Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Grand Opening II

Anasera dapat melihat penjaga keamanan ketat yang berdiri di depan pintu masuk. Selain bertugas menjaga keamanan, mereka juga bertugas memastikan jika tamu yang hadir di acara tersebut benar-benar hanya atas undangan.

Di hadapannya terhampar karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke ujung ruangan.

Anasera menelan ludah, gugup, lalu berjalan mendekati pintu. Petugas keamanan menghentikannya dan meminta undangannya. Dia segera menunjukkan ID karyawan sebelum diizinkan masuk ke tempat itu.

Matanya mengamati aula yang didekorasi indah bak pesta perjamuan. Dia merasa cemas karena hari ini dia akan bertemu dengan bosnya untuk pertama kalinya. Terbayang di benaknya saat terakhir kali berbicara dengan bosnya di telfon, Anasera tanpa sengaja memanggilnya bodoh. Kenangan itu masih terasa memalukan untuknya. Anasera menghela napas panjang dan mendesah. Dia melihat beberapa pejabat penting berjajar masuk, dan hanya bisa mengagumi mereka dari kejauhan.

Tepat saat itu, salah satu karyawan berjalan mendekatinya. "Syukurlah kamu ada di sini," Ayu menghela nafas lega seolah-olah penyelamatnya telah tiba.

Anasera menatap Ayu dengan tatapan bingung, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dia hanya bisa menyaksikan Ayu yang menarik tangannya dan membawanya ke ruang tunggu tempat karyawan lain sedang berkumpul.

"Anasera sudah ada di sini," ujar Ayu dengan senyuman lega pada teman-teman sesama karyawan.

Anasera dapat melihat ekspresi tegang di wajah mereka mulai mereda. "Hai semuanya," katanya dengan nada aneh.

“Ini bukan waktunya memberi salam, cepat keluarkan mahakaryanya sebelum bos tiba di sini,” kata Bayu.

Anasera terkekeh, "Sorry, apa yang kamu bicarakan? Mahakarya itu masih ada di kantor sebelum aku pergi. Bagaimana mungkin bisa ada padaku," balasnya.

“Apa maksudmu tidak ada padamu? Lalu siapa yang mengambilnya” ucap Lita dengan nada tidak ramah.

Hati Anasera langsung mencelos, "tunggu! Maksudmu ada yang mencuri mahakarya itu" ucapnya dengan ekspresi kaget.

"Anasera sebaiknya kau hentikan lelucon konyol ini dan serahkan mahakarya itu pada kami" teriak Bayu marah.

Bayu adalah salah satu manajer di anak perusahaan Ortiz Company. Dia selalu bersikap tegas dan serius. Satu-satunya saat mereka melihat giginya hanya pada akhir bulan.

"Aku akan mengatakan ini untuk terakhir kalinya. Kalung itu tidak ada padaku" kata Anasera yang sudah meninggikan suaranya. Sejak dia hamil, dia hampir tidak bisa mengendalikan emosi dan perubahan suasana hatinya.

"Baiklah kalau begitu, karena kamu tidak mau mengakuinya mari kita hubungi bos untuk menyelesaikan masalah ini" kata Bayu sambil mencoba menghubungi nomor bosnya.

Tak lama kemudian sang bos masuk dengan dua bodyguard yang berperawakan seram dibelakangnya. "Selamat malam, Tuan" seru mereka dengan gugup.

Pandangan Maximillano langsung tertuju pada Anasera yang sedang berdiri bersama yang lain, ia mengenakan gaun polos biasa yang longgar namun perempuan itu mampu menarik perhatian sang bos. Penampilannya sederhana dan memukau, begitu memanjakan mata. Perempuan itu hanya menunduk sejak Maximillano masuk ke ruangan tunggu tersebut hingga ia tak menyadarinya jika Maximillano sedang menatapnya dengan intens.

'Tapi tunggu, kenapa dia terlihat familiar?'  Maximillano berpikir dalam hati.

Anasera dapat merasakan jika bosnya sedang melihat ke arahnya. Dia mengangkat kepalanya dan langsung berhadapan dengan mata zamrud milik sang bos.

“Apa yang terjadi di sini?” Tanya Maximillano dengan suara yang sangat dingin dan datar hingga mampu membuat seseorang merinding.

"Tuan..." Bayu terhenti sejenak, merasakan gumpalan kegelisahan menyelimuti dirinya. Bahkan dengan kedudukan yang cukup tinggi di perusahaan, ia masih merasa terintimidasi.

Bayu menarik napas panjang, ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara, "Maaf Tuan, Nona Anasera mengatakan jika mahakarya itu tidak ada padanya." Gemetar dalam setiap suara, Bayu secara tidak sengaja tergagap saat berbicara dengan Maximillano, menyiratkan ketakutan yang mengendap dalam dirinya terhadap kemungkinan reaksi tak terduga Maximillano.

"Apa maksudmu tentang pemeran utama dalam grand opening ini hilang?" seru Maximillano marah, membuat mereka tersentak ketakutan.

"Aku pikir kalian mampu menangani tugas sekecil ini, ternyata aku salah besar. Seharusnya aku tidak pernah mempercayakan pekerjaan ini pada kalian. Seorang pekerja dari perusahaan induk pasti lebih bisa diandalkan daripada kalian semua."

Maximillano berjalan mendekati mereka dengan langkah penuh amarah, "Aku yakin kalian semua sadar akan hal yang aku benci. Pekerjaan yang berantakan dan tidak terorganisir! Ini adalah hari-H grand opening, bagaimana kalian bisa seceroboh ini?!" Suasana ruangan itu tiba-tiba menjadi hening, udara terasa begitu berat, dan rasa penyesalan yang begitu mendalam menyelimuti semua yang ada di dalamnya. Semua sadar, mereka telah membuat kesalahan besar.

Bisakah dibayangkan betapa kagetnya Maximillano saat menyadari skenario yang akan terjadi? Wajahnya pasti akan terpampang di semua surat kabar, majalah, dan stasiun televisi, dengan berita utama lainnya yang menggetarkan seluruh tanah air.

"Karya agung yang menjadi topik perbincangan beberapa bulan belakangan ini menghilang begitu saja! Sungguh tak terduga!" gumamnya penuh gelisah, seraya bayangan-bayangan tentang kegemparan yang akan melanda masyarakat semakin menyiksa hati dan pikirannya.

Dia telah mendengar kabar bahwa Ronald Bourbon, pemilik Bourbon Entertainment yang akhir-akhir ini menjadi rivalnya, bakal hadir di sini. Bukankah ini akan menjadi tamparan keras bagi wajahnya? Bukankah ini hanya akan semakin mencoreng citranya? Semakin Maximillano merenungkan hal itu, semakin larut amarah yang membara dalam dirinya.

Dia menatap mereka satu per satu dengan sorot mata tajam bagai mata belati yang siap untuk menyambar mangsanya, "Jika kalian semua tidak berhasil menemukan mahakarya tersebut dalam waktu 30 menit sebelum pembukaan acara, kalian semua akan kehilangan pekerjaan, bukan hanya itu, aku juga akan memastikan jika kalian semua tidak akan bisa bekerja di perusahaan manapun" ucap Maximillano dengan penuh gertakan, sebelum perlahan melangkah menjauh.

Semua orang mengalihkan pandangan mereka kembali ke Anasera dengan tatapan marah, "teman-teman, aku tidak melakukan kesalahan apa pun, aku bersumpah itu bukan aku" Ujar Anasera mencoba membela diri tetapi mereka tidak terlihat yakin dengan kata-katanya.

Itu adalah salah satu hal yang tidak bisa dia toleransi ketika mengatakan kebenaran tetapi sepertinya tidak ada yang mempercayainya.

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa kami semua akan mempercayaimu? Kami semua di sini tahu jika kamu telah diusir dari keluarga Wijaya, dan sekarang sedang mengandung anak yang ayahnya bahkan tidak jelas, dan hidup menumpang di tempat sahabatmu," ungkap Lita dengan nada sinis dan yang lain mengangguk-angguk seolah setuju dengannya.

Anasera tidak mengerti, kenapa mereka selalu melihat segala sesuatu dari sisi negatif? Pikiran mereka begitu sempit, apa mereka tidak pernah melakukan kesalahan? Air mata tak kuasa Anasera tahan, keluar mengalir deras dari matanya. "Lita, perhatikan kata-katamu!" tegur Anasera dengan suara serak karena kesedihan yang menyayat hati. Apakah mereka benar-benar tak akan mempercayai kata-katanya hanya karena situasinya saat ini? Bukankah setiap orang berhak mendapat kesempatan untuk menjelaskan dan diberi kepercayaan?

'Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk membuktikan bahwa aku tidak seburuk itu di mata mereka?' ujar Anasera dalam hati.

Lita mendengus, "Kenapa aku harus menjaga kata-kataku? Di mana letak kesalahanku atau kamu bisa memberitahu kami semua disini siapa ayah dari anakmu yang belum lahir?" dia bertanya dengan sinis.

"Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku. Aku tidak ikut serta dalam obrolanmu yang tidak relevan itu," kata Bayu dan segera menelepon seseorang.

Anasera mencengkeram gaunnya erat-erat, emosinya hampir hancur saat itu. Namun dia tahu harus menahan semua perasaan pahit tersebut.

'Aku tidak bisa menunjukkan kelemahanku di depan mereka, itu hanya akan membuat mereka semakin bahagia dan menyerangku dengan pandangan sinis mereka,' batin Anasera dengan tegas.

Orang-orang di ruang tunggu mengobrol dengan riuh, sedangkan Anasera berdiri diam di sudut ruangan bagai patung, berusaha keras menjaga ekspresinya tetap netral dan tidak menunjukkan apa yang sedang melanda hati dan pikirannya.

Drrttt... Drrttt.. Drrttt...

