Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Mencari Identitas Anasera

Anasera terdiam sejenak dan hampir tertawa 'siapa bilang jika ayah dari anaknya sudah mati? Dia penasaran seperti apa ekspresi ayah dari anaknya setelah mendengar hal itu. Lagi pula bajingan yang menghamiliku memang pantas mendapatkannya. Aku akan menerima belasungkawanya' pikirnya.

“Terima kasih atas belasungkawa Anda,”

Pria itu mengangguk.

"Sudah larut malam, apakah kamu bersama seseorang?" tanya pria itu pada Anasera

Anasera menggelengkan kepalanya, "Aku sedang menunggu taksi" jawabnya dengan tenang.

"Emm.... Biarkan aku mengantarmu pulang" tawar pria itu dan Anasera hanya menatapnya dengan tatapan menyelidiki.

"Ayolah, aku tidak punya niat jahat padamu. Aku adalah seorang good boy, selain kamu sedang hamil bukankah aku akan membuat masalah yang lebih besar jika aku berbuat jahat padamu? Maksudku aku harus menyediakan makanan untuk dua orang" ucapnya dengan nada datar.

Anasera tertawa kecil, "bukan dua, tapi tiga," katanya sambil tersenyum.

“Oh maksudmu kamu sedang hamil anak kembar?" pria itu bertanya lagi dan Anasera mengangguk.

"Wow, itu berita bagus sekali. Aku berharap bisa mempunyai anak kembar juga di masa depan" ucapnya sambil memimpin jalan menuju ke mobilnya.

Dia memang terlihat seperti pria yang baik. Bagaimanapun juga, Anasera tidak yakin jika ia akan mendapatkan taksi, jadi dia memilih untuk menerima tawaran dari pria itu.

Setelah Anasera masuk, pria itu mengulurkan tangannya ke depan Anasera, "Saya Ronald Boubon, CEO sekaligus pendiri Bourbon Entertainment" ujarnya.

"Aku Dhiajeng Anasera" jawabnya dan berjabat tangan dengan pria itu.

“tanganmu lembut sekali” pria itu segera menyesali kalimatnya, dia salah karena telah mengutarakan pikirannya dengan keras.

Pipi Anasera merona, "terima kasih" Ujarnya.

Anasera cukup mengenal perusahaan Bourbon Entertainment saat dia masih belajar di Madrid. Dia sangat tersanjung ketika pria itu memujinya tadi.

Pria itu meminta alamatnya dan Anasera langsung memberikannya. Mereka melalui perjalanan dengan mulus dan senyap.

"Jadi kenapa kamu menangis beberapa waktu yang lalu?" Ronald bertanya, pandangannya terpaku pada jalan.

Anasera membeku untuk sesaat sebelum menggelengkan kepalanya, "tidak, tidak, aku tidak menangis," dia berbohong.

"Sungguh, matamu agak merah dan ada air mata kering terlihat jelas di sudut matamu," ucap Ronald.

Anasera dengan cepat menyentuh pipinya dan dia mendengar pria itu tertawa.

“Hanya bercanda tapi aku mendapatkan kebenaran dari lelucon kecilku. Jadi beritahu aku apa yang salah” katanya.

"A..aku, ceritanya panjang" jawab Anasera sedih.

"Kalau begitu aku ingin mendengarnya di lain hari. Masukkan nomormu di sini," kata Ronald sambil menyerahkan ponselnya pada Anasera.

Anasera tertegun namun dia memasukkan nomornya ke ponsel Ronald.

“Lalu apa yang kamu lakukan di acara Grand Opening itu?” Tanya Ronald lagi.

"Oh, aku dulu bekerja di sana," Ujar Anasera lesu.

"Dulu?" dia bukan orang bodoh, dia mampu memahami poin kunci dari kata-kata Anasera.

“Ya, aku kehilangan pekerjaanku,” kata Anasera sambil mengangguk.

"Aku minta maaf soal itu, Anasera," kata pria itu dan menginjak rem.

"terima kasih banyak atas tumpangannya" ucap Anasera setelah Ronald berhasil mengantarkannya ke tempat tujuannya.

"sampai jumpa" Anasera melambai pada pada Ronald yang masih berada di dalam mobil.

Ronald memperhatikan saat sosok Anasera masuk ke dalam gedung sebelum ia pergi dari sana.

*

*

*

Saat menginjakkan kaki di dalam gedung apartemen, Anasera melihat Arvany yang bergegas kembali ke sofa.

"Hmm, Ana, sejak kapan kamu berkencang dengan seorang pria? Kamu tak pernah memberi tahu aku soal itu," Ujar Arvany dengan nada menggoda.

"Vany, please! Jangan bicara yang tidak-tidak," Anasera terisak pilu, langkah kakinya serasa melayang entah kemana. "Aku... aku baru saja kehilangan pekerjaanku." Ujarnya sambil mencoba menahan tangis yang makin menjadi-jadi.

Arvany mengerutkan dahi, ragu dan bingung. 'Anasera terlihat baik-baik saja beberapa saat yang lalu, lalu bagaimana dia bisa berubah seperti ini? Apakah... Apakah ada yang terjadi?' pikir Arvany.

Dengan perlahan, Arvany mendekati Anasera dan membimbingnya menuju sofa. "Hey, apa yang sebenarnya terjadi? Tenangkan dirimu dulu,oke, lalu ceritakan padaku." Dia memberikan tisu untuk mengeringkan air mata yang membasahi pipi Anasera.

Setelah menghirup udara dalam-dalam, Anasera mengangguk dan mencoba bercerita. Dengan suara serak dan penuh emosi, dia mulai menceritakan semuanya kepada Arvany, berharap temannya itu bisa memahami derita yang tengah dihadapinya.

"Ya ampun, Aku sangat yakin jika kamu sudah dijebak oleh salah satu rekanmu itu," ujar Arvany dengan nada prihatin. "Jangan menangis lagi, oke! Setidaknya bosmu tidak memanggil polisi untuk menangkapmu. Jangan khawatir, mereka bahkan tidak pantas untukmu di sana," lanjut Arvany, berusaha menenangkan Anasera yang memeluknya erat dan membawa kepala Anasera ke bahunya.

"Jadi, bagaimana kamu bisa sampai di mobil pria itu?" tanya Arvany penasaran.

"Maksudmu, Tuan Ronald? Setelah aku dipecat, aku tenggelam dalam pikirankun saat berjalan dan tanpa sengaja aku menabraknya. Aku tebak, dia hanya merasa kasihan dengan kondisiku. Itulah sebabnya dia menawarkan tumpangan," cerita Anasera sambil menyeka air matanya yang mengalir deras.

"Ah, sepertinya dia adalah salah satu crazi rich. Kalau tidak salah, mobil itu adalah Lamborghini edisi terbatas, kan?" sahut Arvany, mencoba mengalihkan perhatian Anasera dari kesedihan yang melandanya.

Anasera mengangguk dengan perlahan. "Dia pemilik dari Bourbon Entertainment," ungkap Anasera, membahas pria misterius itu.

Arvany menatapnya dengan mata terbelalak, "Maksud mu, dia tuh pemilik industri hiburan Bourbon?" tanyanya lagi, masih tak percaya.

"Eh, iya. Aku mau ke kamar dulu, segerrin diri bentar," ujar Anasera santai, lalu segera berjalan menuju kamarnya.

*

*

*

Di suatu tempat yang berbeda, tepatnya di THE EMPEROL HOTEL pada jam 9 malam, Maximillano tengah duduk di balkon kamar hotelnya. Ia menatap langit malam yang gelap gulita sambil sesekali meminum red wine yang ada di tangannya. Rasa bersalah dan kesedihan mendera hatinya sejak ia memecat wanita itu.

Entah kenapa, wajah wanita tersebut terasa sangat familiar baginya. "Aku pasti pernah melihatnya di suatu tempat. Tetapi dimana? Siapa dia? Apa identitasnya?" gumam Maximillano, merasa terganggu dengan kenangan yang tak kunjung jelas.

Ia kembali meneguk red wine-nya sekali lagi, mencoba meredam perasaan yang menghantuinya.

Tak mampu menahan rasa penasarannya, Maximillano segera mengeluarkan ponselnya dan langsung menelepon Ivans, asistennya yang setia. "Ivans, cari tahu segala informasi mengenai Dhiajeng Anasera Wijaya. Aku ingin mengetahui latar belakangnya," perintah Maximillano dengan nada tegas, sebelum mengakhiri panggilan tersebut.

"Aku tidak sabar untuk mengungkapkan misteri ini" gumamnya, tersenyum misterius sambil memandangi langit yang semakin pekat malam itu.

*

*

*

Keesokan paginya, cahaya matahari berkilau cerah, menyelinap lembut ke sudut-sudut kota. Di sebuah vila mewah di pinggiran kota, Ronald Bourbon menikmati secangkir teh di ruang tamu sambil mendengarkan asistennya, Simon, melaporkan peristiwa yang terjadi semalam.

Setelah menurunkan Anasera di apartemennya, Ronald memutuskan untuk tidak menghadiri acara tersebut. Ia meninggalkan Gavi, asistennya untuk mewakili ketidakhadirannya.

"Ini sangat konyol," ujar Ronald, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

"Jadi, Maximillano Ortiz sendiri yang memenangkan lelang perhiasan legendaris itu dengan harga 100 juta dolar?" Ekspresinya bingung dan penasaran seiring dia mengulangi perkataan asistennya.

“Iya, Tuan. Seluruh tamu di acara tersebut tercengang ketika mendengar kabar itu, dan dipastikan uang sebesar 100 juta dolar akan segera masuk ke rekening penggalangan dana,” kata Gavi dengan nada khasnya, lugas dan penuh perhitungan.

Ronald Bourbon mengernyitkan dahi, tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Dengan nada bersungut, dia mendesah, "Benar-benar aneh," Pikirannya mulai berlari cepat, mencoba mengurai misteri di balik kejadian ini dan apa yang sebenarnya sedang berlangsung di balik layar pesta semalam.

