Bab 06. Kabar Yang Menghentak
Kantin sekolah ramai dengan hilai tawa dan suara percakapan siswa yang saling berbagi cerita. Nila dan Tessa duduk di sudut dekat jendela, berbagi camilan dan secangkir Minuman. Walau Nila berusaha untuk bersikap santai, ia tidak bisa menutupi rasa kehilangan yang masih menggelayut di hatinya karena kedekatannya dengan Bim yang semakin menjauh. Tessa, sahabat karibnya, mencoba menghibur.
“Nila, kamu harus coba untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Bim hanya butuh waktu,” ucap Tessa sembari mengunyah keripik.
“Iya, tapi aku merasa ada sesuatu yang hilang. Kami sudah dekat, tiba-tiba semua ini terjadi. Rasanya aneh,” jawab Nila.
Namun, suasana damai itu tiba-tiba terganggu ketika Andi, sahabat kental Bim, mendatangi meja mereka dengan ekspresi serius. Tessa yang melihat kedatangan Andi langsung merasakan ada yang tidak beres.
“Andi! Kamu kelihatan tidak baik?” tanya Tessa sedikit cemas.
Andi menyilangkan tangan di dada dan menatap Nila tajam. “Aku ingin bicara denganmu, Nila. Sekarang,” ujarnya, nada suaranya menunjukkan bahwa ini bukan sekadar obrolan santai.
Nila saling tatap dengan Tessa sebelum beralih kembali kepada Andi. “Eh, ada apa, Andi?” tanyanya mencoba bersikap tenang meski hatinya berdebar.
“Dengar, aku nggak mau berlama-lama dengan rahasia ini. Kau tahu kan bahwa Bim dan aku sudah berteman sejak kecil? Aku tidak suka kalau ada orang yang berusaha mencampuri urusan Bim, dan aku merasa kamu tidak pantas untuknya.”
Nila terkejut. “Apa maksudmu? Aku tidak mencoba mencampuri hidup Bim.”
Andi mendengus. “Kamu tahu kan, dia terkenal dengan kesederhanaan dan ketulusan hatinya. Dan dengan kamu yang berasal dari keluarga kaya, semua orang akan mengatakan dia sebagai benalu. Kau tidak bisa membiarkan orang-orang berpendapat seperti itu tentang dia.”
Tessa ikut berpartisipasi, “Andi, itu tidak adil! Nila tidak melakukan apa-apa untuk membuat Bim terlihat seperti itu. Kenapa kamu harus memandangnya seperti itu hanya karena latar belakang keluarganya?”
Andi melirik Tessa dan menggelengkan kepalanya. “Sangat mudah bagimu untuk berbicara, Tessa. Kau tidak tahu bagaimana perasaan Bim saat ini. Dia sedang berjuang melawan berbagai gosip yang tidak adil. Jika kamu adalah Nila, kamu harus menjauh, agar tidak semakin memperburuk keadaan.”
Nila mencoba menahan emosinya. “Andi, aku tidak mendekati Bim karena status sosialnya. Aku menyukai Bim karena dia adalah dia. Dia baik, cerdas, dan aku merasa nyaman bersamanya.”
“Sekali lagi, nggak usah memperdebatkannya. Apa kau benar-benar peduli padanya? Kenapa kamu tidak menghormati keinginan Bim untuk menjauh sejenak?” tanya Andi, seraya mengerucutkan bibirnya seolah memandang Nila rendah.
Nila merasa tertekan dengan serangan Andi. “Andi, kalau pun Bim mau waktu sendiri, bukan berarti aku harus menjauh selamanya! Aku hanya ingin mendukungnya seperti teman lainnya,” jawab Nila, suaranya mulai bergetar.
“Kau bisa bilang itu, tapi kenyataannya, kau hanya memicu lebih banyak masalah. Berhentilah berusaha mendekatinya! Itu demi kebaikan Bim. Dia tidak butuh tekanan lebih banyak dari sekelilingnya,” Andi memperingatkan, suaranya keras.
Melihat konfrontasi ini, Tessa tidak bisa diam. “Andi, apa kamu memang peduli pada sahabatmu atau justru ingin melindungi ego mu sendiri? Nila hanya ingin menjadi teman. Itu tidak berarti dia ingin menggunakan Bim. Bagaimana kalau kalian berbicara dengan cara yang baik?”
Tapi Andi menegangkan rahangnya, tidak mau mendengarkan. “Cukup! Ini bukan hanya tentang Bim. Ini tentang bagaimana orang lain melihatnya. Dia bukan benalu, dan aku tidak ingin ada asumsi negatif tentangnya karena kamu,” katanya tajam.
Nila menatap Andi, merasa hatinya semakin berat. “Aku tidak mau berdebat lebih jauh. Jika kamu merasa aku adalah ancaman bagi Bim, aku akan mundur. Tapi aku akan menunggu di sini jika dia butuh seseorang,” Nila berkata tegas, berusaha menunjukkan ketegasannya.
Andi mengangguk, meski dengan nada keras. “Itu yang seharusnya kamu lakukan—jauhkan diri dari hidupnya. Ingat, Bim adalah teman sejati dan dia berhak untuk merasa nyaman.”
Dengan itu, Andi membalikkan badan dan meninggalkan mereka berdua, meninggalkan ketegangan di udara. Tessa dan Nila saling tatap. “Maaf, Nila. Seharusnya Andi tidak bersikap seperti itu. Dia hanya… sangat protektif pada Bim,” Tessa mencoba menjelaskan.
Nila mendesah, “Tak apa, Tessa. Aku tahu dia sahabat Bim, tapi itu tidak memberikan hak padanya untuk menghakimi aku. Aku harap Bim bisa mengerti aku dan situasi ini. Tapi kalau dia memang lebih memilih untuk menjauh, maka aku akan memberi ruang.”
“Gimana pun, kamu tetap berhak untuk bahagia tanpa harus merasa tertekan oleh orang lain,” ucap Tessa sambil menggenggam tangan Nila.
Nila mengangguk, meski hatinya masih berat. Keduanya hanya bisa melanjutkan hari itu dengan pikiran yang penuh kebingungan. Harapan untuk bisa mendekati Bim masih ada, tetapi situasi yang terus memburuk membuat segalanya terasa semakin sulit. Apakah Bim akan mampu melihat ketulusan Nila di tengah kebisingan gosip dan penilaian? Waktu akan menjawab semua itu.
Hari itu, cuaca di luar terasa cerah, tetapi atmosfir di dalam sekolah sangat berbeda. Nila dan Tessa duduk di bangku mereka, mengobrol sambil melihat ke sekeliling. Sudah seminggu lebih Bim tidak masuk sekolah, dan suasana hati Nila semakin menggelisahkan. Bel ding-dong pertanda jam masuk kelas berbunyi, namun bayangan Bim justru tidak ada di mana pun.
“Tessa, menurutmu Bim kenapa ya sampai tidak masuk sekolah sekian lama?” tanya Nila dengan nada cemas.
“Aku juga tidak tahu, Nila. Dia bahkan tidak memberi kabar pada Andi. Mungkin dia butuh waktu sendiri,” jawab Tessa sambil mengacak rambutnya, gelisah.
Tiba-tiba, seorang teman sekelas mengabarkan berita yang mengejutkan. “Eh, kalian sudah dengar belum? Katanya Bim mau pindah sekolah!”
Langkah Nila seperti berhenti sejenak. “Apa? Pindah sekolah? Dari mana kamu tahu itu?” dia bertanya cepat.
“Dari Andi. Dia mendengar langsung dari pembimbing konseling,” jawab temannya.
Nila langsung menatap Tessa, kekhawatiran di matanya terlihat jelas. “Kita harus mencari Andi,” ucapnya, lalu mereka bergegas ke bangku Andi yang terletak di sudut kantin.
Sesampainya di sana, Nila melihat Andi sedang duduk sendirian, wajahnya terlihat murung. “Andi!” panggil Nila sekaligus Tessa.
Andi mendongak dan terkejut melihat mereka. “Kalian?” suaranya mencerminkan kebingungan.
“Nggak ada waktu untuk berdebat. Kami perlu tahu tentang Bim. Benarkah dia mau pindah sekolah?” tanya Nila tanpa bertele-tele.
Andi menggelengkan kepalanya. “Aku juga baru dengar informasi itu. Sudah seminggu dia tidak masuk, dan aku pun tidak bisa menghubunginya. Aku pergi ke rumah kontrakannya, tapi keluarganya tidak ada. Semua terasa aneh.”
Tessa yang ikut mendengar merasa putus asa. “Kalau dia pindah, kenapa keluarga Bim tidak memberi tahu kami? Kenapa tidak ada yang menghubungi kita?”
Nila mulai merasakan ketakutan yang mendalam. “Kita tidak bisa hanya menunggu. Kita harus mencari tahu. Mari kita pergi ke ruang guru!”
Mereka bertiga segera beranjak dari kantin dan melangkah cepat ke ruang guru. Setibanya di sana, mereka mendapati kepala sekolah, Bu Ratna, sedang berbicara dengan seorang guru lainnya.
“Permisi, Bu Ratna. Apa boleh kami bertanya?” Nila memberanikan diri untuk memanggil perhatian Bu Ratna.
Bu Ratna menoleh. “Oh, Nila! Ada apa? Kenapa kalian semua terlihat cemas?”
Andi yang berdiri di samping Nila melanjutkan, “Kami mencari tahu tentang Bim. Katanya dia mau pindah sekolah, tapi kami tidak tahu pasti kenapa dan ke mana.”
Bu Ratna terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kami belum menerima berita resmi tentang kepindahan Bim. Namun, saya sudah mendengar rumor itu dari beberapa siswa. Saya juga mencoba menghubungi orang tua Bim, tetapi hingga kini belum ada yang merespons.”
Tessa merasakan kepanikan. “Tapi, Bu. Dia sudah tidak masuk sekolah selama seminggu. Apa tidak ada cara lain untuk mencari tahu kejelasan tentang keadaannya?”
Mendengar suara Tessa, Bu Ratna mengangguk dengan penuh pengertian. “Saya akan coba untuk menghubungi kontak yang ada. Namun, sepertinya keluarga Bim sedang mengalami masalah.”
Andi menambahkan, “Tapi kenapa mereka tidak memberi tahu kami? Bim pasti merasa sendirian dan bingung berurusan semua ini.”
Bu Ratna menghela napas. “Kadang, situasi di rumah tidak bisa dibagikan secara terbuka. Kami sebagai sekolah hanya bisa berharap yang terbaik untuk semua siswa kami. Jika ada perkembangan informasi, saya akan beri tahu kalian.”
Sebelum mereka pergi, Nila memutuskan untuk berbicara sejenak lagi dengan Bu Ratna. “Ibu, jika memang ada cara untuk membantu Bim, kami ingin terlibat. Dia teman kami, dan kami tidak ingin kehilangan dia begitu saja.”
Bu Ratna tersenyum tipis. “Itu adalah sikap yang mulia. Jika pun ada yang bisa dilakukan, saya akan menghubungi kalian. Sementara itu, jangan menyebarkan rumor yang belum tentu kebenarannya.”
Mereka bertiga meninggalkan ruang guru dengan perasaan lebih berat. “Sepertinya kita memang perlu mencari Bim sendiri. Kita harus fokus menemukan jejaknya,” Nila berujar, semangatnya kembali bangkit meski tanpa arah.
“Saya akan coba mencari informasi lebih lanjut di sekitar lingkungan tempat tinggalnya,” kata Andi, tampak lebih bersemangat.
“Baik. Kami akan datang bersamamu, Andi,” Tessa merespons. “Karena kita harus mencari Bim. Kita berutang pada persahabatan untuk mencari jawabannya.”
Dengan tekad yang baru, mereka semua merancang rencana untuk mencari Bim, berharap agar semua bisa terpecahkan dengan cepat. Kegelisahan yang menyelimuti hati mereka menjadikan setiap langkah terasa penting. Di depan, masalah sepertinya semakin rumit, tetapi persahabatan dan kepedulian akan menjadi pemandu.
*****