Ponsel Bayu mulai berdering. Dia melihat sekilas ke ID si penelepon dan itu adalah panggilan dari keamanan perusahaan.

"Pasti ada beritanya," gumamnya lalu mengangkatnya.

"Halo Ya,"

......

"Apa!" Bayu berseru dan menutup telepon.

......

Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Bayu menoleh dan menatap Anasera dengan tatapan penuh amarah. "Selama ini dugaan kami ternyata benar tentangmu. Kami menemukan potongan kalung yang hilang dari leher manekin itu di dalam laci meja kerjamu!" ujar Bayu, membuat seluruh orang di ruangan itu terkejut.

Anasera merasa seakan-akan dunianya runtuh, gemuruh kencang terdengar di kepalanya. "Aku bersumpah, aku tidak mengambilnya! Pasti ada yang sengaja menaruhnya di situ untuk menjebakku," ucap Anasera terbata, kali ini dia tak mampu menahan air matanya lagi.

"Kamu bisa mengatakan hal itu pada bos nanti," ujar Bayu dengan nada tegas, lalu langsung menelepon bosnya kembali.

"Halo Tuan, kami menemukan potongan kalung yang hilang itu di laci meja kerja Nona Anasera."

Sementara itu, Lita tersenyum miring, seolah mengejek perasaan Anasera yang tengah hancur. "Kalian semua akhirnya bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata Tuan Prabu Wijaya benar mengusirnya, aku yakin ini bukan kali pertama dia mencuri," sindir Lita, membuat seluruh orang di sana mengangguk bodoh, mempercayai tuduhan tersebut.

Anasera benar-benar kecewa. Dia sudah tampak putus asa, dia tahu tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa dia katakan saat ini untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah setelah semua bukti mengarah padanya.

Ketika bos masuk, pria itu langsung berkata dengan suara tajam, "Nona Anasera, mengingat Anda adalah seorang wanita dan juga sedang hamil, saya akan menunjukkan belas kasihan dengan tidak melibatkan polisi. Namun, mulai sekarang Anda dipecat."

Anasera mengambil tasnya dan memandang semua orang di ruangan itu dengan senyum tipis sebelum pergi. Senyuman itu seolah menyimpan begitu banyak makna yang bahkan Anasera sendiri tak bisa mengerti apa yang ingin disampaikannya.

Maximillano mengikuti langkah Anasera dengan pandangan sedih, menyaksikan punggungnya yang perlahan menghilang dari pandangannya.

"Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa perasaan bersalah ini begitu menghantui? Apakah benar dia tidak bersalah, dan hanya menjadi korban fitnah semata?" gumam Maximillano dalam hati. Ia terus menenangkan diri, mencoba memahami berbagai perasaan yang tak bisa dihindari saat melihat Anasera pergi.

Dalam lubuk hati yang terdalam, entah kenapa Maximillano merasa sakit hati dengan kondisi Anasera saat ini. Tetapi apa daya, keputusan sudah diambil, dan berbagai emosi bercampur aduk di dalam pikirannya: kesedihan, simpati, dan penyesalan yang mendalam.

Anasera melangkah keluar gedung dengan lesu, seolah-olah langkahnya tak lagi memiliki semangat. Perasaannya teramat hancur, kenangan buruk di tempat kerjanya terus menghantui pikirannya. Dia menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan air mata yang membanjir di pelupuk matanya.

Anasera tak ingin orang-orang di sekelilingnya tahu bahwa dia telah meninggalkan pekerjaannya dalam keadaan hina; dicap sebagai pencuri oleh rekan-rekan yang seharusnya menjadi pendukungnya.

Dalam keadaan tertekan, Anasera terus berjalan tanpa peduli arah, hingga tanpa sengaja ia bertabrakan dengan dada kokoh seorang pria. Dia tersandung, hampir saja jatuh ke tanah. Namun tangan hangat pria itu segera menangkap bahunya, menstabilkan posisinya dan membantunya kembali berdiri.

Anasera mendongak perlahan, sadar bahwa dia masih berada di sekitar tempat itu. Matanya berkaca-kaca, menatap lekat sosok pria di hadapannya, yang menawarkan senyum penuh kehangatan dan pengertian.

"Apa kamu baik baik saja?" pria itu bertanya.

Pria itu melihat ekspresi pucat Anasera dan segera menyadari bahwa perempuan itu sedang hamil. "Nona, kenapa kamu terlihat begitu linglung? Di mana suamimu? Bagaimana bisa seorang wanita hamil sendirian berkeliaran di malam hari seperti ini?" tanyanya dengan nada prihatin.

"Aku... Aku tidak punya suami," jawab Anasera dengan suara yang lemah, sedih dan getir.

Wajahnya yang lesu membuat pria itu semakin merasa iba. Melihat tatapan sedih di mata Anasera, pria itu seketika menyesali pertanyaannya.

"Ah, maafkan aku yang telah mengungkit hal yang tak patut, Nona. Semoga jiwa suamimu istirahat dalam damai," ucapnya seraya menghela napas panjang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel