Bab 03. Cerita Tentang Bim
Nila melangkah ke parkiran sekolah dengan langkah ringan, matanya berbinar saat melihat mobil merah menyala yang terparkir dengan anggun. Mobil itu adalah pemberian ayahnya untuk lulus ujian akhir, dan Nila sangat menyukainya.
Dia membuka pintu mobil dengan semangat, duduk di kursi pengemudi, lalu menyalakan mesin. Suara mesin yang halus menggema di sekeliling parkiran, menarik perhatian beberapa teman sekelasnya yang masih berkumpul.
“Wah, Nila! Mobilmu kece banget!” seru Tessa, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
“Thanks, Tessa! Tunggu ya, aku pulang dulu. Kita bisa main main nanti!” Nila menjawab, kemudian meluncur keluar dari area parkir dengan percaya diri, menyusuri jalan menuju komplek perumahan Cempaka di Surabaya.
Setelah beberapa saat, Nila akhirnya tiba di rumah megahnya. Dia turun dari mobil, mengunci pintu, dan melangkah masuk ke dalam rumah yang luas. Aroma masakan ibu menyambutnya, membuat perutnya berkerucut. Tanpa berlama-lama, Nila menuju ruang makan, membuka kulkas, dan mengambil sebuah gelas untuk menuangkan es jus mangga favoritnya.
“Ah, seger!” Nila berkomentar, menikmati setiap tetes jus yang dingin itu.
Saat Nila sedang asyik menikmati jusnya, ibunya, Bu Mia, yang sedang menyiapkan hidangan, memandangnya dengan rasa penasaran. “Nila, bagaimana sekolah hari ini? Ada yang menarik?”
“Sekolah biasa, Bu,” jawab Nila sambil menuangkan jus ke dalam gelasnya, “tapi ada satu orang yang mencolok perhatian.”
“Orang yang mencolok perhatian? Siapa? Kenapa kamu baru ngomong soal orang?” tanya Bu Mia, sambil mengerutkan dahi dan memandang Nila dengan curiga.
“Namanya Bim,” Nila menjawab sambil mengambil kursi dan duduk di meja makan. “Dia cowok di kelas kami. Ganteng, sederhana, dan pintar banget!”
“Ganteng dan pintar?” Bu Mia tertarik, segera menghentikan aktivitasnya. “Ceritakan lebih banyak tentang dia.”
Nila menghirup jusnya dan melanjutkan, “Jadi, Bim itu memang bukan tipe yang mencolok. Dia selalu duduk di depan, fokus penuh di kelas, dan saat pelajaran matematika tadi, dia membantu kita semua. Panjang lebar dia menjelaskan kalkulus. Aku nggak nyangka dia bisa sesmart itu.”
“Jadi kamu terkesan?” tanya Bu Mia, sambil mengangkat alis dan memberi senyuman lembut.
“Bukan cuma terkesan, Bu. Dia juga rendah hati. Biasanya, cowok yang pinter suka pamer, kan? Tapi Bim... dia bener-bener humble.” Nila mulai bersemangat saat menceritakan Bim, matanya berbinar penuh antusiasme. “Tapi ini aneh, kan? Aku yang biasanya nggak pernah ngomong soal cowok, tiba-tiba ngomong tentang dia.”
“Kalau dia baik dan cerdas, kenapa tidak?” Bu Mia mulai melihat sisi positif. “Apakah kamu tertarik padanya?”
“Entahlah, Bu. Mungkin iya.” Nila menggaruk kepalanya, merasa kikuk dengan pertanyaannya sendiri. “Tapi yang lebih bikin aku penasaran, bagaimana dia bisa jadi seperti itu.”
“Cinta itu kadang datang dengan cara yang tidak terduga, Nila. Mungkin ini saatnya kamu membuka hati untuk seseorang yang berbeda,” Bu Mia memberikan wejangan dengan bijak.
Nila tertawa kecil. “Iya, sepertinya. Tapi kadang aku nyesel, soalnya tampaknya dia itu anak yang introvert. Kalimat awal saat mengajukan ide belajar bareng saja bikin jantungku berdebar.”
“Kalau dia introvert, mungkin kamu bisa membantunya lebih terbuka,” Bu Mia mendorong. “Itu bisa jadi tantangan menarik!”
“Iya, ya...” Nila merenung, membayangkan momen belajar bersama Bim. “Dia ngebantu kita dengan rajin, jadi mungkin aku bisa bantu dia juga. Kami bisa tukar pikiran,” Nila berkata sambil tersenyum.
“Jadi, sepertinya kamu sudah berencana untuk berinteraksi lebih banyak dengan Bim, ya?” Bu Mia menggoda.
“Hmm, ya mungkin.” Nila nampak malu, pipinya memerah sedikit. “Bu, jangan kasih tahu ayah, ya.”
“Iya, aku janji.” Bu Mia tertawa, merasakan hikmah dalam pembicaraan itu. “Tapi ingat, apapun yang terjadi, ibu akan selalu mendukungmu.”
Setelah menghabiskan jusnya, Nila menemukan kembali semangatnya. “Bu, aku mau mengundangnya belajar di rumah. Sebagai teman belajar. Bagaimana menurutmu?”
“Boleh! Selama kamu merasa nyaman, itu ide yang baik.” Bu Mia tersenyum.
“Pasti, Bu! Terima kasih!” Nila bersemangat, membayangkan Bim datang ke rumahnya, belajar sembari tertawa-tawa.
Nila menyelesaikan minum jusnya, bertekad untuk menjalin hubungan dengan Bim dan menemukan lebih dalam tentang siapa dia sebenarnya. Dia merasa ini adalah sebuah awal yang akan mengubah hidupnya, sebuah petualangan penuh kejutan dan penemuan.
Dengan semangat baru, Nila bersiap-siap untuk merencanakan segala sesuatu yang akan membuat Bim merasa lebih nyaman dan mungkin, bahkan lebih dari sekadar teman belajar.
Hari-hari di sekolah terasa berbeda bagi Nila. Di kelas, Bim seakan menjadi pusat perhatian, terutama bagi para siswi. Setiap kali dia masuk ke ruang kelas, semua mata serasa terarah padanya; wajahnya yang tampan, gaya yang sederhana namun menawan, dan kepintarannya dalam pelajaran membuatnya tak terelakkan dari perhatian orang-orang di sekitarnya.
Di pinggir meja, Nila duduk bersama sahabatnya, Tessa dan Sasi. Mereka bertiga sedang berdiskusi tentang tugas matematika yang harus dikumpulkan hari itu. Namun, perhatian Nila terus teralihkan pada Bim, yang duduk di mejanya dengan tenang, menjelaskan materi pelajaran kepada beberapa teman sekelas.
“Lihat, dia lagi ngajar Banyu dan Ika,” bisik Tessa sambil melirik ke arah Bim. “Kayak guru sekolah, ya?”
“Iya, dan semua orang tampaknya terpesona,” Sasi menambahkan dengan nada bercanda. “Apalagi siswa cewek, mereka sudah mengaguminya sejak hari pertama.”
Nila merasa sedikit terjebak di antara ketertarikan dan rasa cemburu. Diam-diam, ia mengamati sahabat-sahabatnya yang juga tampak terpesona dengan Bim. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bangga memperkenalkan Bim pada orangtuanya saat berencana untuk belajar bersama, tetapi di sisi lain, ada ketakutan bahwa dia tidak akan mampu bersaing dengan semua cewek yang berusaha menarik perhatian Bim.
“Eh, Nila, kamu suka Bim, kan?” tanya Tessa, menyenggol lengan Nila.
“Ya… Eh, bukan gitu!” Nila ingin membela diri, tetapi suaranya terputus saat ia melihat Bim tersenyum dan terkadang melirik ke arahnya. “Maksudku… dia cerdas, dan itu menarik,” Nila mengaku, berusaha untuk tidak terlalu terjebak dalam perasaannya. Namun, ia tahu bahwa perasaanya lebih dari sekadar ketertarikan biasa.
