Ringkasan
Menikah dan memulai sebuah keluarga selalu menjadi impian setiap gadis. Dhiajeng Anasera, seorang wanita muda berusia 23 tahun, terjaga semalaman karena meratapi nasibnya yang malang. Bagaimana tidak, pada malam menjelang pernikahan, takdir seolah menampar wajahnya dengan kenyataan pahit, saudara perempuannya ternyata mengandung anak dari tunangannya. Hati Anasera serasa dihujam oleh seribu jarum saat kebenaran itu muncul begitu saja di depan matanya. Dunianya runtuh, tak lagi memiliki pijakan. Dalam keputusasaan yang memuncak, Anasera pun memilih mabuk-mabukkan dan akhirnya bermalam bersama seorang pria asing. Tak ada yang tahu ke mana arah hidupnya akan berbelok setelah tragedi itu. Akankah dia mampu mengatasi gelombang rintangan yang menghadang? Atau mungkin, di ujung perjuangannya, ia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini dicarinya?
1. Penghianatan
Anasera duduk dengan senyum puas di wajahnya sambil menatap tunangannya yang duduk di kursi di seberangnya. Sebelumnya, pria itu telah menghubunginya melalui telepon bahwa dia memiliki sesuatu yang penting yang ingin dia bicarakan dengan Anasera.
Udara penuh dengan kedamaian dan ketenangan, namun keheningan di antara mereka mulai mengusik Anasera. Mereka sudah saling menatap lebih dari sepuluh menit, tanpa ada yang berinisiatif untuk memulai percakapan. Rasa penasaran Anasera semakin memuncak, hingga akhirnya dia memutuskan untuk memecah kesunyian di antara mereka.
“Sayang, tumben kamu tiba-tiba mengajakku ke restoran favorit kita?” kata Anasera sambil membalik menu dengan malas.
Kaivan menggigit bibirnya, tanda bahwa dia sedang merasa tegang dan memberikan tekanan pada dirinya sendiri. Dia meraih tangan Anasera, membuat perempuan itu mengangkat pandangannya dari menu dan kembali menatap wajah Kaivan yang tampak seperti ukiran batu giok.
"Sayang, santai saja, aku tahu kita akan memasuki fase baru dalam hidup kita besok. Kamu tahu menikah denganmu selalu menjadi mimpi terbesarku, ak-" Sebelum Anasera menyelesaikan kalimatnya, Kaivan lebih dulu memotong ucapannya.
"Maaf aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini" Kaivan langsung menyampaikan kabar itu.
Kaivan tidak bisa melihat perempuan itu memaksakan harapan dan mimpinya atas sesuatu yang sekarang sangat mustahil.
Anasera tertawa terbahak-bahak "Sayang, kamu sekarang tahu cara membuat lelucon ya? Kamu tahu ini tidak lucu" Ujar Anasera.
Kaivan terdiam untuk beberapa saat memikirkan bagaimana caranya menyampaikan maksudnya pada Anasera agar tidak terdengar kasar.
"Ana, aku serius, aku membatalkan pernikahannya," ucap pria itu lagi dengan wajah datar.
Senyuman di wajah Anasera perlahan memudar, air mata sudah mengalir di pelupuk matanya.
"Apakah ini semacam lelucon baru, Kaivan?" ujar Anasera dengan suara serak, seakan-akan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya.
"Apa sebenarnya yang sudah aku lakukan sampai-sampai kau berbuat begini padaku?" Anasera mencoba menenangkan diri, mengesampingkan tatapan orang-orang di sekitarnya yang entah mengapa ikut menilainya.
Merasa ingin tahu, dia mendekatkan wajahnya ke pria di hadapannya, menggenggam erat tangan Kaivan yang terasa dingin dan gelisah.
"Aku tak mengerti, Kaivan. Apakah ada sesuatu yang salah dalam diriku? Aku berjanji akan berubah jika itu yang kau inginkan, tolong katakan saja apa yang harus kulakukan," pinta Anasera dengan nada penuh harap, ingin mendengar jawaban yang memuaskan dari pria yang selama ini telah menjadi tunangannya.
Kaivan menarik tangannya perlahan dari genggaman Anasera, kemudian memalingkan wajahnya dari wanita itu.
Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam benak Anasera, takut akan jawaban yang akan didengarnya.
"Aku butuh penjelasan tentang apa yang akan terjadi dengan semua persiapan yang sudah kita buat. Yang kumaksud adalah aula, para tamu, makanannya..." ucap Anasera dengan gelisah.
"Pernikahan akan tetap dilangsungkan, tapi tidak denganmu," ujar Kaivan tegas, menusuk hati Anasera.
Anasera terdiam, merasa seperti terjatuh ke jurang yang dalam. Air mata yang sejak tadi ia tahan dengan sekuat tenaga, akhirnya mulai mengalir di pipinya. "Tidak denganku? Apa maksudmu? Siapa dan apa yang kamu bicarakan?" Anasera bertanya dengan suara hancur, berusaha mengendalikan perasaannya yang ingin meledak.
Apa yang salah denganku? pikir Anasera dalam hati.
Apakah aku tidak cukup baik untuknya? Ataukah dia telah menemukan kebahagiaan di tempat lain? Semua persiapan yang sudah kita lakukan bersama, apa itu semua sia-sia?
Perasaan pahit, kecewa, dan sakit seketika menghancurkan harapan yang ada di dalam hati Anasera, begitu Kaivan mengucapkan kalimat tersebut.
Tidak ada pilihan lain selain berusaha menanyakan semua pertanyaan yang berkecamuk di dalam otaknya, saat ini pikirannya benar-benar dalam keadaan kacau.
Namun sebelum Kaivan sempat menggumamkan satu kata pun, sebuah suara hak high heels menarik perhatian mereka berdua. Anasera bisa merasakan debaran dalam dadanya ketika suara langkah kaki mendekat dan terhenti di dekat mereka.
"Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, Anasera sayang..." Terdengar suara yang sangat akrab di telinganya. Anasera merasa detak jantungnya semakin kencang dan tanpa ragu, ia langsung mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah wanita itu.
Tepat seperti dugaannya, di hadapannya berdiri adik tiri perempuannya, Kaylasha Radinka Wijaya.
Anasera tak mampu menyembunyikan rasa bingung dan kekecewaan yang melanda pikirannya.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Anasera dengan mata terbelalak, sementara ia melihat adik perempuannya yang begitu saja melingkarkan lengannya di leher Kaivan.
Tidak hanya terkejut karena melihat Kaylasha di sini, tetapi juga kebingungan akan peran serta adiknya dalam situasi ini, membuat Anasera merasa jebolan pertahanan dalam hatinya mulai robek. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tercekat di kerongkongan, rasa ingin mengetahui semakin menggerogoti pikirannya, namun disaat yang sama rasa takut akan jawaban yang akan didapatkannya juga mulai menyeruak.
Semakin banyak pikiran yang berkecamuk membuat Anasera tidak tahu bagaimana harus mengendalikan emosinya yang kini menjadi sebuah bom waktu.
Kaylasha menoleh ke arah Anasera sambil tersenyum puas.
"Kaivan Danuja dan Kaylasha Radinka Wijaya akan menikah besok, itu kabar terbarunya," ujar Kaylasha enteng.
Mendengar berita itu, hati Anasera seketika terbelalak kaget, dia merasa seolah-olah langit runtuh menghantam tubuhnya. Anasera tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya.
"Omong kosong apa yang kamu bicarakan Kay?" ucap Anasera dengan meninggikan suaranya, kesal terbayang dari wajahnya.
Kaylasha menoleh ke arah Kaivan sambil mencibirkan bibirnya seperti anak kecil yang dianiaya.
"Maukah kamu mengatakan sesuatu dan menjelaskannya?" kata Kaylasha genit sambil membelai rambut pria itu dengan lembut.
"Aku akan menikah dengan Kaiva dan itu saja," kata Kaylasha lagi.
Anasera merasakan perasaan campur aduk antara marah, bingung, dan frustasi.
'Apakah mereka benar-benar akan menikah? Atau hanya gurauan yang keterlaluan?' Pikiran Anasera berkecamuk dengan seribu pertanyaan.
Anasera tiba-tiba menjadi marah, dia mengangkat tangannya dan menampar wajah Kaylasha.
Plak....
Perasaan Anaserapun meluap, betapa pahitnya kenyataan ini untuknya. Mengapa mereka tak berbicara jujur sejak awal? Seandainya Anasera mengetahui kabar ini sebelum terlambat. Namun, apa yang bisa dilakukan sekarang? Marah? Menangis? Atau mungkin membawa hatinya yang remuk menghadapi kenyataan yang tak terelakkan ini.
"Bagaimana kamu bisa mengkhianati saudaramu sendiri?" seru Anasera dengan penuh emosi.
"Aku tak pernah menyakiti perasaanmu, bahkan selalu berusaha memperlakukanmu lebih baik daripada yang lain, namun kamu tega menghianati ku." Suara teriakan Anasera pecah, seolah mengungkapkan kesedihannya yang terpendam.
Kaivan yang hanya terdiam menatap Anasera seolah menjadi penguat rasa sakit yang diakibatkan oleh pengkhianatan tersebut. Rasa marah pun semakin bergejolak di dalam diri Anasera, membuat darahnya seperti mendidih.
Dalam amarahnya, Anasera mengangkat tangannya hendak memukul Kaylasha kembali untuk kedua kalinya, namun tiba-tiba saja Kaivan yang lebih dulu meraih tangannya, dan menampar wajahnya.
Plak...
Anasera merasa terkejut sekaligus sakit hati oleh tindakan Kaivan yang melampaui batas toleransinya. Anasera melebarkan matanya dalam keheranan, sambil memegangi pipinya yang terasa sakit. Ia tidak pernah menyangka jika tunangannya sendiri yang akan menambah luka dalam hatinya.
Kaylasha tersentak kaget. Dia heran ketika Kaivan tiba-tiba memukul wajah Anasera, tapi sejujurnya dia cukup senang dengan kejadian itu.
"Kaivan, apakah kamu sadar dengan apa yang sedang kamu lakukan? Aku ini Anasera-mu," ucap Anasera dengan suara tercekat, penuh harap agar suara hatinya dapat terdengar.
"Diam, bagaimana kau tega memukul ibu dari anakku yang belum lahir?" Suara Kaivan melenting seperti menggelegar, siap merobohkan sebuah atap.
Detik itu juga, Anasera merasa seperti ada b*m yang mel***k di kepalanya. Pikirannya seakan-akan tercabik-cabik saat suara tunangannya terus terngiang-ngiang di telinganya.
Tak mampu berucap, ia melihat ke arah perut Kaylasha yang sedikit membesar. Tangan Anasera terasa gemetar tak berdaya, jiwanya dilanda ombak kepedihan dan amarah yang bergulung bersamaan.
'Apa yang baru saja terjadi? Mengapa harus Kaivan yang melakukan ini padaku?' Anasera merenung penuh tekanan, seolah dunia seketika runtuh dalam tangisan hatinya.
Matahari pada hari ini seperti terhapus, hanya kesedihan yang tertinggal. Anasera menatap Kaivan dan Kaylasha yang berdiri bersama dengan tangan yang saling berpegangan erat. Ingin marah dan mengadu, tapi air mata sudah mengalir tak terbendung, menjadikan langkahnya terhenti dan terpaksa mundur.
Anasera tak kuasa menahan malu yang meliputi dirinya ketika tatapan pengunjung restoran tertuju ke arah mereka, menciptakan sebuah pemandangan penuh getir yang tak mampu terlupakan.
Manajer restoran itu keluar ketika dia mendengar keributan beberapa waktu lalu. Setelah dia mengetahui jika orang yang membuat keributan itu berasal dari keluarga terpandang, dia mengurungkan niatnya untuk menegur karena tidak berani ikut campur dalam urusan mereka.
Anasera mengambil tasnya dan berlari keluar dari sana. Dia bahkan tidak memikirkan apa pun yang dia mau hanyalah menjauh dari apa pun yang mengingatkannya pada kejadian ini.
'Aku tidak tahan melihat ini, mengapa harus terjadi padaku?' batin Anasera ketika dia berlari sejauh yang kakinya bisa membawanya.
Setelah berlari lebih dari lima menit, dia berhenti untuk mengatur napas. Dia meletakkan tangannya di dadanya yang berdebar kencang, yang mengejutkan dia masih memiliki hati, dia mengira jika hatinya telah hancur beberapa waktu yang lalu.
'Bagaimana mungkin hatiku masih mampu merasakan rasa sakit yang begitu dalam? Padahal aku merasa itu sudah hancur,' gumam Anasera dalam hati.
Saat ini Anasera tidak ingin pulang kerumahnya, dia hanya ingin menenggelamkan dirinya dalam kesedihan.
'Aku tidak akan bisa kembali dan menghadapi semua itu sekarang,' pikir Anasera.
'Mungkin, jika aku pergi ke suatu tempat, aku bisa melupakan semuanya sejenak.' Anasera kemudian mencoba untuk menenangkan diri, meresapi rasa sakit yang menghantui hatinya, berharap seiring waktu bisa menyembuhkan lukanya.
*
*
*
Dalam keadaan lemah, Anasera berusaha untuk menghentikan sebuah taksi yang melintas.
"La Factoria Bar," kata Anasera pada sopir taksi dengan suara serak dan lemah.
Sopir itu mengangguk, lalu ia masuk dan membawa Anasera menuju tempat yang wanita itu sebutkan tadi.
Sesampainya di bar, Anasera berjalan masuk ke bar dan segera menuju meja bar dengan langkah yang terlihat tidak pasti. Di pikirannya, ia mencoba merenungkan apa yang membuatnya kembali ke sini. Tempat yang seharusnya ia tinggalkan dalam hidupnya, tempat yang membuat perasaannya terombang-ambing.
Anasera tidak peduli, saat ini yang dia butuhkan hanyalah minuman yang bisa membuatnya melupakan masalahnya sejenak.
"Berikan aku segelas tequela," ujar Anasera pada seorang bartender.
Tanpa banyak tanya, bartender itu mengangguk dan meletakkan gelas yang sudah berisi teq***a di meja.
Anasera mengambil gelas tersebut dan menatapnya sejenak. Air matanya mulai menggenang, kenangan-kenangan yang menyakitkan kembali melintas dalam benaknya. Tetapi, dengan tekad yang tegas, ia menegakkan minuman tersebut sekaligus.
'Aku harus menghadapi kenyataan ini, tak peduli seberapa menyakitkan,' gumamnya di dalam hati.
"Berikan lagi" Ujar Anasera kembali pada bartender itu.
Bartender itu memberikannya dan sama seperti sebelumnya, Anasera meneguknya sekaligus untuk kedua kalinya, wajahnya sedikit mengernyit karena rasa minukan itu yang kuat.
"Lagi.."
"Lagi.."
"Lagi.."
Anasera merasa dirinya nyaris tidak sadar, mabukk yang mempengaruhi tubuhnya begitu kuat hingga sulit baginya untuk duduk diam. Padahal Anasera mengetahui bahwa dirinya memiliki toleransi alk***l yang buruk dan tak menyukai kondisi seperti ini, namun hari ini ia merasa butuh pelarian sejenak.
'Apa yang aku lakukan ini tidak benar, tapi kenapa aku tidak bisa menghentikannya?'
Tak lama, seorang pria berpenampilan misterius dengan hoodie hitam dan celana kasual hitam menghampiri Anasera dan duduk di sampingnya.
Pria tersebut menyimak Anasera yang tengah menari dengan penuh semangat namun dalam keadaan mabuk di tempat duduknya saat ini, pipi Anasera bahkan sudah merah padam akibat efek dari alk***l.
Tiba-tiba pria itu menepuk pundak Anasera dengan ringan, "Apa aku bisa menemani mu minum?" tanyanya dengan sopan.
Suaranya yang dalam dan menarik terdengar begitu enak di telinga Anasera, yang membuatnya penasaran dan menoleh ke arahnya.
'Siapa dia? Apakah ia akan menghukumku karena menyerah pada keadaan ini? Atau malah akan menemani ku yang terpuruk dalam keputusasaan? Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku?' pikir Anasera, bimbang dan penasaran dengan sosok pria yang baru ditemuinya itu.
Anasera bahkan tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Penglihatan Anasera semakin kabur, namun, dengan senyum bodoh di wajahnya, dia menyeringai, "Uh-huh. Cheers!" Anasera mendentingkan gelasnya dengan gelas pria di sampingnya.
Tanpa ragu, dia meneguk minumannya sekaligus. "Kamu tahu, hari ini aku mengetahui kalau saudara perempuanku sedang mengandung anak dari tunanganku. Menyedihkan, bukan?" ujar Anasera sambil menunjuk ke dadanya dan tertawa getir. Namun, di balik tawa itu, ada rasa sakit yang tak terucapkan, serta kekecewaan yang mendalam.
Pria di sebelahnya hanya diam, ia tidak mengatakan sepatah kata pun. Hoodie hitamnya menutupi separuh wajahnya, membuatnya terlihat misterius dan tak terjangkau.
Anasera hanya bisa menebak apa yang dipikirkan pria itu. 'Apakah dia mengerti perasaanku?' Batin Anasera dengan bingung dan penasaran.
Tanpa sadar, Anasera mengambil botol minuman dari meja dan meminumnya langsung dari botol, mencoba melupakan sejenak masalah yang tengah ia hadapi. Namun, meski minuman itu mampu menutupi rasa sakitnya untuk sementara, ia tahu bahwa sejatinya masalah tersebut tetap akan ada, menunggu untuk dihadapi dan diatasi.
"Aku minta maaf," ujar Anasera dengan kesal. Tiba-tiba, tangisnya pecah. "Bagaimana mungkin kedua orang yang aku sayangi melakukan hal keji seperti itu?" keluhnya sambil menyandarkan kepalanya di dada pria itu dengan lesu. Pria itu menundukkan kepalanya, tatapannya beralih ke bibir merah Anasera yang mempesona dan memikat seperti ceri. Cara wanita itu menjilat bibirnya sesekali hanya semakin membuat pria itu merasa tergoda.
Pria itu mengangkat dagu Anasera sedikit dan langsung menciumnya dengan b*as.
Anasera dengan rela menyerah pada pria itu dan dia mulai membalas ciuman pria itu sambil melingkarkan lengannya di lehernya.
Ciuman pria itu sangat mendesak, dia terus mencium Anasera hingga bibir perempuan itu menjadi panas dan bengkak, tetapi hal itu hanya menambah hasrat pria itu. Tangannya meraih pan**t padat Anasera dan dia meremasnya dengan kencang. Sambil melahap bibir Anasera, pria itu mengangkat anasera untuk menggendongnya dan membawanya menuju lantai atas.
Tbc.