Pustaka
Bahasa Indonesia

Bikin K-O Wanita Penggoda Suami Orang

83.0K · Ongoing
Love Angel
74
Bab
438
View
9.0
Rating

Ringkasan

Awalnya Nina ingin menyudahi pernikahan nya dengan Thian setelah mengetahui kalau suami tampan nya berselingkuh dengan seorang pelacur. Namun saat menyadari kalau betapa ruginya melepaskan pria tampan lagi kaya ke pelukan seorang pelacur, Nina pun mulai mengatur strategi untuk mengenyahkan pelacur itu dari kehidupan suaminya. berhasilkah...?

RomansaPerselingkuhanWanita CantikDewasa

Part 1. Nikmatnya Suami Orang

Pelacurnya itu menyambutnya dengan senyuman teramat lebar begitu ia menginjakkan kaki di lobi.

Thian membuntuti Dara yang sudah mengenakan baju tidur dan berjalan menuju lift. Sejenak ia memperhatikan daster sebatas paha yang sebenarnya tampak biasa saja. Hanya menampakkan sedikit kulit di atas lutut, tetapi otaknya sudah terlanjur kotor.

Pintu lift terbuka. Thian mengikuti Dara. Mereka sampai pada salah satu pintu. Dara membuka pintu dan mempersilahkannya masuk.

"Maaf ya, tempat aku kecil." Dara tersenyum.

Thian melangkah masuk dan mengamati sejenak suasana di apartemen Dara.

Ia melihat ruang tamu, meja makan, dan dapur. Kedua matanya bahkan sudah bisa menangkap pintu kaca menuju balkon.

Memang kecil.

Thian melepas sepatunya dan menginjakkan kaki ke atas karpet sebelum duduk di sofa tanpa merasa perlu menunggu ijin Dara. Ia yakin pasti diijinkan.

"Mau minum apa?" Dara berjalan menuju kulkas.

"Air putih aja." jawab Thian sambil meletakkan ponsel di atas meja kemudian mengaktifkan mode senyap.

"Masa cuma air putih?"

"Apa aja. Cepet please." Thian melirik jam tangannya.

Dara kembali dengan minuman teh kemasan. "Sabar Pak. Udah nafsu?"

"Istri aku nunggu," jawab Thian dengan tatapan gemas.

"Ahahaha!" tawa Dara lepas begitu saja. "Itu juga yang kamu bilang, waktu pertama kali kita ketemu!"

Thian hanya mengangkat kedua alis kemudian membuka botol teh kemasan di atas meja.

"Kenapa tiba-tiba pingin lagi? Yang kemarin enak ya?" goda Dara pada Thian yang sedang menenggak minumannya.

Thian kembali menutup botol minumannya sebelum menjawab, "Enak."

Senyuman Dara mengembang lebih lebar.

"Enak banget. Kamu hebat. Ayo lagi." Thian menatap nakal tubuh ranum Dara yang tersembunyi di balik daster. Ia tidak akan ragu memuji performa binal pelacur itu.

Tidak butuh waktu lama agar ia kembali tenggelam dalam pelukan Dara.

Suara tertahan wanita itu bagai nyanyian merdu di telinganya.

Spring bed Dara berguncang, seiring aktivitas panas mereka di atasnya.

Thian menggerung nikmat, saat melesak kencang di dalam celah rapat Dara.

Ia hanya mau celah nikmat Dara.

Pelacur itu tak henti-hentinya mencumbu wajah dan bibirnya.

Satu hentakan keras mengawali denyut nikmat di bawah sana, sebelum hentakan lain yang menyusul lebih pelan.

Thian berhenti dengan napas tersengal di telinga Dara.

Tubuhnya kini seringan kapas setelah bercinta seperti banteng di musim kawin.

Thian menarik pelan dirinya dan menemukan senyuman Dara.

Sebatang rokok dinyalakan, setelah ia melepas kondom dan membersihkan diri seperlunya di kamar mandi. Thian memilih merokok sebentar di balkon sebelum pulang.

"Kamu bakal sering mampir?" tanya Dara pada Thian yang tampak sedang memandangi suasana gedung-gedung bertingkat di luar sana.

"Maybe."

"Kamu udah kasih aku nomer khusus."

"Nomor itu aku tinggal di kantor." Thian melirik Dara. "Kalau pas aku ke sini, ya aku telpon kamu kayak tadi pake nomor yang biasanya. Habis gitu aku blokir lagi nomor kamu."

"Repot amat Pak.... " Dara menekan bibir sebagai isyarat ejekan.

Thian hanya membisu.

"Apa kamu sekarang butuh aku?" Dara turut menyalakan sebatang rokok.

"He-em," jawab Thian singkat.

"Kenapa? Apa istri kamu udah kurang memuaskan?" tanya Dara dengan senyuman jahil yang langsung mendapatkan lirikan tajam Thian.

"Kalau aku lagi sama kamu, jangan bahas istri aku."

"Kenapa?"

"Buat apa?" Thian kembali menyesap rokoknya.

"Aku penasaran. Kamu sebelumnya kayak laki-laki yang cuma cinta istri. Kenapa tiba-tiba berubah? Kan aku pingin tahu, aku yang hebat atau istri kamu yang lagi nggak fungsi... "

Thian rasanya ingin tertawa. "Aku akuin servis kamu oke."

Tawa Dara meledak seketika. Benar-benar merasa tersanjung.

"Jadi hebat mana, aku apa istri kamu?"

Thian melirik malas.

"Jawaaab."

"Istri aku."

"Kok bisa? Kata kamu, servis aku oke."

"Iya. Kamu kan memang tukang servis cowok. Istri aku bukan tukang servis cowok" Thian menghembuskan asap rokoknya dengan santai.

Dara terdiam seketika. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan jawaban seperti ini.

"Bayangin aja kamu tukang servis AC. Pas AC rusak, kamu cuma perlu sampaikan masalahnya di mana dan perbaiki. Nggak perlu tanya yang lain-lain. Aku cuma mau sebatas itu. Jangan bahas istriku pas lagi sama aku. Karena saat aku ke sini, aku cuma mau pake kamu. That's it."

Dara mengangguk mengerti. "Jadi, aku cuma tukang servis Titit kamu ya?"

"Iya." Thian mengangguk cepat.

"Tapi, kamu nggak bayar aku lho." Dara mengernyitkan dahi. "Pelacur itu dibayar. Daripada pelacur, aku lebih mirip pacar kamu nggak sih?"

Thian menatap tak percaya. "Kalo bayar, aku nggak ke sini lagi. Tapi aku nggak mau pacaran sama kamu."

"Enak di kamu dong?"

Thian mendekat dan membuat jarak mereka kian tipis. Sengaja menggoda Dara.

"Punya aku yang paling tangguh kan?" bisiknya nakal.

Tawa Dara lepas begitu saja. Ia berjinjit dan mengecup gemas bibir Thian.

"Aku pulang. Aku turun sendiri." Thian melepas pelukannya.

"Bye suami oraaanggg." Dara melambaikan tangannya dan menatap punggung Thian yang bergerak menjauh.

Senyumannya sirna begitu punggung Thian menghilang di balik pintu. Ia tentu saja bisa menerima, jika hanya dianggap sebagai pelampiasan nafsu. Memang itu tugasnya selama ini. Tetapi Dara tidak mengerti, terselip rasa sedih saat ia mendengarnya dari bibir Thian barusan.

Percintaan mereka gila. Luar biasa membara. Baru saja dimulai, tetapi harapannya sudah terbawa lebih jauh.

Diam-diam Dara membayangkan, seandainya saja ia menjadi simpanan eksklusif Thian. Ia sanggup bertahan dengan bibir berengsek lelaki itu selamanya. Ia sanggup menunggu Thian yang datang hanya demi menuntaskan nafsu. Ia bersedia menjadi bayangan yang selalu disembunyikan Thian.

Tetapi Thian tidak akan pernah berniat sejauh itu. Ucapan Thian masih melekat di kepalanya.

"I don't invest in prostitute."

             _______________________

Nina segera menuruni ranjangnya saat ia mendengar suara kendaraan di depan pagar. Diam-diam ia mengintip melalui jendela dan melihat Esih yang membukakan pagar untuk Thian.

Nina melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari lewat lima belas menit.

Thian terlihat memasuki halaman. Nina segera kembali ke atas ranjang dan menarik selimut. Ia segera memejamkan mata saat mendengar derap langkah Thian. Berpura-pura tidur.

Dari mana dia?

Pertanyaan itu tertinggal di dalam benaknya. Tadi Diajeng sempat memberi kabar, bahwa Dharma sudah meninggalkan lokasi janjian semenjak pukul sebelas kurang. Ada jeda waktu dua jam. Entah ke mana Thian selama rentang waktu itu.

Thian membuka pintu kamar dan langsung mengisi daya ponselnya sebelum menuju toilet. Tidak lama kemudian Nina mendengar gemericik suara shower.

Malam-malam begini mandi? Apa dia baru saja bertemu dengan perempuan lain? Nina sangat yakin, Thian baru saja menemui perempuan itu.

Tidak lama kemudian Thian muncul dari kamar mandi. Nina tetap memejamkan mata saat Thian memakai piyama hingga berbaring di sisinya. Ranjang sedikit berguncang ketika Thian memunggunginya dan memeluk guling.

Nina menatap tajam punggung Thian. Terdengar hembusan napas tenang suaminya. Teringat saat Diajeng berkisah pada dirinya.

"Waktu gue tahu Dharma ada indikasi selingkuh, gue bertekad cari bukti. Selama gue cari bukti, gue tetep layanin Dharma kayak biasanya. Awalnya berat sih, tapi gue harus tetep lakuin itu supaya Dharma mikir gue nggak tahu apa-apa, jadi gue bisa lebih leluasa cari bukti. Karena semakin dia mikir gue nggak tahu apa-apa, dia bakalan lengah."

Nina merasa ucapan Diajeng kala itu ada benarnya. Ia menatap nanar punggung Thian.

Jadi kamu pikir, bisa bohong tapi selamat?

Nina segera mendekat dan menempelkan kepalanya pada punggung Thian.

Thian yang nyaris jatuh tertidur, otomatis membuka kedua matanya yang tinggal beberapa watt saja. Ia menoleh dan mendapatkan senyuman Nina.

"Nina, kamu belum tidur?"

Nina tidak menjawab dan menaiki tubuh Thian, membuat suaminya menatap kaget.

"Ni... Nina?"

Nina tersenyum saat melihat Thian telentang di bawahnya sambil menatap heran.

"Aku kangen," ucap Nina dengan nada manja, kemudian mendaratkan kecupan singkat pada bibir Thian.

Thian tertegun sejenak, tenggelam dalam perasaan bingung sekaligus bimbang. Ia sudah sangat lelah setelah bercinta gila-gilaan dengan Dara. Energinya sudah habis tak bersisa. Dan mendadak, Nina sedang ingin.

"Mmm.... " Thian menggumam pelan. "Kebetulan aku lagi capek banget. Kalau misal besok gimana?" tanyanya dengan senyuman kikuk.

"Yaah, padahal baru aja aku ngerasa kangen. Kamu udah bikin aku bete lagi!" Nina menatap ketus. Ia baru saja hendak menyingkir dari tubuh Thian, ketika tangan Thian menahan tubuhnya.

"Eh.. eh! Jangan marah lagi. Please." Thian menatap memohon.

"Aku mau kamu Sekarang," ucap Nina dengan raut dingin.

Thian menelan ludah. Ia merasa tidak punya pilihan. Berikutnya ia menarik Nina ke dalam pelukannya dan mengecup lemah bibir istrinya meski sudah luar biasa mengantuk.

Ia memutuskan melayani istrinya, mumpung suasana hati Nina sedang bagus.

Malam itu Thian melaksanakan tugasnya meski napas luar biasa ngos-ngosan. Rasanya seperti lari maraton tanpa akhir.

Nina hanya menahan senyum saat melihat Thian sudah teramat sangat kepayahan. Ia bahkan tidak ingin mengambil alih. Ia memang sengaja mengerjai Thian.

"Harder... " Ia memberi instruksi di telinga Thian yang sudah kehabisan napas.

Thian mati-matian memaksa dirinya meski sudah ingin menyerah. Rasanya bagai kehilangan nyawa. Jantungnya berdebar keras dan seluruh tulangnya terasa rontok.

"Harder Thian... "

"Mmmh... " Thian menggerakkan pinggulnya dengan sisa tenaga. Tapi lagi-lagi ia berhenti karena kelelahan dan hanya berusaha meraup oksigen sampai tenggorokannya kering.

Permainan macam apa ini? Thian membatin sedih. Rasanya ia ingin merengek menyudahi ini semua, tetapi sungguh malu pada kejantanan yang terlanjur dipuji-puji sungguh amat gagah.

"Harder!"

"Iya, iya Nina... " Thian berusaha semampunya dan mendapatkan tamparan keras di pantatnya.

Ia tertegun sejenak menatap Nina dengan napas yang nyaris habis.

"Biasanya kamu gagah lho!" Nina melayangkan protes dan mencubit pantat Thian keras-keras.

Thian rasanya ingin menangis. Egonya merosot drastis. Sebenarnya, ia hanya ingin tidur.

"Ayo Thiaaaan...." Nina merengek. "Yang bener dong ah!" Nina cemberut.

Thian dengan seluruh tenaga yang tersisa kembali menggerakkan pinggulnya. Deru napasnya berhamburan di telinga Nina. Ia menggeram lelah hingga pada akhirnya kembali sampai.

Sudahlah. Ia menyerah. Thian ambruk di atas tubuh Nina dengan napas putus-putus. Rasanya bagai selamat dari sekarat. Thian bahkan dapat merasakan jantungnya berdetak luar biasa kencang. Tubuhnya terasa panas seketika.

Nina diam-diam tersenyum. "Makasih ya," ucapnya kemudian sambil mengusap rambut lepek Thian.

Thian hanya mengangguk lemah sebelum menarik pelan kejantanannya.

Ia bahkan sudah tidak sanggup untuk turun demi melepas karet di toilet. Jadi ia hanya melepasnya dan menjatuhkannya begitu saja di atas piyama yang tergeletak di karpet.

Kedua matanya tertutup seketika.

Nina menatap Thian yang terkapar kelelahan.

Rasain. Sudut bibirnya membentuk senyuman sebelum perlahan sirna.

Ia pandangi wajah lelah suaminya. Sungguh kasihan tapi ia memilih tega. Kedua mata Nina menyusuri tubuh polos Thian. Ia menyalakan lampu di atas nakas dan diam-diam mencari jejak wanita lain. Ia tidak menemukan apa pun. Sepertinya Thian bermain cukup rapi. Nina menarik selimut dan menutupi tubuh Thian yang sudah mendengkur dengan bibir terbuka.

Perlahan rasa perih dari hatinya merambat naik hingga ke kedua mata.

Air matanya kembali menetes. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan untuk Thian.

Sepertinya, Thian memang baru saja berbagi hasrat dengan perempuan lain.

Nina menghapus air matanya dan kembali mengecek ponsel Thian. Tidak ada apa pun. Ia juga tidak menemukan jejak riwayat mencurigakan.

Di mana Thian menyembunyikan perempuan itu? Nina bertanya-tanya. 

 

             ____________________________

 

"Thian. Bangun."

Usapan pelan di pipi membuat Thian mengangkat kelopak matanya yang terasa sangat berat. Ia melihat Nina, duduk di tepi ranjang.

"Nina... " Thian segera duduk tegak meski kepalanya juga masih terasa berat.

"Mandi. Kamu harus berangkat ke kantor."

Senyuman Thian lepas begitu saja. Semalam Nina sudah memutuskan berbaikan. Thian sudah tidak ingin tahu lagi apa salahnya. Ia tidak ingin mengungkit masalah itu untuk saat ini.

"Ini, minum dulu. Buat balikin energi kamu." Nina memberikan segelas susu hangat.

"Makasih ya." Thian segera menyesap pelan susunya.

"Pangkal paha kamu merah, dicipok siapa?"

"UHUK!" Thian segera terbatuk. "Hah? Apa?" tanyanya dengan wajah panik.

"Paha kamu merah. Aku liat semalem ada bekas cipokan."

Thian segera menyadari ia ternyata masih polos di balik selimut.

"Nggak sama siapa-siapa!" Thian segera mengintip ke dalam selimut dengan jantung berlarian di dadanya. Takut jika servis yang diberikan Dara semalam meninggalkan jejak, padahal ia sudah mewanti-wanti agar pelacur itu tidak meninggalkan bekas apa pun. Tapi seingatnya tidak ada hisapan selain pada anunya.

"Aku bohong." Nina menyungging senyuman jahil.

"Ha?" Thian menatap hampa wajah usil Nina.

"Kaget amat sihhh! Hahahahaha!" Nina tertawa sambil menepuk sebelah paha Thian.

Jadi kamu disepong? Tentu saja! Pasti gila! Nina membatin di dalam hati sambil mengingat jejak lipstik di celana dalam Thian.

"Ya ampun Nina." Sebelah tangan Thian reflek memegangi dadanya yang masih berdebar. Ia pikir ia ketahuan. Thian kembali mengingatkan dirinya, tidak mungkin Nina tahu. Selama ini ia tidak pernah meninggalkan jejak apa pun. Nina sama sekali tidak pernah tahu mengenai aktivitasnya yang satu itu. Selama ini, ia berada sangat jauh dari pantauan radar Nina.

"Ya lagian, kenapa kamu kaget? Emang kamu semalem disepong? Nggak kan? Kenapa kamu panik?" Nina tertawa kering sambil menuding wajah datar Thian.

"Ya kaget aja.... " Thian kehilangan kata-kata.

"Aku cuma bercandaa! Akhir-akhir ini kita tegang banget." Nina mengusap pelan bahu Thian yang masih memandanginya dengan tatap cemas.

"Mana mungkin kamu disepong cewek lain. Kamu kan, laki mahal."

Thian menelan ludah dan menurunkan pandangannya. Ucapan Nina barusan terasa bagai sindiran.

"Eh ya udah mandi sana! Atau aku mandiin?" Nina menatap genit. "Aku masih kangen lhoo!" Nina berlagak memainkan rambut.

Thian meringis sambil menatap enggan. "Nina aku capek. Jangan sekarang ya?"

"Yang semalem nggak enak! Kamu loyo!" Nina berlagak cemberut.

Thian hanya bisa membeku menatap Nina. Seumur pernikahannya dengan Nina, dari setiap malam-malam hebatnya, baru kali ini Nina melayangkan protes seperti ini.

Ego-nya merosot seketika. Mendadak ia marasa gagal jantan di hadapan Nina. Tetapi semalam ia memang sudah kelelahan.

"Oh..... " Thian hanya bisa menggumam pelan. "Nggak enak ya?"

Nina melirik dengan tatapan sebal.

"Ya... ya udah nanti malem. Nanti malem aku puasin kamu." Thian tersenyum kikuk. "Aku makan dulu, istirahat dulu, biar Abhijay gagah lagi." Thian menatap penuh harap.

"Liat ntar deh!" Nina bangkit dan menuju pintu. "Dah buruan mandi!" Kemudian mengedipkan sebelah mata dengan genit sebelum lenyap di balik pintu.

"Houuuh!" Thian memegangi pinggangnya. "Ah Ya Tuhan, pegel banget."