Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 2.Istri Juga Bisa Binal

Pukul sepuluh malam, Thian baru saja tiba saat mendapati rumahnya tampak sepi. Kemana semua orang? Ia menutup pintu dan mengamati keadaan sekeliling, benar-benar hening. Jendela kaca sudah tertutup tirai. Thian melewati ruang tamu dan tiba di ruang keluarga. Ia meletakkan tasnya begitu saja di atas sofa besar berwarna light grey yang menghadap televisi berukuran besar.

Sepatunya menginjak karpet abu-abu gelap. Ia menatap ke arah pintu kaca yang menghadap halaman samping rumah. Tidak terlihat Davka yang biasanya bermain di tepi kolam renang. Benar-benar hening. Apa semua orang sudah tidur?

Thian menuju ruang makan dan membuka kulkas empat pintu, kemudian mengamati sejenak keadaan kulkasnya yang penuh. Pilihannya jatuh pada sebotol air mineral dingin. Thian segera membuka botol yang masih tersegel dan menenggak hingga separuh botol. Ia meletakkan begitu saja sisa minumannya di atas meja kemudian bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.

Thian melepas kancing teratas kemejanya, sementara dasinya sudah ia tanggalkan di kantor. Ia melewati kamar Davka dan membuka pintu perlahan. Ia melihat putra semata wayangnya itu sudah tertidur pulas di balik selimut. Thian berjalan mendekat dan duduk dengan perlahan di tepi tempat tidur, tidak ingin membuat Davka terbangun.

Di bawah cahaya temaram ia menatap wajah Davka. Diam-diam tersenyum memuji ketampanan putra tunggalnya. Davka mewarisi mata elangnya, juga hidung mancungnya. Kulit Davka lebih terang dari kulitnya, mirip seperti kulit Nina yang lebih cerah.

"Sleep tight, Son... " bisiknya pelan sebelum mendaratkan ciuman pada kepala Davka.

Thian kemudian bangkit dan mematikan lampu, sebelum kembali menutup pintu. Kemudian ia berjalan menuju pintu lainnya.

Thian baru saja akan membuka pintu, ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka dan wanita dengan bibir merah wine muncul dalam balutan lingerie satin berwarna senada.

Dagunya terjatuh begitu saja. Nyaris tidak percaya Nina muncul dalam penampilan yang sangat niat. Maksud Thian, riasan di wajah Nina. Biasanya Nina memberinya kesan kecantikan polos dengan lip balm tipis di atas bibir.

"Wow." Thian menatap takjub. Lebih tepatnya sedikit terkejut.

Dari semua warna lipstik, kenapa merah wine? Ingatannya kembali terseret pada sosok asing di antah berantah.

"Selamat malam, Pak Thian Mahadevan." Nina menarik sedikit sudut bibirnya. Kedua mata genit menatap suaminya sendiri, yang kini tampak sangat terpukau dengan penampilannya malam ini.

Oh. Tanpa sadar Thian mengangkat kedua alis. Sapaan yang sama, bahkan Ia masih mengingat dengan jelas, bagaimana Dara menyapanya di malam itu. Benar-benar serupa meski Nina tidak tampak sedingin wanita itu.

Kedua mata Thian bergerak menyusuri leher jenjang istrinya dan terhenti pada sepasang dada sekal yang masih tampak kencang.

Sepertinya tidak jauh berbeda dengan milik Dara. Eh, apa?

Thian tertegun, bukan dalam rangka mengagumi dada sekal. Tetapi luar biasa heran dengan apa yang baru saja terlintas di kepalanya.

Pagutan ujung jemari Nina pada dagunya membuat perhatian Thian kembali terpusat pada istrinya.

Senyuman nakal Thian mengembang, tatapannya menjelma liar, suatu reaksi yang hanya bisa disaksikan oleh Nina. Thian menerobos masuk, menutup pintu dan mendorong Nina hingga terjatuh ke atas ranjang besar mereka.

Tawa kecil Nina berderai, menggema indah di telinganya.

"Nggak ganti baju dulu?" Nina mengingatkan.

Thian tidak peduli. Tadi di kantor sebelum pulang ia sudah menyikat gigi dan sedikit bersih-bersih area di bawah sana. Seharian ia tidak berkeringat dan tetap terlihat tampan anggun berkarisma di dalam ruangan ber-AC.

Nina tidak lagi banyak bicara saat bibir Thian memagut kasar bibirnya. Benar-benar serampangan dan terburu-buru seolah mengejar durasi. Nina nyaris tidak percaya, penampilannya malam ini membangkitkan gairah Thian dengan begitu cepat.

Apa karena malam ini ia juga sengaja berdandan sedikit berbeda? Sepertinya Thian menyukainya.

"Kreeek!" Lingerienya robek, tepat di depan dada. Nina membelalak protes,tetapi sapuan lidah Thian pada areanya membuat Nina segera menelan kalimat protesnya.

Lingerie- nya bahkan masih baru. 

Tidak biasanya Thian menjadi kesetanan seperti ini.

Kilat tatapan Thian menemukannya. Nina hanya bisa pasrah saat Thian berangasan menuntaskan birahinya. Daripada seorang istri, ia merasa lebih mirip pelacur kini.

Tetapi Thian dengan segala kelihaiannya, nyaris tidak pernah membuat Nina sempat merasa kecewa. berguncang kencang, Thian mendengus dan menggeram penuh nafsu, sementara ia hanya bisa memekik tertahan berkali-kali.

"Thiaaaan!" Nina meremas kemeja Thian kuat-kuat saat puncak kenikmatan itu menerjang. Luar biasa gila.

Thian berhenti dengan napas tersengal. Rambut sudah berantakan seluruhnya. Thian mengangkat wajahnya kemudian mengecup pelan bibirnya.

"Thanks Honey," ucapnya pelan. Sudah sangat lemas sekarang.

Nina hanya menaikkan kedua alis. Bahkan Thian, tidak sempat melepas kemejanya.

"Kamu malem ini beda. Kayak horny banget." Nina menatap Thian yang kini telentang di sampingnya.

Thian melirik sambil tersenyum. "Kamu s3ksi," jawabnya kemudian.

"Kamu suka lingerie aku?" Nina menunjuk lingerie yang sudah tampak sobek di bagian dada. "Ganas banget!" Nina menatap protes dengan senyuman tertahan.

Thian hanya bisa menunjukkan cengiran di wajah. "Lipstik kamu," jawabnya sambil melihat lipstik yang sudah beleber ke mana-mana.

Nina menatap tak percaya, Thian kini bahkan tampak tenggelam menatap wajahnya.

"Kamu suka warna ini? Ya ampun! Aku kira bakal berlebihan lho! Kamu kan biasanya suka yang soft."

"Buat tidur sama aku nggak berlebihan." Thian kembali tersenyum sebelum menuruni ranjang dan memunggungi Nina sambil melepas kemejanya.

"Kalau kamu suka, bakal sering aku pake."

Sejenak perasaan bersalah menyelinap ke dalam hati Thian. Ia menatap nanar karpet di bawah kakinya.

"Sesekali aja." Thian menolak. "Aku masih suka kamu yang cantik natural."

"Masih suka?"

"Maksudku... aku lebih suka kamu yang kayak biasanya. Itu maksudku." Thian buru-buru meralat kalimatnya. Debaran kecil muncul di dada. "Aku mandi dulu." Thian segera menuju kamar mandi pribadi di kamar mereka. Menutup pintu dan duduk lemas di atas closet.

Kedua tangan menutupi wajahnya sejenak sebelum ia menggeleng kecil.

Cukup Nina.

Thian merasa jahat sekarang. Biasanya hanya ada Nina, tempat seluruh kekaguman dan pemujaannya bermuara. Selama ini Nina tidak pernah menjelma orang lain. Tak tergoyahkan, tak tergantikan, meski hanya dalam fantasi sekali pun.

Aku barusan ngapain? Thian menundukkan wajahnya sejenak, diam-diam merenungi dosa kecil yang hanya ia ketahui sendiri.

"Nggak pa-pa sekali-kali nakal. Laki sukses wajar kayak gini. Rileks Thian! Bini lo nggak bakal tahu!" Terngiang ucapan Edo, salah satu sahabat karibnya yang diam-diam memelihara sugar baby. Mereka baru saja bertemu dua pekan yang lalu, saat sedang melewatkan waktu dengan bermain golf. Edo dan beberapa temannya yang lain, memang memilih menjalani gaya hidup seperti itu. Tidak cukup hanya dengan satu wanita.

"Lo selingkuh nggak bakal ketahuan Man, asal main cantik! Nggak mungkin bini lo bisa pantau 24 jam!" ucap Edo sebelum mengayunkan stik dan memukul bolanya.

Bola itu melayang jauh dan jatuh beberapa meter di depan.

"Emang bini lo mau blusukan ke apartemen mana gitu? Nggak bakal tahu dia, asal lo pinter. Gue buktinya. Udah ganti sugar baby lima kali dan bini gue nggak pernah tahu sisi liar gue. Jangan munafik Thian. Siapa yang bisa tolak surga dunia?"

Jangankan memikirkan hal semacam itu, membayangkannya saja tidak pernah. Edo kerap menjulukinya suami-suami takut istri, laki-laki cupu, cemen, dan sederet olokan lainnya. Dengan segala pertimbangan, Thian memilih menjaga jarak dan mengurangi interaksi dengan Edo. Bukan karena tersinggung, sama sekali tidak. Melainkan ia takut terpengaruh dan tergoda dengan iming-iming Edo.

Hanya sesekali ia menyempatkan waktu dengan Edo, sekadar untuk menjaga hubungan baik. Kebetulan lelaki yang menjabat sebagai salah satu direktur perusahaan asing itu juga sangat sibuk.

Thian merasa hal semacam itu tidak pernah menarik minatnya, meski ia sangat bisa melakukannya. Tetapi untuk apa? Thian tidak melihat alasan untuk melakukan hal-hal salah semacam itu.

"Cuma sama istri boring lah! Kita laki butuh adrenalin!" Bara, salah satu temannya yang juga merupakan CEO sebuah perusahaan migas sependapat dengan Edo.

Thian bukannya salah memilih teman. Akan tetapi kedua temannya itu sudah lebih dulu terseret dalam arus godaan.

Adrenalin? Thian sungguh tidak habis pikir. Sama sekali tidak masuk di logikanya. Jika memang berniat menantang adrenalin, lelaki-lelaki pemberani itu seharusnya mendaki gunung Everest, ikut arung jeram, atau terjun payung sekaligus. Kenapa berselingkuh dianggap menantang adrenalin?

"Kita udah stress kerjaan. Kayak lo, Thian. Bener gaji lo gede! Tapi sekali perform lo nggak bagus, lo diganti sama dewan komisaris. Nggak ada ampun! Kita berhak seneng-seneng! Kita udah kasih uang belanja yang banyak buat bini! Boleh dong kita icip-icip yang lain." Bara membuat pembelaan diri.

"Rasanya beda Thian. Lo nggak bakal ngerti." Edo menimpali.

Thian ingat betul, saat itu ia hanya geleng-geleng kepala sambil menanggapi dengan cengiran main-main.

"Thian belum kena aja," Edo menatap ke arahnya.

"Bener. Belum kegoda aja." Bara mengurai senyuman remeh seolah ia memang belum benar-benar bertemu dengan godaan itu.

Hanya berjarak dua pekan setelahnya, ia bertemu dengan Dara. Apa ini kutukan dari teman-temannya yang berotak cabul?

Thian menanggalkan pakaiannya dan mulai membilas tubuhnya di bawah pancuran air.

Tiba-tiba pintu kamar mandi dibuka. Senyuman Thian lepas begitu saja saat ia melihat Nina yang sudah polos tanpa busana mendatanginya dan bergabung di bawah pancuran air.

Lihatlah istrinya. 

Siapa yang butuh selingkuh?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel