Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 02. Cahaya Di Tengah Kegelapan

Hari-hari berlalu, dan Bim mulai merasakan betapa beratnya perjuangannya untuk beradaptasi di kelas tersebut. Setiap kali dia mencoba berinteraksi dengan teman-temannya, bagaikan menjatuhkan batu di tengah danau tenang, hanya memicu riak-riak kecil dan segera menghilang. Di saat yang sama, Dika, Tessa, dan Azka terus pamer tentang kegiatan dan barang-barang baru mereka.

Saat pelajaran berlangsung, Bim dapat melihat Dika dan Tessa duduk berdekatan, tertawa sembari memperlihatkan foto-foto liburan mereka di layar ponsel masing-masing. Di sudut kelas yang lain, Azka sedang berbisik-bisik dengan teman-teman, seolah membicarakan sesuatu yang seru. Sementara itu, Bim duduk sendirian di bangkunya, mengambil buku catatan dan berusaha sekuat tenaga untuk fokus pada pelajaran.

“Eh, pamer lagi ya? Lagi-lagi foto di pantai itu?” bisik Vira sambil melirik ke arah Dika yang kini menunjukkan foto liburannya.

“Iya! Dika memang nggak ada matinya, ya? Gitu-gitu aja terus!” jawab Rendi, tertawa. “Eh, apaan ya, dia itu.”

Bim merasa sedikit kesal, tetapi dia tahu bahwa dia tidak dapat mengubah cara mereka. “Sudahlah,” pikirnya. “Fokus saja sama pelajaran.”

Ketika guru mulai menjelaskan tentang materi baru, dia bisa merasakan pandangan teman-temannya yang kadang-kadang mencuri-curi pandang ke arahnya. Sebuah bisikan samar terdengar. “Lo tahu, kan si Bim? That’s just him. Nggak ada yang menarik. Kayak nggak nyambung sama kita.”

Mendengar itu, jantung Bim berdegup sedikit lebih cepat. Dia ingin sekali membela diri, mengingat bagaimana dia dulunya selalu bisa bergaul dengan baik. Namun, saat semua perhatian seolah terpusat pada petasan-petasan kecil yang diledakkan oleh teman-temannya, Bim justru memilih untuk tetap diam.

Setelah pelajaran usai, saat semua anak bersiap untuk pulang, Dika dan kawan-kawannya kembali beraksi. “Eh, nggak tahu deh kenapa si Bim selalu ada di sini, ya? Dia kayak alien!” seru Tessa, dan mereka semua tertawa lepas.

“Cuma nganggur tanpa gadget, sih,” jawab Azka sambil menunjuk ke arah Bim. “Bim, ayo dong! Coba tunjukin ponselnya! Jangan sampai kalah sama kita!”

Mendengar ejekan itu, Bim memilih untuk berpura-pura tidak mendengar dan tetap pergi ke loker untuk mengambil buku-bukunya dengan cepat. Dia tidak ingin berlama-lama di situ. Di antara desakan semua kegaduhan itu, Andi menghampiri Bim.

“Gimana, Bi? Lo baik-baik saja?” tanya Andi, tampak khawatir.

Bim melihat ke arah Andi, mencoba untuk berbuat seolah semua ini tidak berpengaruh padanya. “Ya, baik-baik saja, kok. Juga... cukup nyaman dengan buku-buku gue.” Dia mengempaskan bukunya ke dalam tas dan mencoba tersenyum.

“Gue benci mereka, tahu?” Andi bersikap jujur. “Mereka sama sekali nggak ngerti loe. Padahal loe bisa keren banget.”

“Loh, gimana ya,” jawab Bim. “Gue sih udah coba bergaul, Andi. Cuma... kayaknya mereka lebih suka yang kayak gitu. Gak ada gunanya ngelawan!”

Andi menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Lo harus tetap jadi diri sendiri, Bim. Jangan biarkan mereka mengubah siapa loe. Gue yakin, suatu saat mereka akan lihat nilai loe di sekolah dan bakal nyesel kenapa nggak pernah dekat sama loe.”

Bim pun merasa sedikit terhibur, meski hatinya tetap berat. “Gue cuma ingin belajar dan nggak mau terlibat drama ini,” katanya pelan.

Saat sampai di rumah, Bim menemukan ketenangan di meja belajarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mengerjakan tugas dengan penuh konsentrasi, jauh dari hiruk-pikuk pameran temannya. Setiap ketukan keyboard terasa teratur dan membawa kedamaian, dan dia mengalihkan pikirannya dengan mengumpulkan informasi yang berguna untuk ujian mendatang.

Di keesokan harinya, suasana kelas tetap sama; Dika, Tessa, dan Azka kembali lagi ke gaya hidup glamor mereka—tapi Bim tetap cuek. Saat pelajaran berlangsung, dia membangun ritme belajarnya dan terfokus pada buku sampai dia tidak merasakan waktu berlalu.

“Halo, Bim?” tanya Andi, saat mereka menuju kantin. “Lo yakin bisa bertahan kayak gini?”

“Aku hanya ingin bertahan, Andi. Bukankah itu lebih baik? Fokus pada pelajaran jauh lebih penting daripada mengejar perhatian mereka,” jawab Bim, berusaha menguatkan hatinya.

Andi menggeleng, tampak khawatir. “Kalau loe terus kayak gitu, bisa jadi mereka merasa kalau loe jauh dari mereka. Dan bisa-bisa jadi semakin kesepian. Mau makan bareng enggak?”

“Ya, enggak apa-apa,” jawab Bim, meski perasaannya terus bergejolak. Mereka berdua menuju kantin, di mana Dika dan yang lainnya sedang duduk beramai-ramai, tertawa dan berbagi cerita seru.

Bim dan Andi memilih meja di sisi lain kantin, ingin menikmati makanan mereka dalam keheningan. Di sisi lain, gelak tawa Dika dan yang lainnya mengisi suasana, tetapi Bim tampaknya lebih berfokus pada piring di depannya.

“Hei, Bim!” panggil Tessa, seakan merasa terancam dengan kehadiran mereka. “Mau gabung sama kami? Dua teman tanpa gadget, gitu, kurang seru, deh!”

Terkejut, Bim menatap Tessa dan merasa dilema. Apakah dia harus bergabung dan melupakan semua perasaannya? Atau tetap berdiri teguh dalam keputusan untuk tetap fokus pada pelajaran?

“Enggak, terima kasih,” jawab Bim, tegas namun sopan. “Gue di sini sama Andi, kita nyaman-nyaman saja.”

Tessa mendengus, sementara Dika menggelengkan kepala tidak percaya. “Ok, ok. Kamu menikmati kesepianmu.”

Dengan pernyataan yang tegas itu, Bim merasa semua beban di hatinya sedikit menghilang. Dia tahu, walaupun dia diucilkan, dia tetap memiliki satu sahabat yang mempercayainya, Andi. Bim merasakan kekuatan baru menggerakkan langkahnya. Dia memilih untuk fokus pada cita-cita dan memberikan yang terbaik dalam pelajaran. Dan walaupun dikelilingi oleh kesunyian, dia percaya, suatu saat nanti, semua ini akan terbayar.

Setiap hari, Bim terus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Meski teman-teman sekelasnya tampak bersenang-senang dalam dunia mereka sendiri, Bim menemukan kenyamanan dalam belajar dan mengeksplorasi pengetahuannya tanpa gangguan. Suatu hari, sebuah momen tak terduga muncul yang mengubah perspektif beberapa teman sekelasnya, terutama Nila.

Hari itu, guru matematika memperkenalkan sebuah topik baru—kalkulus. Beberapa siswa mengeluh dan terlihat kebingungan. Dika, Tessa, dan Azka berkumpul di belakang kelas, berbincang dengan suara keras tentang kesulitan mereka.

“Apa, sih kalkulus itu? Gila, kayaknya susah banget!” keluh Dika, mengernyitkan dahi.

“Tapi si Bim kok bisa ya? Dia kayaknya ngerti,” Tessa menyengir, matanya menatap ke arah Bim yang duduk di depan.

Ketika pelajaran berlangsung, Bim dengan tenang mengerjakan soal yang ditampilkan di depan kelas. Guru mencatat beberapa rumus di papan tulis, dan matanya melirik ke arah Bim, yang tampak tidak kesulitan saat berusaha mengerjakan soal-soal itu.

“Bim, bisa tolong jelasin ke kami?” tanya Azka, dengan nada setengah meremehkan. “Kalau loe pinter banget, ayo, buktikan!”

Merasa terdesak, Bim hanya menatap buku, berusaha menjaga fokus dan tetap tenang. Namun, hatinya penuh dengan semangat untuk memberikan yang terbaik.

“Bim, ayo, tunjukkan ke kita,” seru Nila tiba-tiba, suaranya halus namun tegas, mengundang perhatian seluruh kelas.

Semua mata sekarang tertuju pada Bim.

“Mmm… baiklah,” Bim akhirnya setuju, meski keraguan mulai melanda.

Dia berdiri dan berjalan ke papan tulis. Dengan sigap, Bim memulai penjelasan, dengan tangan menulis persamaan yang sangat rumit. Seiring dengan penjelasan, dia memberi contoh-contoh sederhana untuk membantu teman-temannya memahami.

“Jadi, intinya adalah kita mencari limit dari fungsi ini, yang membantu kita memahami perilaku fungsi saat mendekati nilai tertentu. Kita bisa menggunakan derivatif untuk menemukan laju perubahan fungsi,” jelas Bim. “Jadi, jika kita memiliki fungsi f(x), kita bisa mencari turunan f’(x) dan…”

Bim terus berbicara, tidak menyadari bahwa semua siswa lain mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan Dika dan Tessa yang sebelumnya meremehkan, kini tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

“Wow, Bim, loe jenius!” seru Andi dari belakang, memberikan semangat. “Gue baru tahu kalau kalkulus ternyata seru kayak gini.”

Setelah menjelaskan berbagai konsep dengan jelas dan mudah dipahami, Bim mengakhiri penjelasannya dengan percaya diri. “Jadi, apakah ada pertanyaan?”

Tiba-tiba, suasana hening. Semua teman sekelasnya hanya terpaku pada papan tulis, seakan baru menyadari potensi Bim. Tak lama, Nila, yang selama ini terkenal dengan sikapnya yang sombong, mengangkat tangannya.

“Bim, bisa kalo kita belajar bareng?” tanyanya, tampak tidak biasa dan tulus. “Aku rasa, aku butuh bantuan untuk memahami semua ini lebih baik. Dan... ehm... aku pikir kita bisa belajar dengan cara yang seru.”

Bim terkejut. “S-saya sih… kalau Nila mau, ya tidak masalah. Kita bisa atur waktu, mungkin setelah sekolah?”

“Bagus!” Nila terlihat senang, matanya berbinar. “Aku bisa meminjam satu buku dari perpustakaan kalau gitu. Terima kasih sudah membantu!”

Setelah jam pelajaran selesai, teman-teman sekelasnya mulai mendekati Bim. Dika dan Azka terlihat gelisah, mungkin merasa sedikit terancam oleh perhatian yang tiba-tiba diberikan kepada Bim.

“Gue nggak nyangka loe pinter gitu, Bim!” Dika berkomentar, berusaha menutupi rasa tidak nyaman.

“Ya, sebenarnya aku juga… belajar banyak dari buku,” kata Bim, merendah. “Mungkin kita bisa belajar bareng di lain kesempatan juga, Dika.”

Tessa hanya terdiam, tapi tiba-tiba dia tersenyum, “Tapi loe beneran bikin semua orang terkesan! Ayo, kita jadwalkan ketemu bareng, Bim.”

Momen tersebut seolah membawa energi baru, membuat Bim merasa lebih diterima. Namun, saat kelas bubar dan semua siswa pergi ke arah kantin, Nila tetap menunggu di sudut.

“Bim,” panggilnya lembut, “aku ingin bicara dulu, boleh?”

“Boleh, Nila,” jawab Bim sambil merasa cemas tapi berusaha tenang.

Nila mendekat, wajahnya tampak serius namun juga antusias. “Lo beneran keren, tahu nggak? Aku nggak tahu sebelumnya kalau loe secerdas ini. Selama ini, aku hanya fokus pada hal-hal lain dan aku kagum sama loe.”

“Kagum?” Bim terkejut. “Serius?”

“Ya!” Nila tertawa, “Aku rasa kamu lebih dari sekadar anak yang biasa di kelas. Loe punya cara berpikir yang berbeda, dan itu menarik. Dan… thanks for the help with math. I really need it!”

Bim merasakan senyum di wajahnya, meresapi kata-kata Nila. “Nggak masalah, Nila. Senang bisa membantu. Kita bisa belajar bareng kapan saja.”

“Bagus! Aku akan atur waktu. Kita bisa cari tempat yang nyaman,” Nila berkata, senyum manisnya membuat Bim merasa sedikit lieur namun senang.

Keduanya berpisah di depan sekolah, membawa harapan baru. Bim merasa hatinya sedikit lebih penuh, dengan bahagia untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Dia tahu bahwa berkat keberaniannya untuk menunjukkan kepintarannya, mungkin, justru perlahan-lahan, dia menemukan jalannya menuju pertemanan dan koneksi yang lebih bermakna dengan orang lain termasuk Nila. Tapi dia masih tahu, genuine friendship require time and effort.

Hari-hari selanjutnya, perubahan dalam narsis sosial ini bisa dilihat jelas, tetapi Bim tetap ragu untuk berharap terlalu tinggi. Dia akan mencoba yang terbaik, tidak hanya untuk mentransformasikan dirinya, tetapi juga untuk menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel