Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 5. Malam Itu luar Biaza

"

Semalam begitu luar biasa. Dara tidak bisa lupa.

Thian, luar biasa jantan.

Entah siapa yang tercandu-candu, ia ingin lagi dan lagi. Pembicaraan semalam membuat Dara memutuskan membeli beberapa barang untuk Thian. Ia yakin, setelah ini Thian akan semakin sering datang ke apartemennya. Ia hanya ingin membuat laki-laki itu betah dan nyaman.

Pembahasan semalam soal siapa yang lebih hebat di antara ia dan Nina, terlanjur menggelitik hatinya. Untuk apa membela Nina di hadapannya? Kenyataannya Thian menyukai servisnya.

Ia ingin meledek Thian dengan hal kecil mengenai Nina, saat lelaki itu kembali menginjakkan kaki di apartemennya. Jadi siang ini ia sengaja mampir mengunjungi SitaNina, toko keramik milik Nina. Ia memasukkan dua pasang mug lucu yang tampak nyaris serupa hanya berbeda warna. Satu untuknya dan satu untuk Thian. Ia juga membeli sepasang cangkir.

Sebuah mobil sedan hitam yang tampak memasuki parkiran menarik atensinya. Dari balik kaca, ia melihat seorang pria gagah berwibawa turun keluar dari mobil sedan hitam. Tetapi pria berikutnya yang turun dari mobil membuat hatinya seketika membuncah bahagia.

Ia melihat Thian.

Dara melihat Thian dan pria berwibawa itu segera masuk ke dalam toko. Dara bersembunyi sejenak di balik rak. Ia melihat seorang gadis dan seorang pria berseragam safari membuntuti Thian dan pria berwibawa tadi.

"Siang Pak Thian," sapa kasir yang sedang berjaga.

"Bu Nina ke sini nggak?" tanya Thian seketika.

"Enggak Pak."

"Bu Sita?"

"Tadi keluar."

"Udah santai," ucap Raynor. "Bantuin saya milih aja."

Thian segera menyusul Raynor yang melihat-lihat.

Dara diam-diam mendekati rak di mana Thian berada sambil menahan senyuman.

Kenapa ia bisa bertemu Thian di saat seperti ini? Seharian ponsel dengan nomor baru lelaki itu tidak aktif dan ia menyimpan rindu sendirian meski kemarin sudah bertemu. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Senyuman Dara mengembang lebih lebar.

"Ini semua, handmade?" Raynor menatap takjub deretan cangkir-cangkir di dalam rak.

"Handmade Pak. Ipar sama istri saya sendiri yang ngelukis semua barang di sini."

"Wah hebat. Pinter istri kamu." Raynor menatap takjub. "Tapi lebih pinter kamu milih istri."

Senyuman Thian lepas begitu saja. Ia yakin memang tidak salah pilih. Siapa pun selalu memandang takjub pada Nina. Bahkan dari semua istri para pejabat bank di gedung perkantorannya, Nina dikenal sebagai istri yang paling cantik. Tidak hanya cantik, mereka semua juga mengenal Nina sebagai pebisnis yang sukses. Beberapa kali Nina mendapat undangan untuk mengisi acara seminar UMKM, tetapi istrinya itu belum percaya diri berbicara di depan orang banyak.

"Kata Sarayu ini udah sampe pasar Eropa?"

"Iya Pak. Malah sebelum banyak yang tahu, udah sering kirim ke Eropa. Lebih banyak kirim ke Inggris sama Perancis."

"Keren banget! Jualnya lewat apa?"

"Instagram Pak, sama website. Untuk pembeli dari luar negeri, ada website khusus."

"Ini prospek banget Thian."

"Iya Pak." Thian tersenyum.

"Saya jadi bingung, milih yang mana ini. Sherly, bantuin pilih." Raynor memberi instruksi.

Thian menoleh sejenak untuk mengamati keadaan toko yang kebetulan tidak terlalu ramai. Ia terkejut saat melihat Dara melintas sambil membawa keranjang belanja. Wanita itu tersenyum sekilas ke arahnya sebelum menuju rak lain.

Hah?

Jantung Thian bagai berhenti berdetak. Mendadak tubuhnya dijangkiti aliran listrik. Ia mengecek Raynor yang sedang tampak sibuk memilih bersama Sherly. Sementara Rudy supir mereka sedang melihat-lihat di rak bagian lain.

Thian diam-diam bergerak menyusul Dara. Ia melirik sejenak CCTV yang terpasang di segala penjuru toko. Thian sampai di lorong rak yang sepi. Ia berlagak melihat-lihat sambil melirik Dara yang juga melirik ke arahnya.

"Jangan noleh ada CCTV," ucap Thian pelan. Ia tidak ingin pergerakannya tertangkap oleh monitor yang berada tepat di sebelah meja kasir. Ia dan Dara kini saling memunggungi. "Ngapain ke sini?" tanya Thian dengan nada pelan.

"Beli cangkir."

"Kamu sering ke sini?"

"Langganan," jawab Dara berbohong.

Thian menghela napas berat.

"Cari toko lain. Jangan ke sini lagi." Thian menatap deretan cangkir pada rak di depan matanya.

"Nggak usah larang-larang deh. Aku suka belanja di sini." Dara berbalik dan kini berdiri di sampingnya. Thian segera menjauh beberapa langkah.

"Semalem enak." Cengiran jahil Dara mengembang.

"Diem."

"Takut apa sih? Nggak ada istri kamu."

"Diem!" setengah berbisik Thian melirik gusar.

Dara berlagak menyusuri deretan cangkir di rak saat mendekati Thian.

"Aku udah kangen. Telpon aku." Dara melirik Thian yang hanya membisu menatap kaku deretan cangkir di dalam rak.

Dara segera berlalu dan berpapasan dengan gadis yang tadi datang bersama Thian. Gadis itu tampak menatap wajahnya sejenak.

Sherly hanya bisa menyimpan kagum saat melihat gadis kelewat cantik dengan bibir merah pekat berjalan melewatinya. Gadis dengan wajah angkuh itu hanya melirik sekilas ke arahnya.

Langkah Sherly terhenti saat ia akhirnya menemukan Thian.

"Pak Thian, Bapak sudah milih." Sherly menyerahkan keranjang di tangannya. Tentu ia tidak ingin mengantre untuk membayar, lagipula jadwal Raynor padat. "Kata Pak Raynor sekalian dibungkus. Bisa nggak ya Pak?"

"Bisa," jawab Thian salah tingkah dan segera mengambil alih keranjang dari tangan Sherly. "Sebentar, saya suruh pegawai dulu." Thian segera berlalu.

Sherly kembali melihat-lihat. Kedua matanya tanpa sengaja menangkap gadis berbibir merah pekat yang kini sedang mengantre dan terang-terangan memperhatikan Thian ketika melintas.

Thian terlihat berbicara dengan salah seorang pegawai yang sedang berjaga. Pegawai itu kemudian segera membawa keranjang dari tangan Thian.

Thian kini bergerak mendekati Raynor dan Rudi. Sherly diam-diam memperhatikan gadis berbibir merah pekat yang selalu tampak menoleh ke arah Thian.

Sherly tahu Thian memang kelewat tampan. Tapi apa perlu terang-terangan melihat dengan cara seperti itu?

Kedua mata Sherly kini tertarik memperhatikan penampilan gadis itu dengan lebih detail. Dress hitam pendek sebatas paha yang dipadu outer rajut. Heels tinggi, juga tas tangan branded dengan gantungan boneka yang menjadi icon salah satu boyband Korea.

Aha, sepertinya mereka satu fandom tetapi berbeda bias. Senyuman Sherly merekah begitu saja.

Tunggu. Ia seperti pernah melihat pemandangan seperti itu. Tapi di mana? Boneka itu, juga tas tangan branded yang seperti pernah ia lihat sebelumnya. Tas tangan lucu yang diam-diam ia cari berapa harganya di website resmi.

Sebentar. Bukankah ini gadis di dalam lift?

Bibi Sherly terbuka lebih lebar dan kedua matanya tanpa sadar memicing lebih tajam, saat ia mengingat sosok gadis yang menahan pintu lift ketika ia hendak turun ke lobi sewaktu menginap di Ritz Carlton.

Saat itu ia dan kekasihnya sama-sama tertegun menatap gadis berwajah luar biasa cantik yang tiba-tiba muncul. Mereka berasal dari lantai yang sama. Gadis itu berdiri di depan mereka dan kedua matanya saat itu menangkap bibir merah pekat, tas tangan branded, dan gantungan boneka.

Sherly menutup pelan bibirnya saat kembali melirik ke arah Thian yang tampak sedang berbincang dengan Raynor. Ia ingat sekarang. Ia bertemu gadis itu di hari yang sama saat ia tanpa sengaja memergoki Thian keluar dari salah satu kamar.

Secara kebetulan, Sherly menangkap pergerakan mata Thian yang juga melirik ke arah gadis itu berdiri.

Sherly sebentar-sebentar memalingkan wajah agar Thian tidak menyadari tatapannya. Beberapa kali ia melihat ke arah Thian dan menemukan lelaki itu juga beberapa kali mencuri pandang ke arah gadis berbibir merah.

Sherly segera mengangkat ponselnya dan diam-diam mengambil foto Dara. Ia berlagak mengambil video suasana toko dan diam-diam menangkap gadis itu ke dalam kamera. Ia turut menangkap Raynor, Thian, juga Rudi dalam rekaman videonya. Mereka semua tidak menyadari perbuatannya.

Berikutnya dengan senyuman tipis ia mengetik pesan pada Inka.

'Gue punya gosip tentang bos lo yang ganteng. Duh, nggak sabar. Nanti kita ketemu ya.'

Send. 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel