11. Pria Itu Sangat Licik
Maximillano dengan cepat membuang pikirannya. "Di mana ibunya sekarang?" Maximillano bertanya sambil meletakkan tangannya di dagu.
“Ibunya sudah lama menikah dan memiliki dua anak dan dia saat ini berada di Prancis,” jawab Ivans.
Maximillano mendengus, "mereka bahkan tidak layak disebut orang tua" gumamnya.
"Bagaimana dengan tantenya? Aku yakin mereka pasti masih menjalin hubungan" ujar Maximillano.
“Nyonya Anasera belum pernah menghubungi bibinya lagi sejak dia hamil,” jawab Ivans.
"Baiklah, kamu boleh pergi sekarang" Maximillano mengibaskan tangannya tanda menolak.
Dia memiringkan kepalanya dengan mata menyipit, "apakah dia wanita yang menghabiskan malam bersamaku? Apakah bayi itu juga milikku?. Aku harus segera menyelesaikan ini," gumamnya.
*
*
*
Anasera duduk di sofa dengan mengenakan hoodie biru sambil menikmati popcornnya. Arvany berjalan mendekat ke arahnya dengan mengenakan celana jeans hitam kasual dan kemeja putih.
"Aku akan berangkat sekarang. Aku ada shift malam nanti. Jaga dirimu baik-baik, ya," katanya.
Anasera mengerutkan kening, "Eh... kalau kamu shift malam, kenapa kamu berangkat kerjanya sekarang?" dia bertanya heran.
"Oh, aku sudah melewatkan giliran kerjaku selama lebih dari seminggu dan sekarang giliranku untuk menggantikan nya," jawab Arvany santai.
Anasera merasakan kehangatan memenuhi hatinya. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika tidak ada Arvany di sisinya; dia bukan hanya sahabatnya, tapi juga sudah seperti saudara perempuannya. Dia tahu Arvany sempat mengambil cuti hanya untuk menjaganya.
"Terima kasih, Vany, aku berhutang banyak padamu," ucapnya sambil tersenyum hangat.
Arvany menepuk pelan kepalanya, "Berhenti membuatku malu dengan ucapan terima kasihmu. Aku akan pergi sekarang, sampai jumpa," ucapnya lalu keluar.
Anasera melambaikan tangan padanya. Menghela nafas panjang, Anasera berkata, "Bibi Arvany sudah berkorban banyak untuk kita, nak," sambil mengelus perutnya.
Saat Anasera akan kembali ke kamarnya, tiba-tiba suara dering ponselnya menghentikan langkahnya. Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.
'Hai Anasera, ini aku, Ronald Bourbon. Bagaimana kabarmu?'
Anasera melirik pesan itu dan tersenyum hangat. Dia mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamar dan duduk kembali. Anasera mengetik beberapa kata di ponselnya untuk menjawab pesan singkat dari Ronald,
'Oh hi, Ronald. Aku baik-baik saja.'
'dan si kembar?'
Anasera menerima pesan lainnya lagi dari Ronald.
Anasera memutar matanya frustrasi saat pria itu mencari cara untuk melanjutkan percakapan mereka. Kenapa pria itu tidak menambahkan ini saja ke pesan sebelumnya? "Si kembar sangat nakal dan kuat," jawabnya.
Anasera mengirim emoji tertawa, lalu hanya tersenyum tipis sebelum meletakkan ponselnya kembali ke sofa. Ia bangkit, tetapi belum sempat melangkah, ponselnya bergetar dan berdering kembali. Anasera meraihnya, mengernyitkan kening, dan berkata, "Halo?" dengan suara ragu-ragu.
"Anasera, ini aku Ronald, Ronald Bourbon. Jadi begini, aku sangat bosan di villa dan ingin jalan-jalan keliling Jakarta. Aku berpikir... mungkin kamu bisa mengajakku berkeliling?"
Anasera menghela napas berat, tidak tahan lagi dengan pembicaraan yang melibatkan emosinya. "Oh, itu hanya masalah sepele, kamu bisa mencoba menggunakan jasa tour guide, mereka akan mengajakmu berkeliling kota," ucapnya cepat, berharap Ronald akan mengerti dengan jawaban singkatnya itu.
Namun, orang di ujung sambungan seolah tak gentar dengan jawaban Anasera, ia malah berbicara dengan lebih lembut lagi. "Tapi rasanya tak akan menyenangkan kalau aku tidak bersama orang yang kukenal, seperti... kamu misalnya?" Pria itu menyela dengan suara penuh harap.
"Tapi Tuan Ronald, Anda bahkan tidak mengenal saya," gumam Anasera dengan ragu-ragu.
"Tahu, aku tahu. Kita sudah pernah bertemu sebelumnya, kan? Kita bisa dikatakan sudah mengenal satu sama lain. Anggap saja ini sebagai balasan untuk pertolongan yang pernah aku berikan padaku malam itu," ucap Ronald dengan nada penuh harap.
"Tuan Ronald, saya tidak menyangka jika Anda akan mengharapkan balasan seperti ini. Jadi, Anda membantu saya dengan niat mendapatkan bantuan sebagai balasannya?" Anasera bertanya dengan heran dan kecewa.
"Tidak, jangan salah paham, aku bukan orang yang berpikiran sempit seperti itu. Aku... aku..." Ronald tergagap gugup, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan maksudnya.
"Aku hanya ingin, sekali ini saja, kamu bersedia menemani aku berkeliling di negaramu, " pintanya dengan nada setengah bercanda.
Gagasan sang bos besar Bourbon Entertainment yang memohon pada seorang wanita biasa seperti Anasera membuatnya bingung tapi juga tak bisa menolak. Bahkan di dalam hatinya, Anasera merasa sedikit tersanjung dengan perhatian Ronald. Terduduk sejenak memikirkan, lalu Anasera menghela nafas dan akhirnya menyetujuinya. "Baiklah, baiklah, baiklah," jawab Anasera dengan setengah tersenyum.
"Terima kasih, aku akan segera datang," kata Ronald dan menutup telepon.
"Pria ini licik sekali" Anasera mengangkat bahunya dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
*
*
*
Di lantai atas gedung 'LA FACTORIA BAR, tepatnya di ruangan CCTV yang remang-remang, Maximillano duduk santai di kursi sambil menyilangkan kakinya.
"Demi Tuhan, Maxi, kamu meminta aku untuk mencarikan rekaman lima bulan lalu buatmu," keluh Pedri, wajahnya mencerminkan ketidaksenangannya.
"Apa ada masalah?!" sergah Maximillano dengan sinis, bibirnya mengatup mengejek ke arah Pedri.
Merasa frustrasi, Pedri menggelengkan kepala dan kembali fokus pada layar komputer di depannya.
Setelah lebih dari 30 menit mencari dan mengutak-atik data, akhirnya Pedri memanggil Maximillano. "Ini dia! Semua cuplikan dari lima bulan lalu."
Dengan gerakan kasar, Maximillano mendorong Pedri dan duduk di kursi, mengambil alih komputer untuk melihat hasil rekaman itu sendiri. Sementara itu, Pedri hanya bisa mengatupkan rahangnya, menahan amarah yang membara di dalam dada. Terkadang, dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin dia bisa berteman dengan pria arogan dan sombong seperti itu.
Syukurlah Maximillano masih bisa mengingat tanggalnya dengan jelas. Dia langsung menyelidiki rekaman CCTV dari luar klub.
Setelah menggulir cukup lama, Maximillano merasakan matanya mulai perih. Sudah lama dia menatap layar itu tanpa berkedip. Dia menoleh ke arah Pedri dengan mata yang sudah memerah berair.
"Itu bar milikmu bukan milikku, dan seperti yang kamu tahu pelanggan selalu benar," ujarnya dengan nada sinis sambil mendorong Pedri kembali ke kursi.
"Persetan denganmu!" seru Pedri dengan marah saat dia kembali menguasai situasi.
Mereka terus menggulir rekaman itu, sementara Maximillano memperhatikan setiap detail, mencoba menemukan Anasera di dalamnya. Tiba-tiba, matanya tertuju pada seorang wanita yang mengenakan pakaian berwarna coklat.
"Berhenti," desak Maximillano dengan sigap.
Pedri menoleh ke arahnya, menunggu instruksi lebih lanjut. Maximillano memutar bola matanya, kesal dengan lambatnya respon Pedri. "Tentu saja perbesar gambarnya. Haruskah aku memberitahu semuanya padamu?" sindirnya dengan nada pedas.
Pedri memperbesar rekaman CCTV dan hati Maximillano langsung tenggelam. 'Anasera benar-benar hadir malam itu' Ujarnya dalam hati.
"Bagus, sekarang periksa rekamannya dari dalam klub sekarang" tuntut Maximillano lagi.
Maximillano menonton videonya dan sampai pada bagian ketika dia berjalan ke meja bar yang cahayanya redup. Tatapannya terpaku pada layar, berharap bisa melihat wanita yang sudah menghabiskan malam bersamanya di hotel.
Maximillano memperhatikan dengan fokus ketika dia mendekati meja bar dan tiba-tiba videonya hilang.
"Apa yang terjadi?" Maximillano bertanya dengan nada kesal, wajahnya nampak merah padam karena emosi yang tak tertahankan.
"Entahlah, sepertinya video ini terinfeksi virus atau semacamnya. Aku akan memanggil seseorang untuk memeriksanya," Pedri bangkit dari tempat duduknya.
"Aku tidak bisa menunggu, aku harus pergi sekarang. Hubungi aku jika vidionya sudah pulih" kata Maximillano dengan nada ketus, langkahnya tergesa menuju ke arah pintu keluar.
"benarkah? bukankah kamu seharusnya mengucapkan terima kasih?" Pedri bertanya.
"Kenapa aku harus ?" Maximillano melontarkan pertanyaan itu kembali padanya, dia keluar tanpa menunggu jawaban dari Pedri.
*
*
*
Di apartemen, Anasera melangkah keluar dari pintu lift, dan seketika pandangannya tertuju pada sosok Ronald yang sedang bersandar pada mobilnya.
"Hai," Anasera memberanikan diri melambai pada Ronald lebih dulu. "Kenapa kamu mengganti mobilmu?" Anasera menunjukkan rasa herannya, tak mampu menyembunyikan kekaguman yang muncul saat melihat Maybach milik pria itu.
Ronald tersenyum tipis, menatap dalam ke arah Anasera. "Oh, aku pikir Lamborghini itu tidak sesuai dengan kondisimu saat ini. Jadi aku membeli mobil lain," jawabnya dengan nada lembut.
"Yah, terima kasih sudah bersikap bijaksana," Anasera tersenyum kecil, merasa tersanjung dengan perhatian kecil yang Ronald tunjukkan.
Mereka masuk ke dalam mobil, sementara Anasera menunjukkan jalannya.
"Di sini, berhenti di sini," pinta Anasera dengan lembut, dan Ronald pun mematikan mesin mobilnya. Mereka turun beriringan menuju sebuah taman yang terletak di tengah kota. Ronald menatap Anasera bingung, mencoba mencerna situasi yang terasa asing baginya.
"Mengapa kamu membawaku ke sini?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Anasera tersenyum, seraya mengecup aroma nostalgia yang membawa seribu kenangan kembali menerpa. "Tuan Ronald, ketika saya berumur tiga tahun, setiap kali hati saya terluka, bibi saya selalu membawa saya ke taman ini. Tempat di mana semesta memberikan kedamaian," ungkap Anasera, matanya mulai berkaca-kaca.
Ronald tersenyum simpatik, kemudian bertanya, "Lalu bagaimana dengan ibumu?"
Tampak kerutan duka mulai terlihat di wajah Anasera. Dia duduk di bangku taman, menundukkan kepalanya perlahan, dan menghela napas. "Aku tidak tumbuh bersama ibuku," bisik Anasera lirih.
Melihat tatapan kesedihan di wajah Anasera, Ronald merasa menyesal, "Aku minta maaf telah mengungkit topik ini. Apakah ibumu sudah meninggal?" tanyanya dengan hati-hati.
Anasera menggelengkan kepalanya, seiring air mata mulai membasahi pipinya. "Ibu meninggalkanku ketika aku baru berumur tiga tahun," jawabnya sambil menangis pelan. Di taman itu, mereka saling mendekap, menguatkan hati yang telah lama terluka oleh kehidupan yang tak selamanya indah. Dan langit sore itu menyaksikan, betapa keberanian mereka dalam menghadapi bayang-bayang masa lalu, yang membuka jalan untuk menerima kebahagiaan yang selama ini diidamkan.
"Aku turut prihatin mendengarnya," kata Ronald Bourbon dan menyesal telah bertanya hal sensitif itu pada Anasera.
"Tidak apa-apa," Anasera tersenyum.
"Sejujurnya, Tuan Ronald, saya sendiri masih memiliki banyak tempat yang belum pernah saya kunjungi," ungkap Anasera dengan tulus.
Ronald terkekeh, tatapan matanya penuh keheranan. "Apakah kamu sedang bercanda? Bukankah kamu lahir dan tumbuh di sini?" tanyanya dengan nada skeptis.
Anasera hanya mengangguk, tertunduk malu sambil membelai rambutnya yang terurai. Meski terselip keraguan dalam tatapan Ronald, ada rasa kagum yang terpancar dari suara tawa ringannya itu. Sembari mencoba menyembunyikan perasaannya.