Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 05. Gosip Tak Sedap

Hari-hari di sekolah kembali normal setelah insiden mogok mobil. Namun, suasana di kelas Nila tiba-tiba berubah. Beberapa cowok, yang merasa cemburu dengan popularitas Bim di kalangan cewek, mulai merencanakan sesuatu. Mereka tidak suka melihat perhatian lebih yang diterima Bim, terutama dari para gadis yang mendukungnya.

Di sudut kelas, sekelompok cowok Ardi, Joko, dan Rizki duduk sambil memperbincangkan Bim dengan nada penuh ejekan.

“Lihat Bim, deh. Sekarang semua cewek berpikir dia adalah pahlawan,” sindir Ardi, sambil menyeringai. “Gara-gara dia nolong Nila kemarin, kayaknya dia jadi semakin baik di mata mereka.”

“Memang! Harusnya kita bikin sesuatu biar dia nggak merasa sambutan hangat gitu,” Joko menambahkan, terlihat bersemangat.

“Aku punya ide! Kita bisa mulai gosip kalau Bim itu sebenarnya alat penipu atau pengkhianat. Mungkin bisa kita bilang dia pakai cara curang untuk dapat perhatian cewek,” Rizki memberikan saran, seakan sudah merencanakan semuanya.

“Bagus! Mari kita sebar gosip dan lihat apa yang terjadi. Kita lihat apakah dia tetap santai ketika semua orang membicarakannya,” Ardi setuju, tertawa kecil dengan rencana mereka.

Sementara itu, di sisi lain ruang kelas, Nila dan beberapa temannya sedang berbincang dan tak menyadari apa yang terjadi. Sehari-hari, Nila lebih sering berbicara dengan Bim. Dia sangat menghargai sikap tenang Bim dan kepintarannya.

“Aku penasaran bagaimana teknik yang dia gunakan untuk memperbaiki mobilku kemarin,” Nila mengungkapkan.

“Dia memang keren, Nila! Semua cewek di kelas sebenarnya baper sama dia,” sahut Tia, salah satu teman Nila.

Kembali ke kelompok cowok, beberapa saat kemudian mereka mulai menyebarkan gosip. “Eh, kalian tahu? Sebenarnya Bim itu, ya, bukan pahlawan kayak yang kalian kira. Dia cuma pamer supaya cewek-cewek suka sama dia!” Joko berseru, mencoba menggugah perhatian teman-temannya yang lain.

Beberapa siswa mulai tertarik dan berhenti dari aktivitas mereka, menengok ke arah kelompok mereka.

“Serius? Kenapa kalian bilang gitu?” tanya Dhan, penasaran.

“Iya! Ibu Bim pernah ngomong kalau dia sering banget nyoba memperlihatkan diri di depan cewek. Nggak heran deh sekarang cewek-cewek pada ngejar dia,” Rizki menambahkan, menebar kebohongan.

“Sungguh? Kayaknya kita harus menggali lebih dalam tentang hal ini,” suara lain di antara mereka terdengar.

Di tengah keributan itu, Bim masuk ke kelas. Dia tidak menyadari apa yang sedang dibicarakan. Dengan santai, dia menyapa teman-teman sekelasnya.

“Selamat pagi, semua! Ada PR yang belum dikumpulkan?” sambil menaruh buku ke mejanya.

Melihat Bim yang tak terpengaruh, Ardi berusaha meningkatkan volume suaranya, “Bim, oh Bim! Dengar-dengar, kamu itu suka pamer ya? Apa benar semua itu demi dapat perhatian cewek-cewek?”

Bim menoleh, menyadari semua mata tertuju padanya. Dia mengangkat alis, tapi tidak menunjukkan emosi apa pun.

“Pamer? Nggak ada waktu untuk itu, Ardi. Sementara itu, yang mana yang kamu anggap pamer? Menolong teman? Atau karena beberapa cewek senang pada kebodohan kalian?” Bim menjawab dengan nada santai, langsung membuat beberapa teman sekelas terkekeh.

“Dia merasa keren, padahal semua itu cuma akal-akalan!” Ardi berusaha membalikkan situasi.

“Aku sih hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Tak ada yang bisa menghentikanku bertindak baik justru karena mereka berpikir aku ingin cari perhatian,” Bim menjawab seraya tersenyum, menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap gosip yang tersebar.

Mendengar jawaban Bim, beberapa cowok semakin kesal. “Kau memang tidak peduli, ya? Pasti itu bagian dari rencana bodoh yang hanya untuk mendapatkan simpati,” Rizki menggedor meja, frustrasi.

“Bisa jadi. Tapi apa yang jelas, aku nggak mau menghabiskan waktu untuk memperdebatkan hal yang tidak bermanfaat. Aku lebih suka menjadi diriku dan melakukan apa yang aku yakini benar,” Bim menjawab sewajarnya sambil mengabaikan mereka.

Nila yang memperhatikan dari jauh merasa bangga kepada Bim. Dia tahu betapa pentingnya bersikap baik, dan Bim kembali menunjukkan kedewasaan yang membuatnya semakin kagum. Meskipun banyak yang berusaha menjatuhkannya, Bim tetap berdiri teguh dan kuat.

Setelah mengamati situasi yang terjadi, Nila dan teman-temannya berbisik satu sama lain. “Gosip-gosip kayak gini sih, nggak ada pengaruhnya sama Bim. Dia tetap cool dan tenang,” komentar Tia.

Satu per satu teman Bim dan Nila mulai melihat bahwa gosip yang disebar hanya menciptakan suasana keraguan dan permusuhan, sedangkan Bim tetap pada prinsipnya. Nila bertekad untuk mendukung Bim lebih kuat lagi dan berbicara kepada teman-temannya tentang pentingnya bersatu, tanpa membiarkan gosip yang tidak berdasar mengganggu kehidupan mereka.

Sementara itu, di pojok kelas, Ardi dan teman-temannya semakin frustrasi. Lihatlah, semua yang mereka rencanakan justru kembali menghantam mereka. “Satu cara kita untuk menghentikannya adalah dengan membuat Bim merasa tidak nyaman,” Rizki berbisik.

“Tapi dia justru semakin menarik perhatian karena semua ini,” balas Joko. “Kita butuh strategi lain. Jangan sampai kita kelihatan bodoh sendiri.”

Dalam permainan sour grapes ini, Bim tetap menjadi pemenang, tidak peduli apa pun kata mereka. Ketenangan dan ketulusan Bim menjadikannya sosok yang diidamkan, dan di sinilah tantangan baru bagi penyebar gosip akan dimulai.

Hari-hari di kelas Nila terasa aneh. Setelah gosip yang menyebar tentang Bim, suasana di sekolah semakin tak nyaman. Nila, yang sebelumnya tidak pernah merasa ragu untuk mendekati Bim, kini merasakan adanya jarak di antara mereka. Bim yang biasanya ramah dan terbuka seolah menghindar, menjaga dinding pemisah antara mereka. Nila berusaha mencerna sikap Bim yang seperti itu.

Suatu sore, saat jam istirahat, Nila mengambil keputusan untuk mencoba mendekati Bim. Dia melihat Bim duduk sendirian di sudut ruangan, fokus pada buku yang sedang dibacanya. Dengan rasa percaya diri dan sedikit rasa cemas, Nila menghampiri.

“Bim, bolehkah aku duduk di sini?” tanyanya, tersenyum berharap.

Bim mengangkat wajahnya, ada keraguan sejenak di matanya. “Oh, ya. Silakan, Nila,” jawabnya dengan suara datar.

Nila memperhatikan Bim, merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Dia pun langsung mencoba memecah kebekuan.

“Aku baru saja mendengar komentar lucu tentang kita dari teman-teman. Mereka bilang kita adalah pasangan yang paling cocok,” ucap Nila sambil tertawa kecil, berharap Bim akan ikut tersenyum.

Bim menyunggingkan senyum tipis, tetapi tidak ada gelak tawa menyertainya. “Yah, itu hanya gosip. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kita teman, kan?” matanya kembali terpaku pada bukunya.

Nila merasa sedikit tersentak dengan jawaban itu. Ada nada dingin dalam suara Bim yang membuat hati Nila sedikit bergetar.

“Iya… Tapi, aku merasa kita bisa lebih dekat. Kenapa kamu menjauh?” Hatinya bergetar ketika mengungkapkan perasaannya.

“Aku… ulangi lagi, kita adalah teman. Aku tidak ingin terjebak dalam drama percintaan.” Bim menjawab, suaranya tetap netral. “Gosip itu bikin semuanya jadi rumit, Nila. Malah bikin aku ingin menjaga jarak.”

Nila merasakan seolah dinding yang tinggi berdiri di antara mereka. “Tapi, kita kan sudah dekat sebelumnya. Aku cuma ingin berbicara dan mendukungmu,” Nila mencoba meyakinkan.

Bim menghela napas. “Aku menghargai itu, tapi aku butuh waktu sendiri. Sekarang semua orang membicarakan aku, dan aku tidak mau mengundang masalah baru.”

“Bim, kamu tidak perlu sendirian. Aku di sini, dan aku siap membantu!” Nila mendorong, ingin mendekatkan lagi hubungan mereka.

“Bukan itu. Ini bukan hanya tentang masalah atau bantuan. Aku khawatir jika kita terlalu dekat, akan ada lebih banyak gosip yang beredar. Itu sesuatu yang aku ingin hindari sementara ini,” Bim menjelaskan, suaranya mulai terdengar sedikit lebih tegas. “Maaf, Nila. Aku butuh ruang.”

Kekecewaan melanda hati Nila. Keringat dingin mengalir di punggungnya, dan dia merasa terjebak dalam keheningan.

“Aku mengerti. Tapi itu bikin aku merasa kamu semakin menjauh,” Nila merendah, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa sakitnya hatinya.

“Bukan maksudku untuk menyakiti perasaanmu. Aku hanya... butuh waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Mungkin ini saat yang tepat untuk kita berfokus pada diri masing-masing,” Bim menekankan, tetapi di matanya Nila bisa melihat kilasan kesedihan.

Nila mencoba menahan air mata, “Aku tidak ingin kehilanganmu masing-masing. Sepertinya semuanya hancur dengan cepat.”

Bim menatapnya, dan untuk sesaat, kelihatannya dia merasa bersalah. “Aku juga tidak ingin kita kehilangan ikatan ini. Tapi lebih baik kita menjaga jarak untuk sementara. Siapa tahu, saat keadaan lebih tenang, kita bisa berbicara lagi.”

Nila mengangguk, berusaha tegar meski hatinya patah. “Baiklah. Aku akan memberi kamu ruang. Tapi ingat, aku di sini jika kamu butuh seseorang, ya?”

Bim tersenyum teduh, “Terima kasih, Nila. Aku menghargainya. Harap mengerti, ini sulit untukku juga.”

Nila berdiri, mengalihkan pandangannya dari Bim. “Semoga semuanya cepat berlalu, dan kita bisa kembali seperti dulu.” Dia mengambil langkah mundur, merasa seolah bagian dari dirinya hilang bersamaan dengan kepergian Bim.

Ketika Nila pergi, Bim menyaksikannya dengan rasa bersalah yang mendalam. Dia tahu bahwa menjaga jarak ini mungkin praktik yang paling bijaksana, tetapi perasaannya terhadap Nila semakin membingungkan.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan keheningan yang tak nyaman. Bim berusaha fokus pada studinya dan berusaha menghindari percakapan tentang gosip yang menyebar, tetapi hatinya tetap bertanya-tanya tentang Nila.

Sementara itu, Nila merindukan kehadiran Bim, merindu tawa dan saat-saat tanpa beban seperti biasanya. Satu-satunya penghiburan yang tersisa adalah harapan bahwa situasi ini akan segera membaik.

Sangat jelas, sebuah jarak yang diciptakan oleh gosip dan ketidakpastian ini menandai satu fase baru dalam hubungan mereka, sebuah perjalanan yang penuh rintangan sebelum kedamaian dapat ditemukan kembali.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel