. Biasanya lebih cepet."
"Nggak penting, Pak. Bukain dulu." ucap Farrel tergesa-gesa.
"Bentar, Den. Saya ambil kuncinya dulu." pak Bono berlari lagi ke posnya, kemudian kembali dengan rentetan kunci yang diikat menjadi satu.
Kemudian, pak Bono membuka gemboknya, menarik pagar untuk Farrel masuk. Setelah itu, Farrel langsung nyelonong, lari ke rumah Retha.
"Eh, Den Farrel!" teriak pak Bono yang juga ikut berlari menyusul Farrel.
"Re, buka, Re!" Farrel mengetuk-ngetuk pintu Retha tidak sabaran, berulang kali, bahkan sangat kencang sampai lebih pantas di sebut menggedor. Farrel juga memencet tidak sabaran bel rumah Retha, berulang kali. Namun, tidak ada yang menyahut sama sekali.
"Den...Farrel..." Pak Bono baru datang dengan nafasnya yang terhengal-hengal. "Orang rumah sepi, Den. Tadi siang non Retha pergi ke bandara, mau nyusul papanya ke singapur." jelas pak Bono.
Bahu Farrel terkulai lemas. "Kenapa nggak bilang daritadi, Pak.."
"Belum sempet saya kasih tau, Aden udah lari." kata pak Bono.
"Terus, pulangnya kapan, Pak?" tanya Farrel.
Pak Bono menggelengkan kepalanya. "Saya kurang tau, Den. Tadi Non Retha cuman pamit gitu. Nanti, kalo Non Retha udah pulang, saya kabarin Aden, deh."
Farrel menganggukkan kepalanya. "Kabarin saya secepatnya, Pak. Kalau bapak tau Retha nginep di mana, juga kasih tau saya, ya. Saya mau nyusul aja."
"Siap, Den." ujar pak Bono.
Kemudian, Farrel berjalan lunglai ke depan pagar. Menaikki motor besarnya, dan terdengarlah suara kenalpotnya yang tak kalah besar.
Suara motor itu perlahan menghilang, berganti dengan kemunculan seorang gadis dari balik pintu rumah ber cat abu-abu itu.
"Dia udah pergi, Pak?" tanya gadis itu.
Pak Bono menoleh, dan mengangguk pada majikan kecilnya itu. "Udah, Non. Udah saya bilang sesuai sama yang Non bilang. Tapi, kenapa Non harus bohong sama Den Farrel?"
Retha tersenyum tipis. "Makasih, Pak." ucapnya sebelum ia kembali masuk ke dalam rumahnya.
Rasa nyeri dan sakit merasuki tubuh dan kepala Farrel. Cowok itu terbangun, matanya berkunang-kunang, perutnya terasa mual.
Sedikit demi sedikit, pandangannya mulai mendapat pencerahan. Ternyata Farrel terbangun di kamarnya. Tapi, tunggu? Siapa yang membawanya kemari? Seingat Farrel, ia masih berada di dalam mobilnya dan Retha berada di sampingnya. Kepala Farrel sangat sakit, sampai cowok itu lupa apa yang terjadi setelahnya.
"Rel?"
Farrel mengerjap-ngerjapkan matanya, mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya.
"Retha?" gumannya.
"Gue Samudra, bego."
Samudra melangkah, berjalan mendekati sepupunya itu. Yang terjadi setelahnya, Samudra menonjok keras pipi Farrel.
Shock, tentu saja. Baru saja Farrel terbangun dari tidurnya, ia sudah menadapatkan tonjokkan telak di pipinya. Bahkan Farrel tidak tahu apa salahnya.
"Lo apa-apan?!" protes Farrel seraya mengusap-usap pipinya.
"Lo yang apa-apaa?!" bentak Samudra. "Kenapa lo selama ini nggak pernah cerita kalo yang nabrak nyokap Retha itu elo!"
Deg!
Jantung Farrel terasa di tikam seribu jarum. Nafasnya tercekat, tubuhnya tiba-tiba membeku. Semua ini salah!
"Maksud lo apa, Sam?" tanya Farrel tak mengerti.
"Tadi malem, gue sama Vale khawatir sama lo berdua. Gue sebenernya tau kalo lo mabuk, tapi gue sengaja diem, takut Retha marah di sana, di saat lo lagi mabuk. Malah berabe." mulai Samudra menjelaskan.
"Tapi, ternyata, mau gimana pun gue ngelindungin lo dari masalah, kayaknya ini udah takdir." lanjut Samudra lagi.
Farrel mengernyitkan dahinya. "Maksud lo apaan, si? Nggak usah berbelit-belit, elah!" ungkapnya tak sabaran.
"Gue kaget, kenapa tiba-tiba Retha ngerem mendadak. Valerie nekat mau nyamperin lo berdua, tapi gue tahan." Samudra menatap Farrel yang sudah menunggu kelanjutan ceritanya. "Sampe gue ngeliat, Retha tiba-tiba keluar dari mobil dalam keadaan nangis."
"Nangis?" Farrel mengenyitkan dahinya. "Kenapa? Apa yang terjadi, sih? Gue nggak inget apa-apa!"
Samudra menatap aneh ke arah Farrel. "Gue juga sama, bingung. Akhirnya, gue sama Vale nyamperin Retha. Tiba-tiba, Retha meluk Vale, minta di anterin pulang. Akhirnya gue sama Vale misah, karena gue harus nganterin lo yang udah nggak sadar diri."
Farrel masih bergeming. Mencerna cerita Samudra, dan berusaha mengingat apa saja yang ia bicarakan pada Retha hingga membuat gadis itu menangis.
"Dan, barusan Vale telfon gue." Samudra menatap Farrel tajam. "Vale bilang, lo nabrak nyokapnya Retha."
Bahu Farrel terkulai lemas. "Gue?"
"Gue nggak ngerti di mana otak lo, Rel. Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue? Kenapa lo masih ngelanjutin hubungan lo sama Retha, kalo lo tau lo yang udah bikin setengah kebahagiannya hilang?" Samudra berdecih. "Lo licik, Rel."
"Sam, ini semua salah paham!" kilah Farrel. "Bukan gue yang nabrak!"
"Terus siapa?!" tanya Samudra berteriak. "Kalo bukan lo, ngapain lo ngaku ke dia, goblok!"
"Gue mana tau, bangsat!" umpat Farrel kesal.
"Setau gue, orang mabuk nggak pernah bohong." ucap Samudra dan langsung membuat Farrel menatapnya tajam.
"Jadi, lo percaya, kalo gue yang nabrak nyokapnya Retha?!" teriak Farrel.
Samudra mengangguk. "Itu kan, yang bikin mobil kesayangan lo rusak parah?! Lo masuk jurang, tiga hari baru ketemu, gara-gara nabrak nyokap Retha, kan?!"
"Lo nggak tau cerita jelasnya, Sam." Farrel berdalih lemas.
"Gue nggak bakal tau, kalau lo nggak cerita, Rel!" Samudra berdecih. "Sekarang, gue paham kenapa lo trauma sama mobil itu."
"Sam, stop!"
"Apa?!" Samudra begitu kesal dengan sepupunya itu. Masalah sebesar ini, ia sembunyikan dari dirinya?!
"Lo nggak tau yang sebenernya, Sam." Farrel menatap Samudra tajam.
"Kalo gitu, cerita!" titah Samudra kesal.
"Nggak sekarang," Farrel beranjak turun dari kasurnya. "Gue harus ke rumah Retha, gue harus jelasin semuanya."
"Percuma, Rel." cegat Samudra. "She's gone."
"Apaan?! Retha nggak kemana-mana, baru tadi malem gue sama dia!" kesal Farrel karena Samudra menahannya.
"Ck," Samudra berdecak kesal. "Lo itu tidur udah hampir 24 jam, bego! Ini udah jam 8 malem!"
"Hah?" mulut Farrel menganga.
"Lo abis makan apaan, sih? Dokter bilang, lo abis makan/minum sesuatu yang mengandung alkohol dan obat tidur dosis tinggi. Lo bisa mati, sebenernya." jelas Samudra.
Farrel semakin bingung. "Sam, jangan bercanda."
"Lo kira gue ngelawak, bangsat?!" kesalnya.
Tidak perduli, Farrel segera turun dari kasurnya. Masih dengan pakaian lengkap yang ia pakai ke pesta kemarin, Farrel berlari ke bawah, mengambil kunci motornya yang sudah lama sekali tidak ia pakai, karena ia selalu membawa mobil.
***
Motor besar Farrel sudah berhenti tepat di depan pagar rumah Retha. Cowok itu langsung turun, melepaskan helm yang masih melekat di kepalanya.
Kemudian, Farrel berlari, menghampiri pak Bono yang sedang berjaga di posnya sembari menikmati kopi.
"Pak, buka!" teriak Farrel.
Pak Bono terkejut, lantas berlari menghampiri Farrel yang sedang berusaha membuka kunci gerbang.
"Den Farrel, ngapain?" tanya pak Bono bingung. "Tumben kesini jam segini, Den. Biasanya lebih cepet."
"Nggak penting, Pak. Bukain dulu." ucap Farrel tergesa-gesa.
"Bentar, Den. Saya ambil kuncinya dulu." pak Bono berlari lagi ke posnya, kemudian kembali dengan rentetan kunci yang diikat menjadi satu.
Kemudian, pak Bono membuka gemboknya, menarik pagar untuk Farrel masuk. Setelah itu, Farrel langsung nyelonong, lari ke rumah Retha.
"Eh, Den Farrel!" teriak pak Bono yang juga ikut berlari menyusul Farrel.
"Re, buka, Re!" Farrel mengetuk-ngetuk pintu Retha tidak sabaran, berulang kali, bahkan sangat kencang sampai lebih pantas di sebut menggedor. Farrel juga memencet tidak sabaran bel rumah Retha, berulang kali. Namun, tidak ada yang menyahut sama sekali.
"Den...Farrel..." Pak Bono baru datang dengan nafasnya yang terhengal-hengal. "Orang rumah sepi, Den. Tadi siang non Retha pergi ke bandara, mau nyusul papanya ke singapur." jelas pak Bono.
Bahu Farrel terkulai lemas. "Kenapa nggak bilang daritadi, Pak.."
"Belum sempet saya kasih tau, Aden udah lari." kata pak Bono.
"Terus, pulangnya kapan, Pak?" tanya Farrel.
Pak Bono menggelengkan kepalanya. "Saya kurang tau, Den. Tadi Non Retha cuman pamit gitu. Nanti, kalo Non Retha udah pulang, saya kabarin Aden, deh."
Farrel menganggukkan kepalanya. "Kabarin saya secepatnya, Pak. Kalau bapak tau Retha nginep di mana, juga kasih tau saya, ya. Saya mau nyusul aja."
"Siap, Den." ujar pak Bono.
Kemudian, Farrel berjalan lunglai ke depan pagar. Menaikki motor besarnya, dan terdengarlah suara kenalpotnya yang tak kalah besar.
Suara motor itu perlahan menghilang, berganti dengan kemunculan seorang gadis dari balik pintu rumah ber cat abu-abu itu.
"Dia udah pergi, Pak?" tanya gadis itu.
Pak Bono menoleh, dan mengangguk pada majikan kecilnya itu. "Udah, Non. Udah saya bilang sesuai sama yang Non bilang. Tapi, kenapa Non harus bohong sama Den Farrel?"
Retha tersenyum tipis. "Makasih, Pak." ucapnya sebelum ia kembali masuk ke dalam rumahnya.