2. Menghabiskan Malam Bersama Pria Asing
Keesokan paginya matahari bersinar terang, menembus jendela yang sedikit terbuka.
Brrriiing... Brrriiing... Brrriiing...
Suara telepon yang keras merobek udara pagi dan membangunkan Anasera dari tidur lelapnya. Seperti suara pesawat terbang yang mendarat di atas kepala, suara dering tersebut seolah berteriak menagih perhatiannya.
Anasera terus berpindah posisi, berharap suara itu akan berhenti, tetapi telepon tidak berhenti berdering. Dengan perasaan enggan dan mata yang masih setengah terpejam, Anasera membuka matanya sedikit dan tangannya mulai mencari-cari gagang telepon yang terasa begitu jauh untuk dijangkau.
Akhirnya, ia berhasil meraih gagang telepon dan segera suara resepsionis di seberang sambungan mengintrupsinya, "Selamat siang. Apakah Anda ingin check-out sekarang atau memperpanjang masa menginap Anda? Karena waktu menginap Anda akan berakhir hari ini."
Anasera mencoba mengumpulkan pikirannya sejenak, menimbang apakah ia harus pulang atau memperpanjang masa menginapnya di hotel. Namun, karena masih mengantuk dan merasa bingung dengan situasi yang ia hadapi saat ini, ia akhirnya memutuskan untuk berkata, "Aku akan segera memeriksanya," kata Anasera dengan nada suara cepat dan tidak ingin berlama-lama lagi dalam pembicaraan ini.
Anasera memegang kepalanya, dia merasa pusing seolah dunia disekitarnya berputar. Anasera tiba-tiba merasakan sakit yang menusuk di pinggangnya, dan hal itu sukses membuatnya meringis kesakitan. Anasera mencoba mengingat semua kejadian yang terjadi tadi malam tetapi gambarannya kabur dan hanya semakin memperburuk keadaan.
Tatapannya kembali ke bahunya yang terbuka, Anasera dengan cepat mengangkat selimutnya dan matanya membelalak karena terkejut.
Ada sisa darah yang keluar dari kewnitaannya, yang menandakan jika dia telah kehilangan kesuciannya.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi tadi malam?" Ujar Anasera lemah.
Anasera berusaha bangun dari tidurnya, namun rasanya pinggang dan kakinya seolah-olah baru saja dipukuli habis-habisan. Anasera bingung, haruskah dia tertawa atau menangis dalam situasi ini.
'Seberapa intens tadi malam?' pikirnya.
Anasera memerhatikan keseluruhan ruangan itu dengan jelas, namun dia tidak dapat menemukan seorangpun di sekitarnya. Dia bahkan tidak sempat bertemu dengan pria asing yang telah menghabiskan malam dengannya tadi malam.
Pandangannya beralih ke tempat sampah di dekat pintu. Anasera berusaha berjalan ke sana dengan susah payah. Setiap langkah yang diambilnya, dia bisa merasakan kakinya yang gemetar. Anasera berusaha mengorek tempat sampah itu, tetapi tidak ada k*ndom bekas di sana. Hati Anasera langsung tenggelam, yang berarti mereka tidak menggunakan perlindungan apapun saat melakukan itu.
"Atau apakah mungkin jika pria itu memasukkan k*ndom ke dalam sakunya?" gumam Anasera.
Anasera memukul keningnya, 'Bagaimana bisa ada seseorang yang melakukan hal yang menjijikkan itu. Hadapi saja kenyataannya Anasera, jika sekarang kamu sudah tidak suci lagi dan mungkin sebentar lagi akan ada benih pria asing yang tumbuh di rahim mu' gumam Anasera dalam hati.
'Bagaimana jika aku mengidap HIV atau sejenis penyakit kel*min lainnya?'
"Ya Tuhan, tolong aku" gumamnya sambil menutup matanya rapat-rapat saat pikirannya menjadi liar.
"Ah, f*ck! Pria itu memanfaatkanku saat aku m*buk dan kabur sebelum aku sempat menyadari semuanya" ucapnya sambil mendengus.
Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt..
Kali ini suara itu berasal dari tasnya. Anasera berjalan mendekat dan mengeluarkan ponselnya dari tasnya. Dia melirik ID si penelepon sambil memutar matanya saat mengetahui jika ibu tirinya yang jahat menghubunginya.
"Ada apa?" Anasera bertanya dengan dingin tanpa sedikit pun emosi.
"Hari ini adalah hari pernikahan saudaramu. Apakah kamu harus menunjukkan kepada seluruh dunia betapa kamu membenci adikmu," Kata Diana Wijaya, ibu tirinya di seberang telpon.
Anasera tertawa kecil dan menutup telepon tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Dia mengambil tasnya dan hendak pergi ketika matanya tanpa sengaja menemukan jam tangan mewah pria asing yang telah mengambil kesuciannya.
Anasera merasa tertarik dengan arloji itu. Dia mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas tangannya dengan santai.
“Aku akan menganggap ini sebagai kompensasi karena kamu telah membuat pinggang dan kakiku kesakitan seperti digebuk oleh orang satu kampung. Itupun jika harganya lebih dari seratus juta” Ujar Anasera sambil mendengus keras.
Setelah itu Anasera mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan di lantai lalu pergi dari sana. Sesampainya di basement hotel, dia langsung memesan taksi dan pergi meninggalkan hotel itu.
*
*
*
Sepanjang perjalanan, Anasera terus berusaha menekan otaknya untuk mengingat semua yang terjadi tadi malam, terutama wajah pria itu, namun tidak ada gambaran yang bisa ia temukan.
"Aku pasti sangat mabuk tadi malam." Ujarnya dalam hati.
*
*
*
Anasera tiba di rumahnya, dia turun dari taksi dan segera membayar ongkos taksi tersebut sebelum berjalan masuk. Rumah itu dipenuhi oleh pekerja dan pelayan yang sibuk. Aula itu didekorasi dengan indah dengan bunga-bunga biru dan putih dengan foto Kaivan dan Kaylasha berbentuk hati di tengahnya.
'Sepertinya sudah diadakan pesta juga di rumah ini' Pikir Anasera.
Anasera bertanya-tanya sudah berapa lama mereka menghianatinya. Dia telah berpacaran dengan Kaivan sejak kuliah. Anasera tidak menyangka jika satu hari menjelang hari pernikahannya dia akan mengetahui sesuatu sebesar ini.
Anasera berjalan menuju kamarnya dengan langkah gontai, melemparkan tasnya ke tempat tidur, lalu menghela napas sejenak. Perasaannya resah sekaligus penasaran terhadap hal yang terjadi padanya. Pemikiran tentang hari ini membuatnya terbebani, hingga ia memutuskan untuk mencoba meresapi apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuhnya.
Anasera melangkah masuk ke kamar mandi. Dengan hati-hati, ia melepas pakaiannya dan mengamati dengan seksama jika ada hal yang tidak biasa yang terjadi pada tubuhnya. Tiba-tiba, ia merasakan ada cairan yang mengalir di bagian kew*nitaannya. Tanpa ragu, Anasera memeriksa lebih jauh dan mendapati ada cairan putih kental yang keluar dari inti tubuhnya.
"Mengapa aku bisa lupa mampir di apotik untuk membeli pil kontra***si tadi?" Gumam Anasera.
Kesadaran bahwa ia telah lalai dalam memproteksi dirinya kini menjadi beban yang menghantui. Pikirannya melayang pada apa yang akan terjadi pada masa depannya, tentang bagaimana ia akan menghadapi keluarganya, dan tentang bagaimana ia akan menjalani hidupnya dengan konsekuensi yang mungkin akan dihadapinya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku bisa mengatasi situasi ini?" Anasera merasa kacau, bingung, dan takut akan apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah ini.
Mengabaikan pikiran buruknya saat ini, Anasera segera mandi dan keluar dengan jubah mandi putihnya.
Anasera mengenakan gaun merah muda dengan rambut diikat menjadi sanggul berantakan. Ia hanya melakukan rutinitas kulitnya tanpa membuang waktu untuk merias wajah sebelum keluar rumah.
Sopir sudah menunggu di bawah, dan tak lama kemudian dia sampai di gereja. Ini adalah gereja tempat dia seharusnya menikah dengan Kaivan. Anasera dengan gugup mendorong pintu hingga terbuka dan semua tamu sudah duduk dengan ramah.
Tatapannya menjelajah ke kejauhan di mana dia menemukan Kaivan dan Kaylasha berdiri di altar dengan pendeta yang berdiri di antara mereka saat mereka mengucapkan sumpah mereka.
Anasera menatap gaun pengantin yang dikenakan Kaylasha. Dia telah menatap gaun yang sama selama berminggu-minggu, ketika seorang desainer pakaian dari Italia membawakannya, dia dengan lembut meletakkannya dengan aman dan telah menantikan momen ini.
Melihat adiknya sendiri yang mengenakan gaun pengantin yang pas untuknya membuatnya mengepalkan tinjunya erat-erat.
Dia dengan lembut berjalan masuk dan duduk di kursi tengah, tidak ingin melihat senyum puas di wajah Kaylasha yang seperti mengatakan 'kemenangan adalah milikku'
Anasera berbelok ke kanan dan dia bisa mendengar beberapa wanita yang berbisik-bisik di antara mereka.
"Bukankah hari ini adalah hari pernikahan Anasera dengan Kaivan? Lalu bagaimana bisa Kaylasha yang merupakan saudara dari Anasera bisa berakhir dengan pengantin pria yang seharusnya berpasangan dengan Anasera?"
"Kudengar itu karena Anasera adalah anak tidak sah dari keluarganya"
Yang tidak diketahui orang adalah Anasera memiliki pendengaran yang tajam. Dia dapat dengan mudah mendengar orang-orang yang berbisik dari kejauhan tetapi saat ini dia berharap dia tidak pernah memiliki kelebihan ini.
Seseorang menepuk bahunya dari belakang, menyentaknya dari pikiran sedihnya. Anasera berbalik dan melihat seseorang yang melakukan itu dan dia mendapati jika itu adalah Arvany, teman sekolahnya.
"Ana, apa yang terjadi?" Tanya Arvany dengan suara pelan seperti berbisik.
Semua orang yang hadir di sini terkejut saat melihat Kaylasha dan Kaivan di altar dan bukan Anasera, tetapi tidak ada yang berani mengungkapkan pikirannya. Mereka hanya bisa bergosip satu sama lain atau lebih tepatnya menyimpan pikiran mereka sendiri.
Setelah upacara selesai, Anasea menghampiri sepasang pengantin itu untuk memberikan selamat.
"Selamat dan semoga sukses," Ujar Anasera sambil tersenyum dan berbalik untuk pergi.
"Anasera!" Panggil Kaivan sebelum Anasera berjalan pergi.
Anasera perlahan berbalik, "terima kasih dan kamu juga" Ujar Kaivan.
Anasera mengangguk dan langsung meninggalkan gereja.
Itu adalah hubungan lima tahun yang sia-sia. Dia menatap ke langit dan senyuman muncul di wajahnya. Dia percaya setelah badai pasti ada pelangi. Begitupun yang terjadi padanya saat ini, setelah duka yang dia alami saat ini akan ada kebahagiaan yang menantinya.
*
*
*
Anasera tiba di rumah dan dia sudah menduga jika pesta selanjutnya tidak akan diadakan lagi di rumah. Dia masuk ke kamarnya dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dengan kelelahan. Dia menutup matanya untuk beristirahat sejenak dan perlahan tertidur.
Saat dia membuka matanya, waktu sudah menunjukkan jam 10 malam.
"Ya Tuhan!" Anasera bergumam sambil segera bangkit dari tidurnya. Dia baru ingat jika dia belum membeli pil kontra***si. Anasera membuka lemarinya dan mengeluarkan celana jeans longgar dan kaos. Dia mengenakan topi dan masker untuk menutupi wajahnya.
Anasera tidak ingin ada orang yang melihatnya di apotek karena membeli pil kontra***si. Meskipun dia adalah putri tidak sah dari keluarga Wijaya, namun semua orang masih mengenalinya dan Anasera tidak mau menyeret nama keluarganya ke dalam lumpur karena keluarga Wijaya merupakan salah satu keluarga yang cukup terpandang di negara ini.
Anasera bisa saja memesannya secara online, namun dia tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Jika ibu tirinya mengetahui jika dia memesan pil kontra***si, maka dia akan diusir dari rumah untuk selamanya.
Nyonya Diana telah mencari cara untuk menyingkirkannya selama ini, dan jika dia sampai ketawan maka hal itu bisa menjadi peluang besar bagi nenek sihir itu untuk mengusirnya.
Setibanya di apotik, Anasera bergegas untuk membeli pil yang diinginkannya. Hatinya berdebar, mencoba meredam kegelisahan yang melanda. Setelah transaksi selesai, Anasera segera mengambil pil itu dan melangkah keluar dari apotek.
'Aku harus lekas melakukannya. Semoga ini menjadi jalan keluar terbaik.' Gumamnya dalam hati.
Begitu merasa tak ada yang melihat, Anasera langsung menelan pil tersebut dengan sekali tegukkan. Semua perasaan yang menyesakkan perlahan mulai mereda. Setelah mengkonsumsi obat tersebut, Anasera menghela nafas lega.
"Akhirnya, aku melakukannya. Aku berharap keputusanku ini tidak sia-sia," tutur Anasera dengan harap-harap cemas, meresapi setiap perubahan yang terjadi pada dirinya seiring pil itu mulai bekerja.
Ketakutan dan kekhawatiran masih membayang di benaknya, tetapi ada sedikit keyakinan yang mulai tumbuh bahwa keputusan ini akan membawanya pada jalan yang lebih baik.
Anasera menghela napas panjang sebelum melangkah kembali ke rumah. Hati-hati, ia membuka pintu dan merasa lega ketika melihat lampu dalam keadaan mati.
"Semoga mereka sudah tertidur," gumamnya pelan, berharap tak ada yang mendengarnya.
Dengan langkah kaki yang ringan, Anasera mulai melangkah menuju anak tangga. Namun, sebelum dia mencapai anak tangga, tiba-tiba lampu menyala. Jantungnya berdegup kencang dan ia merasa panik.
'Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah mereka melihatku?' Pikir Anasera ketakutan, sekaligus berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.