Ringkasan
Bim" merupakan kisah tentang seorang pemuda cerdas bernama Bimantara yang berhasil meraih mimpi untuk bersekolah di SMA 6 Surabaya, sekolah favorit yang dipenuhi anak-anak dari keluarga kaya. Bim, yang berasal dari keluarga sederhana, mendapatkan beasiswa untuk bisa menjejakkan kaki di sekolah tersebut. Di tengah gemerlap kekayaan dan persaingan antar siswa yang lebih fokus pada adu harta orang tua daripada prestasi, Bim teguh pada pendiriannya. Ia fokus belajar dan membuktikan bahwa kecerdasan dan kerja keras bisa mengalahkan segalanya. Kehebatan Bim dalam pelajaran, terutama matematika, membuatnya menjadi pusat perhatian. Cewek-cewek cantik dari keluarga kaya mulai meliriknya, membuat para cowok iri dan memicu konflik. Namun, di balik kecerdasan dan popularitasnya, Bim menyimpan rahasia kelam. Sejak kecil, ia mengidap penyakit leukimia yang mengancam hidupnya. Seiring waktu, gejala penyakitnya mulai kambuh, memaksanya untuk bolak-balik ke rumah sakit. Apakah Bim akan menyerah pada takdirnya? Akankah ia mampu melawan penyakitnya dan meraih mimpinya? Atau, akankah kisah cintanya dan persahabatannya terenggut oleh penyakit yang mematikan?
Bab 01. Dunia Baru Di Sekolah Favorit
Hari itu, Bim melangkah penuh semangat, meskipun degup jantungnya berasa kayak drum band. Pagi itu, dia resmi menjadi siswa baru di SMAN 6 Surabaya, sekolah yang banyak orang bilang jadi sekolah favorit di kota ini. Bim, yang biasa menggunakan seragam seadanya, kini mengenakan seragam sekolah yang baru, dan meski dia tahu baju itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang dipakai teman-temannya, dia berusaha tampil percaya diri.
“Bro, ini beneran sekolah apa istana?” gumam Bim, sambil melongok ke dalam gerbang megah SMAN 6 yang dikelilingi pepohonan rimbun dan bangunan modern. Para siswa berkeliaran dengan gaya yang bikin Bim merinding. Mereka semua tampaknya berasal dari golongan yang berbeda dengan dirinya.
“Oh, itu baru tampak luar, Bi. Di dalamnya lebih canggih lagi! Ada lab sains kayak di film-film, lapangan basket, bahkan kantin yang makanannya masya Allah enak banget!” jawab Andi, temannya yang sudah lebih dulu diterima di sekolah itu. Andi, anak yang juga menerima beasiswa, dengan semangat mengajak Bim menjelajahi area sekolah. Dia udah siap dengan instruksi: “Dengerin, jangan sekali-kali tunjukin kalau kita dari kalangan yang berbeda. Santai ajalah, bro!”
Mendengarkan kalimat itu bikin Bim merenung. Oke, dia harus bisa beradaptasi meskipun dia bukan dari kalangan yang sama. Inilah saatnya merubah stigma tentang anak beasiswa.
Di dalam kelas, ruangan X IPA terasa glamor dengan kursi-kursi yang tertata rapi dan papan tulis yang super bersih. Ketika Bim masuk, beberapa siswa menoleh sejenak. Ada yang menggeleng menggoda, ada yang pura-pura tidak melihat. Hanya Andi yang dengan berani melambaikan tangan, menunjukkan tempat duduk yang kosong di sebelahnya.
“Yo, Bi! Duduk sini, biar kita bisa barengan!” panggil Andi, semangatnya menular ke Bim. Bim mengangguk, meski dalam hati dia masih merasa canggung.
“Ehm, hai semua! Saya Bim,” ucap Bim pelan, suara nyaris hilang ditelan keheningan kelas. Hiburan, malah keheningan semakin menguatkan stigma itu. Tiba-tiba, tawa jenaka dari sudut kelas menarik perhatian semua orang.
“Eh, siapa tuh? Kayaknya baru deh! Bim ya? Emang ortunya mampu bayar sekolah!” teriak Dika, anak terkaya di kelas yang sering sombong. Dika dikelilingi gengnya yang tertawa cekikikan, seakan menghujani Bim dengan sinis. Bim hanya bisa tersenyum, berusaha mengabaikan mereka.
“Jangan dipikirin, Bi. Mereka cuma pamer!” Andi menggeleng-gelengkan kepala sambil menepuk bahu Bim. Sebuah sinyal dukungan dan pengertian yang beri semangat baru buatnya. “Fokus aja belajar, kita kan beasiswa!”
Pelajaran dimulai, dan Bim berusaha mencatat semua yang diajarkan guru. Dia benar-benar berkontribusi dalam kelas meski tekanan dari luar terus menghimpit. Dia mulai terbiasa dengan cara guru mengajar yang berbeda, namun penuh semangat.
Saat istirahat, suasana di kantin bikin perutnya keroncongan. Andi mengajaknya mampir ke bagian kantin yang banyak dilihat orang. “Gokil, makanan di sini enak-enak, Bi! Roti bakar sama minuman smoothie itu, rasanya bikin nagih,” ujar Andi, tatapannya berbinar-binar. Dengan penuh antusias, Bim dan Andi melangkah ke kantin.
“Nila, jaga tempat kita, ya!” suara cewek yang bikin Bim terperangah. Nila, si cantik dari kelas sebelah, berdiri di depan antrian. Dia terkenal di kalangan siswa school, dikenal dengan senyumnya yang bikin para cowok klepek-klepek. Saat matanya berpapasan dengan Bim, detak jantungnya kembali menambah kecepatan, namun Bim segera menunduk.
“Dia tuh, Bim, cantik kan?” bisik Andi. “Jangan kaget ya, satu sekolah ini pada suka dia.” Dan Bim hanya mengangguk, terjebak dalam kekagumannya sendiri.
Selama makan siang, mereka bertiga Bim, Andi, dan Nila terlibat obrolan ringan, meskipun Bim tetap merasa canggung dan ingin segera bersembunyi dari perhatian. Ya, Bim sadar
semua ini adalah dunia barunya yang glamour, penuh dengan keindahan dan tantangan. Saat Bim melihat teman-teman di sekelilingnya, dia yakin bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
“Siap-siap, Bim. Kita bakal mengalami banyak hal. Ini baru permulaan!” ucap Andi bersemangat, dan Bim pun belajar untuk menghadapi dunia barunya dengan percaya diri. Irama hidup, pertemanan, serta ketulusan mulai berkelindan dalam hati dan kehidupannya.
Setelah makan siang, saat bel dering tanda masuk kelas berbunyi, Bim melangkah kembali ke dalam kelas dengan perasaan campur aduk. Kesegaran udara yang baru saja dihirup saat makan siang seolah lenyap begitu dia melihat suasana kelasnya. Kelas dipenuhi dengan obrolan seru anak-anak yang sedang beradu cerita tentang mobil dan gadget terbaru mereka. Bim merasakan keasingan yang mencolok, betapa jauh hidupnya dibandingkan mereka.
“Eh, ada yang lihat mobil Ferrari merah yang baru keluar? Itu punya orang tuaku, sih! 0-100 km/jam cuma 3 detik!” Dika, yang dari tadi duduk di sudut kelas itu, memulai debat tentang mobil mewahnya sambil menggoyang-goyangkan ponsel barunya. Anak-anak yang lain tersenyum penuh arti, seakan mendengarkan cerita yang paling seru.
“Ah, itu biasa! Kenapa loe gak coba Tesla? Mendingan! Keluarga gue baru beli yang terbaru, sob! Bisa parkir otomatis dan arahnya bisa dikontrol lewat smartphone!” Tessa, cewek dengan gaya fashionable, menyela obrolan dengan nada angkuh.
“Eh, loe belum lihat rumah baru keluarga gue? Punya swimming pool di atap, woy! Pengennya sih bisa party sama teman-teman di situ!” sergah Azka, sambil mengusap-ngusap jam tangan mahal di tangannya. Bim merasa terhindar dari situasi canggung ini, dan dengan hati-hati, dia mengambil kursi di dekat Andi.
“Gila, Bi, lo kayak alien di sini,” bisik Andi pelan sambil menggigit sandwich yang dibawanya. “Mereka cuma pamer doang, ya. Jangan dipikirin!”
“Easyle!” jawab Bim sambil tersenyum, meski hatinya tetap bergetar. “Gue jadi merasa aneh deh...”
Seperti tahu ada yang salah, Andi menepuk punggung Bim. “Dengerin, Bi. Semua ini kan cuma permukaan. Banyak dari mereka yang pamer, tapi nggak semua sehat. Beberapa malah sahabat-sahabat gue yang ada di sini jauh dari kata bahagia. Coba deh lo fokus sama pelajaran. Lo akan tahu siapa yang bener-bener bisa jadi temen.”
Setelah itu, suasana kelas mulai kembali ramai. “Eh, Bim! Lo bawa hape terbaru nggak sih?” tanya Vira, cewek berambut panjang yang tinggal di sebelahnya. “Atau lo lebih suka hape yang ada di pasaran biasa?”
Aduh, Bim, sih enggak punya hape baru. Dia cuma punya hape jadul yang sering dia simpan di tas. “Ah, ya... gue cuma bawa hape biasa,” jawabnya, berusaha menebak reaksi mereka.
“Hah! Hape biasa? Itu kayak kuno banget, Bi! Coba lo lihat, temen-temen. Dika pun sampe-sampe ganti hape hampir setiap bulan,” tawa Vira, sementara kedengaran gelombang tawa lainnya menghiasi kelas.
“Eh, itu kan hobi gue! Ganti-ganti hape!” balas Dika dengan ekspresi sedikit defensif. “Nanti kalau loe punya yang baru, ngajak-nya ajak ke tempat cafe yang gaul. Kita bisa foto bareng!”
“Fotonya disimpan di mana? Ternyata ada tempat sosial media baru untuk anak kelas nih!” goda Tessa.
Bim merasa semakin terasing. Dalam benaknya, dia merindukan temannya di sekolah sebelumnya, tempat dia tidak pernah merasa harus menunjukkan barang-barang mahal untuk diterima. “Sialan, ini bukan dunia yang gue kenal,” pikir Bim.
Andi melihat Bim yang terpaku dan merasakan ketidaknyamanan sahabatnya. “Bro, pelajaran baru mulai, tenang aja. Yang penting kita belajar, bawa teman yang tulus. Kita pasti bisa jalanin ini!”
Bim menatap Andi dan merasa senang ada seorang sahabat yang mengerti. Saat pelajaran dimulai, wali kelas memasuki ruangan, dan suasana mulai sedikit lebih tenang. Namun, tangan Bim terus menggenggam pensilnya, berpikir bahwa semua ini adalah bagian dari perjalanan baru dalam hidupnya.
Di saat pelajaran, Dika masih sesekali membisiki temannya untuk menceritakan kisah-kisah menarik tentang kehidupan glamornya. Sedangkan Bim hanya mengetik pelan di buku catatan, mencatat semua yang dia ajarkan dengan penuh fokus.
Beberapa saat kemudian, mereka memasuki sesi diskusi grup. “Ayo, kita harus berbagi cerita tentang pengalaman kita! Siapa yang mau mulai?” tanya wali kelas penuh semangat.
Dika langsung mengangkat tangan. “Gue, deh! Tahun lalu, orang tua gue ajak liburan keliling Eropa, sih! Kita mampir ke Paris, dan foto di depan Menara Eiffel! Cuan banget kalau loe lihat foto-fotonya!”
Teman-teman lainnya pun menambah semangat Dika dengan cerita mereka masing-masing. Bim hanya bisa mendengarkan sambil tersenyum, merasa enggan untuk menanggapi, tetapi di dalam hatinya, dia merasa beruntung bisa mendapatkan pengalaman berharga.
“Yah, kita semua punya cerita masing-masing,” ujar Andi, seolah bisa membaca pikiran Bim. “Walau dari latar belakang berbeda, kita tetap satu kelas, kan! Perjalannya masih panjang, Bi. Yang penting kita berkawan dan saling dukung.”
Bim mengangguk, pelan. Dia bertekad untuk bisa menyesuaikan diri dan mulai menemukan tempatnya di dunia baru ini, meski tantangan akan datang silih berganti.
*****