Bab 07 . Hari Santai Yang Berubah
Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Bim, dan rasa cemas yang menggerogoti hati Nila, Tessa, dan Andi semakin menjadi. Dalam upaya mencari tahu lebih banyak tentang Bim, Andi sering kali berada di sekitar kontrakan Bim, berbincang dengan tetangga dan mencari informasi. Namun, salah satu sore yang tampaknya biasa itu, situasi berubah menjadi tegang saat Andi dibentak oleh sekelompok cowok dari sekolah lain.
“Oi, Andi! Kita tahu kamu masih berteman dengan Bim!” Seru salah satu dari mereka, tampak sangat angkuh.
Andi yang kaget, bertanya, “Kenapa? Ada masalah?”
“Ya, ada! Kami tidak mau kamu bergaul lagi dengan anak itu. Dia bikin emosi banyak orang,” balas salah satu cowok itu, dengan nada menantang.
Andi tidak terima. “Aku tidak akan menjauh dari Bim hanya karena kalian bilang begitu. Bim adalah temanku!”
Mendengar ketegangan ini semakin meningkat, Nila dan Tessa yang berada tidak jauh dari situ, langsung mendekat.
“Hey, ada apa ini?” tanya Nila, detak jantungnya berdetak lebih cepat.
“Ini urusan cowok. Kalian jangan ikut campur!” balas cowok itu masih dengan nada menantang.
Tessa menatap Andi, hendak memberikan dukungan. “Andi, kita tidak bisa membiarkan mereka memperlakukan Bim seperti ini. Dia butuh teman, dan kita tidak akan meninggalkannya,” ujarnya penuh semangat.
Cowok itu tersenyum sinis. “Oh, jadi kamu juga mau terlibat? Kami tidak akan segan-segan menghadapi kalian!”
Tanpa memberi kesempatan pada pertimbangan, cowok-cowok sekolah lain itu mulai mendekat dengan niat buruk. Andi bersiap, tetapi Nila dan Tessa tidak mau hanya menonton. Tiba-tiba, Nila melangkah maju. “Kalau kalian mau bertarung, kami tidak akan mundur. Kami siap!”
Cowok-cowok itu menertawakan mereka. “Dua cewek? Kalian bercanda? Kami tidak takut sama sekali!”
Nila dan Tessa saling berpandangan, kemudian Tessa mengangguk mantap. “Kalian ngeremehin cewek. Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi!”
Kemudian, tanpa ada komando lagi, perkelahian pun terjadi. Andi terkejut tetapi langsung memberi dukungan untuk Nila dan Tessa. Di tengah keributan, Nila bergerak cepat, melancarkan tendangan yang memukau ke arah cowok paling depan. Jago silat yang hebat, dia berhasil menjatuhkan lawannya dengan satu gerakan.
Tessa mengikuti di belakangnya, menyerang lawan dengan tendangan dan pukulan yang cepat. Sudah pasti, meskipun laki-laki dan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, keahlian bertarung mereka justru membuat cowok-cowok tersebut shock.
“Gawat! Mereka jagoan!” seru cowok yang semula bangga dan angkuh, saat melihat teman-temannya terjatuh satu per satu.
Andi tidak mau ketinggalan, dia pun ikut berperan dengan menjaga teman-temannya dari serangan mereka. Nila dan Tessa bekerja sama dengan baik, saling melindungi satu sama lain dan menyerang lawan-lawannya. Dengan semangat yang membara, mereka menciptakan kekuatan yang tak terbendung.
Cowok-cowok dari sekolah lain mulai panik. Mereka tidak menyangka akan menghadapi lawan yang begitu tangguh, terutama dari dua cewek. Seakan itu adalah titik balik, mereka mundur satu per satu, mencoba melarikan diri. “Ayo, kita pergi! Kita tidak mau berurusan dengan mereka!” teriak salah satu dari mereka sambil berlari.
“Oe...Jangan pernah kembali! Kami tidak takut pada kalian!” teriak Tessa, bersemangat, serta Nila yang sudah memberikan satu lagi tendangan energik ke arah mereka meski mereka sudah kabur.
Setelah situasi kembali tenang, Andi menghampiri Nila dan Tessa. “Kalian luar biasa! Aku tidak menyangka kalian sekuat ini!”
Nila tersenyum lebar, tampak bangga, namun juga sedikit kelelahan. “Kenapa harus terbawa emosi? Kita cuma mau mempertahankan teman kita.”
Tessa menambahkan, “Iya, seharusnya mereka tahu bahwa kebersamaan dalam persahabatan tidak bisa diremehkan. Kami tidak akan pernah meninggalkan Bim!”
Andi merasa terharu mendengar keteguhan hati Nila dan Tessa. Dia tahu, mereka akan melakukan apa pun untuk memastikan Bim mendapatkan kembali dukungan dan cinta dari teman-temannya.
Sebelum beranjak pulang, Andi menoleh melihat ke arah jalan yang diambil oleh cowok-cowok itu. “Kalau mereka berani lagi, kita akan selalu siap. Untuk Bim!”
Kata-kata itu menggema di hati mereka semua, menguatkan persahabatan yang tidak akan pernah pudar meski menghadapi onak dan duri. Saat mereka meninggalkan tempat itu, mereka sepakat untuk terus mencari tahu keberadaan Bim.
Hari Minggu biasanya menjadi momen yang dinanti-nanti oleh Nila untuk berkumpul dengan keluarganya. Namun, hari ini adalah hari yang berbeda. Nila masih terjebak dalam selimut, malas beranjak dari tempat tidur.
“Sudah siang, Nila! Ayo bangun, kita mau berkumpul di taman!” teriak Bu Mira, suara lembutnya menyusup ke dalam kamar.
“Aku masih ngantuk, Bu! Satu jam lagi, ya!” Nila menjawab dengan suara setengah tertidur.
Di luar, di taman bunga yang rimbun, Bu Mira dan Pak Candra sedang sibuk merapikan bunga-bunga yang baru saja mekar. “Pak, lihat betapa cantiknya bunga mawar ini!” seru Bu Mira sambil menunjuk ke arah bunga merah yang menyeruak indah di antara hijauan.
“Iya, Bu. Tapi kamu jangan terlalu capek, ya. Kita masih akan ada banyak pekerjaan di kebun ini,” balas Pak Candra dengan kekhawatiran.
Tiba-tiba, suara motor terdengar di depan pagar. Pak Satpam, Bapak Joko, menghampiri pintu pagar, siap untuk menanyakan keperluan orang yang datang.
“Maaf, cari siapa ya mas?” tanyanya pada pengendara motor yang tampak gelisah.
“Aku Bim, mau ketemu Nila,” jawab Bim, sedikit gugup.
“Bim? Siapa Bim?” tanya Bapak Joko, seolah ingin memastikan siapa yang di hadapannya.
“Bim temannya Nila,” jawab Bim cepat, “Ada yang mau aku sampaikan.”
Bapak Joko berpikir sejenak, lalu kembali ke arah rumah dan menemui Bu Mira dan Pak Candra. “Pak, Bu, ada seorang anak laki-laki, Bim, yang mau menemui mbak Nila.”
Mendengar nama Bim, sekilas wajah Bu Mira menyala. “Oh, Bim! Dia temannya Nila yang sering di ceritakan!"
Pak Candra tercengang. “Bim? Siapa itu? Kenapa aku baru tahu?” tanyanya penuh kebingungan.
“Oh, dia jarang datang ke rumah ini. Nila lebih banyak menceritakan tentang teman-temannya di sekolahnya. Ayo, aku akan menemui Bim,” kata Bu Mira sambil bergegas keluar.
Di luar, Bim berdiri menunggu, matanya memasang harapan. Ketika Bu Mira muncul dari balik pintu pagar, senyumnya langsung merekah.
“Bim!” Panggil Bu Mira.
“Maaf, Bu, saya ingin bertemu Nila. Apa dia ada di rumah?” tanya Bim, masih merasa gugup.
“Dia masih di dalam." Jawab Bu Mira,"Ayo, masuk, nak Bim!"
"Terimakasih, Bu!"
Bu Mira langsung menuju ke rumah Nila, pintu kamar masih tertutup.
"Nila! Ayo keluar! Bim datang!” seru Bu Mira.
Beberapa detik kemudian, Nila muncul dari kamar dengan wajah masam, masih setengah terbangun. “Ada apa, Bu? Siapa yang datang?” tanyanya heran, sambil menyeka matanya.
“Ini Bim, temanmu!” kata Bu Mira.
Nila terkejut, mencoba mengenali wajah Bim. “Bim?”
"Maaf, bila mengganggu istirahat kamu!"
"Gak ada yang perlu dimaafkan, Bim. Aku cuma kaget aja."
“Aku hanya ingin bilang, besok aku sekolah. Setelah seminggu tidak masuk,” ujarnya, mencoba terlihat tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.
“Kenapa kamu tidak masuk sekolah?” tanya Nila, khawatir. “Kamu tidak apa-apa kan?”
“Aku baik-baik saja. Cuma ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,” tegas Bim sambil sedikit tersenyum, berusaha meyakinkan Nila.
“Aku sudah khawatir! Selama ini kamu tidak memberi kabar,” seru Nila, bersikap lebih lembut. “Kamu harus memberi tahu aku lebih cepat, ya!”
Bu Mira yang mendengar percakapan itu, langsung ikut menjawab. “Iya, Bim, Nila sangat cemas. Kami semua khawatir kepadamu.”
Bim mengangguk, sedikit merasa bersalah. “Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud bikin khawatir. Aku janji akan lebih sering memberi kabar.”
Pak Candra, yang baru saja mendengarkan pembicaraan mereka, penasaran. “Jadi, kamu ini Bim yang sering Nila ceritakan? Apa yang membuat Nila sampai khawatir seperti ini?”
Bim terdiam sejenak, melihat ekspresi cemas Nila dan tanggapannya terhadap keluarganya. “Yah, kadang-kadang aku mengalami beberapa masalah di sekolah,” jawabnya pelan. “Tapi, Nila selalu ada di sampingku. Dia adalah teman yang baik.”
Pak Candra tersenyum. “Nah, itu yang penting. Teman yang baik sangat berharga. Semoga kalian bisa saling mendukung.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Bim, menghargai dukungan yang diberikan.
Bu Mira tersenyum dan menepuk bahu Bim. “Selamat datang di rumah kami! Jangan ragu untuk datang lagi, ya.”
Nila kemudian memanggil kembali perhatiannya. “Bim, tunggu sebentar. Kapan kamu sekolah?"
“Ya, besok pagilah. Aku sudah memikirkan banyak hal selama seminggu ini, dan aku siap untuk menghadapi semuanya. Termasuk bersekolah lagi,” jawab Bim, mantap.
Nila merasa lega mendengar keinginan Bim. “Bagus! Kita akan sama-sama menghadapi masalah di sekolah, ya?”
“Ya!” Bim menjawab dengan senyum tulus. “Aku tidak ingin mengecewakan kamu lagi, Nila.”
Setelah mengobrol beberapa saat lagi, Bim pamit. “Aku harus pergi sekarang. Makasih sudah mendengarkan. Besok kita jumpa di sekolah, Nila!”
“Jangan lupa untuk memberi kabar, Bim!” seru Nila, mengingatkan saat Bim melangkah pergi.
Setelah Bim pergi, Bu Mira menatap Nila dengan tersenyum. “Kamu tahu, Nila, penting untuk memiliki teman seperti Bim. Dia tampaknya bisa jadi tempatmu berbagi.”
Pak Candra mengangguk setuju. “Ya, sepertinya Bim adalah anak baik. Kita harus mendukung persahabatan kalian.”
Dengan perasaan senang dan lega, Nila berbalik dan melihat ke arah taman. Hari yang awalnya sepi kini terasa lebih ceria. Dia merasa bersyukur memiliki keluarga dan teman yang selalu ada untuk mendukungnya, apalagi di saat sulit. “Mungkin minggu depan kita bisa mengajak Bim ke sini lagi, ya?” usul Nila, kembali bersemangat.
“Kenapa tidak? Kami pasti sambut dia,” kata Bu Mira, menatap putrinya dengan bangga.
Dengan biasanya, hari Minggu Nila kali ini telah membawa harapan baru, dan ia siap untuk menghadapi hari-hari yang akan datang dengan semangat.
*****