Sasi tersenyum jenaka, “Udah deh, Nila. Kami semua lihat bagaimana kamu memandang Bim. Jika kamu tidak cepat, bisa-bisa orang lain nyosor dia dari kamu.”
“Kamu tahu… ada beberapa siswi yang tampaknya berusaha untuk mendekatinya. Seperti Sari dan Dina. Mereka suka banget menggodanya,” Nila berkata sambil menatap ke arah meja Bim yang sekarang dikelilingi oleh beberapa siswi.
“Apakah kamu ingin bersaing dengan mereka?” Tessa bertanya, seraya menggigit bibirnya. “Kalau ada pertarungan, kami akan berada di sisimu!”
“Entah kenapa, rasanya aku tidak percaya diri,” Nila berkata pelan. “Mereka semua terkesan berani dan mengagumkan. Aku...”
“Jangan merendahkan diri kamu!” Sasi mencela sambil memukul lembut tangan Nila. “Kamu juga punya banyak keunggulan! Ketika kamu belajar dengan Bim, tunjukkan bahwa kamu bisa sama pintarnya.”
Nila mengangguk, setuju dengan pendapat sahabat-sahabatnya. Dia tahu bahwa dirinya telah berusaha keras dalam pelajaran, terutama di matematika dan sains. Namun, perasaan cemburu mulai mengganggu pikirannya.
Saat pelajaran matematika dimulai, guru mereka, Pak Herman, meminta Bim untuk tampil di depan kelas untuk membantu menjelaskan masalah soal yang sulit. Bim berdiri dan memperlihatkan keahliannya. Dia berbicara dengan percaya diri, menjawab setiap pertanyaan dari teman-teman kelasnya, dan semua mata tertuju padanya termasuk mata Nila.
“Lihat? Bim benar-benar berbakat,” Tessa berbisik, dan Nila hanya bisa tersenyum lemah, berusaha untuk tidak terlalu terpancing oleh perasaan cemburu yang mengumpul di dadanya.
Sebelum pelajaran usai, Diah, siswi populer di kelas, tiba-tiba berdiri dan menanyakan berbagai hal kepada Bim.
“Bim, bagaimana kamu bisa dengan mudah mengerjakan soal ini? Tolong ajarin aku, Bim.!?" Diah pegang lengan kursi, tersenyum menawan, dengan rambut panjangnya yang tergerai sempurna.
Nila merasakan ganjalan di hati saat melihat semua perhatian Diah pada Bim. Karena sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pecah di hadapan orang lain, dia berusaha tetap tenang saat melihat dinamika itu.
“Eh, Nila. Apa kamu mau ikut grup belajar? Mungkin kita bisa mengundang Bim?” Tessa berani mengusulkan, mengabaikan selingan suasana di kelas.
Nila terkejut dan menjawab cepat, “Ya ampun, itu ide yang bagus! Kita bisa bikin acara mega belajar!”
Kami bertiga tertawa, tetapi di dalam hati Nila, ada sebuah komitmen yang lebih dalam: dia harus berusaha untuk lebih dekat dengan Bim, tanpa merasa tertekan oleh saingan-segala.
Setelah pelajaran selesai dan semua siswa keluar dari kelas, Nila melihat Bim melangkah keluar, dikerumuni oleh beberapa siswi. Hatinya berdebar, dan sebuah keberanian terbentuk dalam dirinya.
“Eh, Bim!” seru Nila, melangkah mendekatinya. Dia bertekad untuk memulai pembicaraan, berusaha melawan rasa cemburunya. “Aku dengar kamu sangat membantu dalam pelajaran matematika. Kita seharusnya belajar bareng dalam grup! Bagaimana?”
Semua mata tertuju pada Nila yang mengajukan pertanyaan. Bim menoleh dan tersenyum. “Tentu, Nila. Aku senang jika bisa membantu. Kapan kita mulai?”
Mereka berdua saling bertukar pandangan, dan dalam momen itu Nila merasa gelombang harapan dan peluang, tetapi juga kesadaran bahwa saingannya bukan hanya Diah dan teman-temannya, tapi juga rasa percaya dirinya yang harus dipacu kembali.
*****