"Tuan, apakah kita akan terbang kembali ke Madrid sore ini?" tanya Asisten Gavi dengan ragu-ragu.

"Tidak, aku ingin menjelajahi keindahan Indonesia lebih dalam. Negara ini mempesona dan aku ingin mempertimbangkan untuk membuka cabang bisnis baru di sini," sahut Ronald sembari menatap keindahan alam di depannya.

"Tapi, Tuan... Anda tahu—" Asisten Gavi mencoba mengingatkan.

"Kamu akan mengatakan jika aku tidak boleh melakukannya karena Maximillano juga memiliki cabang di sini. Kamu khawatir aku akan bersaing mati-matian dengannya dan menimbulkan konflik besar. Dengar baik-baik, Gavi, Maximillano bukan pemilik Indonesia dan aku berhak untuk melakukan apa pun yang kumau!" sergah Ronald, memotong kalimat asistennya dengan tegas. Kebulatan tekad terpancar jelas dalam sorot matanya.

*

*

*

"Kamu benar-benar melakukan pekerjaan luar biasa," puji Tuan Prabi Wijaya sambil tertawa kecil, mengungkapkan kepuasan di balik senyumnya.

"Ah, tidak perlu berterima kasih, Tuan. Saya juga sama sekali tidak menyukai Anasera, jadi ketika Anda meminta bantuan saya, saya dengan senang hati melakukannya. Sekarang, saya menunggu bayaran saya," ujar Lita, penuh percaya diri melalui telepon.

"Nantinya, saya akan perintahkan asisten saya untuk mentransfer bayaranmu secepatnya. Kamu memang sangat bisa diandalkan," kata Tuan Prabu Wijaya dengan nada kagum.

"Terima kasih banyak, Tuan. Saya merasa sangat dihargai," ucap Lita ceria.

"Baiklah, nikmati hasil kerjamu. Aku akan menutup teleponnya sekarang," kata Tuan Prabu Wijaya lalu segera memutuskan sambungan.

Menyandarkan punggungnya di sofa, Tuan Prabu Wijaya menarik napas dalam-dalam sambil menyiulkan melodi gembira. Kesuksesan mereka kali ini telah membuka jalan baru untuk lebih banyak rencana yang menguntungkan di masa depan.

*

*

*

ORTIZ GRUP

"Tuan, ini adalah semua rincian tentang Nyonya Dhiajeng Anasera Wijaya sejak masa kecilnya yang berhasil saya kumpulkan," kata Ivans dengan serius, meletakkan berkas tebal tersebut di atas meja.

Maximillano mengangkat alisnya, penasaran dengan apa yang dia pegang. Segera ia meraih berkas itu, berdebar-debar menanti kisah yang belum pernah terungkap mengenai wanita misterius yang selama ini menghantui pikirannya. Ketika lembaran demi lembaran ia baca, serasa dunia perlahan mengungkapkan rahasia yang tersembunyi, membawanya menyelami kehidupan Dhiajeng Anasera Wijaya yang penuh intrik dan pertaruhan.

"Tuan, Nona Anasera lahir di Jakarta, di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Saat persalinannya, hanya ada saudara perempuan ibunya yang menemani. Ketika berusia tiga tahun, ibunya meninggalkan Anasera bersama bibinya. Anak-anak sebayanya sering mengejek dan menertawakannya, membuat Anasera menjauh dari orang lain. Karena itu, bibinya memutuskan untuk pindah ke Madrid saat Nona Anasera berusia empat tahun. Di sana, Nona Anasera bersekolah dan berhasil menjadi siswa terbaik di angkatannya. Namun, ketika kembali ke keluarga Wijaya, Nona Anasera dianggap sebagai putri tidak sah Tuan Prabu Wijaya dan diperlakukan dengan buruk." Ujar Ivans.

"Lima bulan lalu, pernikahan Nona Anasera dengan tunangannya dibatalkan tepat di malam hari H, digantikan oleh adik tirinya. Bahkan, dia mengetahui adik tirinya tengah mengandung anak tunangannya. Tiga bulan kemudian, Nyonya Anasera diejek, diintimidasi, dan dituduh hamil sehingga harus diusir dari keluarga Wijaya. Kini, Nona Anasera tinggal bersama seorang teman, dan hingga saat ini tak ada yang tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya." Lanjut Ivans.

Maximillano bersandar di kursinya sambil menatap file dengan beberapa gambar terlampir di dalamnya. Dia memejamkan mata dan kenangan lima bulan lalu terlintas di benaknya.

Maximillano ingat jika wanita yang menghabiskan malam bersamanya menyebutkan bahwa tunangan dan saudara perempuannya mengkhianatinya.

'Apakah dia wanita yang sama yang selama ini tidak bisa aku lupakan? dan apakah ini sebabnya tidak ada yang mengetahui identitas ayah bayi tersebut?' Dia berkata dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel