Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 04. Di Tengah Kemacetan

Hari itu, Nila baru saja selesai sekolah dan bergegas pulang. Jalanan kota yang sibuk seringkali membuatnya frustrasi, dan hari itu tidak jauh berbeda. Mobilnya melaju perlahan di tengah kemacetan, dan dia menghitung detik demi detik sambil berharap bisa segera pulang ke rumah. Namun, tiba-tiba, suara berdecit dari mesin mobilnya membuat jantungnya berdegup kencang.

“Gawat! Apa yang terjadi?” gumam Nila sendiri, menekan pedal gas dengan harapan mobilnya bisa melanjutkan perjalanan. Namun, suara aneh itu semakin keras, dan mobilnya bergetar hebat. Tiba-tiba, lampu dashboard berkedip, dan mobilnya mulai melambat. “Oh tidak! Jangan sampai mogok di sini!”

Dengan segera, Nila menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Dia mengerem dengan pelan dan menyalakan lampu darurat. Keluar dari mobil, Nila membuka kap mesin, tetapi tentu saja, dia bukan mekanik dan tidak tahu harus mulai dari mana.

"Kenapa sih, mobil ini? Kenapa harus rusak di tengah jalan seperti ini?" Nila mengeluh dengan nada frustrasi, sambil melihat sekeliling. Kendaraan di belakangnya terus melaju, mengabaikan dirinya yang kesulitan.

Dari kejauhan, Bim yang baru saja melintas dengan motor melihat Nila terlihat cemas di samping mobil. Dia mengenali perempuan yang sering kali dia lihat di kelas. Tanpa berpikir panjang, Bim menghentikan motornya dan mendekat.

"Nila! Ada apa?" Bim bertanya, mengernyitkan dahi saat melihat Nila yang tampak bingung.

"Mobilku rusak! Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja berisik dan kemudian mogok," jawab Nila panik. Dia merasa sedikit lega melihat Bim datang, tetapi juga sedikit malu karena tidak bisa menangani masalah ini sendiri.

Bim membuka kap mobil dan mengintip ke dalam. "Coba nyalakan mesinnya," katanya, nada suaranya tenang.

Nila menyalakan mesin, dan suara berdecit itu kembali muncul. “Dengarkan! Itu suara aneh!” katanya sambil menunjuk.

Bim mendengarkan dengan seksama. "Hmm, sepertinya ada masalah dengan sistem pendingin. Mungkin radiatornya terkena gangguan," jelasnya sambil mengamati lebih dekat.

“Radiator? Itu yang mana?” Nila bertanya, sedikit kebingungan.

"Di bagian depan, sebelah sini," Bim menunjuk sambil berusaha mencari apa yang salah. "Kita perlu mengecek coolant-nya. Mana penasaran, letak tak jauh dari sini."

Nila merasa terpesona melihat Bim bertindak cepat, tahu apa yang harus dilakukan. Dia merasa beruntung bisa mendapatkan bantuan dari Bim. Tanpa ragu, dia menjawab, "Aku tidak memiliki alat apapun di sini."

"Tenang saja. Aku punya beberapa alat di motorku," jawab Bim. Dia bergegas kembali ke motornya, mengambil kunci dan alat lain. “Ini, kamu pegang ini sambil aku buka tutup radiator.”

Setelah beberapa menit bekerja bersama, Bim berhasil menemukan penyebab masalahnya. “Oke, ini dia,” katanya, memegang sebotol coolant yang sudah hampir habis. “Kita perlu mengisinya, dan seharusnya mobil ini bisa normal kembali.”

Nila melihat Bim dengan penuh rasa kagum. "Wow, kamu benar-benar tahu banyak tentang mobil. Aku tidak akan pernah bisa melakukan ini sendiri," pujinya.

Bim tersenyum dan mengisi radiator dengan coolant baru. "Bukan apa-apa, Nila. Anggap saja sebagai hobi," ujarnya sambil tersenyum.

Setelah Bim menyelesaikan perbaikan, dia menyalakan mesin mobil Nila. Suara mesinnya kembali normal, membuat Nila merasa lega dan senang. "Yes! Berhasil!" teriaknya gembira.

"Bagus! Sekarang coba bawa mobil ini jalan pelan-pelan," saran Bim. Nila mengikuti sarannya dengan hati-hati. Saat dia menyetir perlahan, mobilnya melaju lancar.

“Terima kasih banyak, Bim! Kamu benar-benar penyelamat hari ini! Tanpa kamu, entah apa yang terjadi,” Nila berkata, masih sangat berterima kasih.

Bim mengangguk dengan nada ramah, "Tidak masalah! Aku senang bisa membantu.” Lalu dia menambahkan, “Yuk, cepat kembali sebelum kemacetan bertambah parah!”

Nila tersenyum, merasa ada rasa nyaman dan pengertian di antara mereka. Namun, saat itu juga dia menyadari bahwa waktu sudah hampir habis. "Eh, sebelum kamu pergi…"

Tapi saat Nila akan mengucapkan terima kasih lagi, Bim tiba-tiba melirik jam di ponselnya dan berkata, "Aduh, aku harus kembali! Sorry, Nila. Sampai jumpa di kelas!" Dengan cepat, Bim melompat ke atas motornya dan melesat pergi.

Nila hanya bisa berdiri terpaku sejenak, menyaksikan Bim pergi dengan cepat. “Dan dia pergi begitu saja…” Nila bergumam sambil tersenyum. Dalam hatinya, ia merasa sangat beruntung bisa mengenal seseorang seperti Bim, yang tidak hanya tampan dan pintar, tetapi juga memiliki hati yang baik.

Nila kembali ke mobil, merasakan nuansa hangat di dalam hati. Pada saat itu, dia bertekad untuk lebih dekat dengan Bim dan mencoba untuk menunjukkan bahwa dia lebih dari sekadar gadis biasa yang cemburu. Mungkin ada peluang untuk memahami Bim lebih jauh dan menemukan cara untuk mengungkapkan perasaannya di kemudian hari.

Hari itu terasa panjang bagi Nila. Meskipun dia sudah berhasil mengatasi masalah mobilnya dengan bantuan Bim, dia masih merasa sedikit tegang setelah pulang terlambat. Begitu sampai di depan rumah, Nila merasakan debaran jantungnya yang semakin kencang. Dalam hatinya, dia berharap ibunya tidak terlalu cemas.

Ketika Nila berjalan menuju pintu, dia melihat pak satpam yang bertugas di depan rumah langsung membuka pintu. Mungkin beliau sudah melihatnya sejak jauh, sehingga langsung sigap. “Selamat sore, Nila! Apa kabar?” tanya pak satpam, dengan senyuman ramah.

“Selamat sore, Pak! Baik, terima kasih!” jawab Nila sambil tersenyum, tetapi hatinya masih tidak tenang.

Saat Nila melangkah masuk ke dalam rumah, dia melihat ibunya, Mia, berdiri di dekat ruang tamu dengan raut wajah cemas. Ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan sehat, namun terlambat, kekhawatiran itu berpadu dengan ketegangan di wajahnya.

"Nila! Akhirnya kamu pulang! Kenapa telat sekali? Ibu sudah khawatir!" teriak Ibu Mia, langsung menghampiri Nila dan merangkulnya dengan lembut.

Nila, meski merasa sedikit takut, cepat-cepat membungkuk dan mencium tangan ibunya. “Maafkan aku, Bu. Lalu lintas sangat macet, dan... ada masalah dengan mobil.”

Mendengar itu, ekspresi cemas di wajah Ibu Mia semakin jelas. “Mobilmu bermasalah? Apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya, bertanya penuh perhatian.

“Aku baik-baik saja, Bu. Mobilnya mogok di tengah jalan. Aku terpaksa menepikan mobil dan mencari tahu sendiri, tapi aku tidak paham soal mesin,” Nila menjelaskan dengan nada menyesal. Dia menatap wajah ibunya, merasa perlu menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

Ibu Mia menghela napas lega. “Syukurlah kamu tidak terkena masalah lebih serius. Lain kali, jika ada masalah, sebaiknya kamu langsung menelepon ibu atau ayah, ya?”

“Iya, Bu. Aku janji. Tapi tadi aku sangat terburu-buru,” kata Nila, mencoba memberikan alasan. "Oh ya, dan ada yang menolongku."

“Siapa dia? Apakah kamu mengenalnya?” wajah Ibu Mia berbalik serius, seperti seorang ibu yang selalu waspada terhadap orang asing.

“Nggak, bukan orang asing. Dia teman sekelas aku, Bim. Dia lihat aku terjebak dan langsung datangkan bantuan,” Nila menjelaskan, merasa terkesan dengan tindakan Bim.

“Bim, ya? Dia yang sering kamu ceritakan itu? Yang pintar itu?” Ibu Mia tampak sedikit lebih tenang. “Apa dia baik-baik saja? Apakah dia membantu kamu hingga mobilmu kembali normal?”

“Ya, dia sangat baik, Bu! Dia punya banyak pengetahuan tentang mobil. Dia membuka kap mesin dan langsung tahu apa yang rusak. Dia sangat hebat!” Nila menjelaskan dengan satu nada penuh kekaguman.

Ibu Mia tersenyum mendengar cerita putrinya. “Kamu beruntung, sayang. Tidak banyak anak muda yang mau membantu tanpa berpikir panjang. Apa yang akan kamu lakukan jika dia tidak ada di sana?”

Nila menggeleng, “Aku tidak berani membayangkan,” katanya, berusaha meringankan suasana. “Aku shok, Bu! Sekarang aku jadi penasaran. Siapa dia sebenarnya?”

“Cobalah untuk mengenalnya lebih baik, Nila. Namun ingat, tetap berhati-hati. Sekali lagi, sangat bagus dia membantu kamu,” nasihat Ibu Mia.

Nila mengangguk, mencoba merenungkan nasihat ibunya. Dia merasa sedikit lebih tenang saat mendengar kata-kata bijak tersebut. “Kali ini aku akan lebih berhati-hati, Bu. Terima kasih telah khawatir.”

Ibu Mia menyentuh bahu Nila. “Sekarang, jangan lupa untuk makan malam sebelum belajar. Ibu sudah menyiapkan yang kamu suka.”

“Baik, Bu! Aku akan segera ke dapur,” jawab Nila sambil berlari ke dapur, pikiran tentang Bim terus berputar di benaknya.

Sambil menyiapkan makan malam, dia membayangkan wajah Bim yang ramah dan penuh perhatian ketika dia membantu. Bim mungkin hanya teman, tapi Nila merasakan bahwa ekosistem pertemanan mereka bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Keesokan harinya di sekolah, dia bertekad untuk mencari kesempatan berbicara lebih banyak dengan Bim agar bisa menjalin kedekatan lebih dari sekadar teman sekelas.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel