12. Takkan Menggoyahkan Niatku
"Ya, saya memang lahir di sini, tetapi besar di Spanyol" ungkap Anasera dengan mata bersinar.
"Apakah kamu serius?" tanya pria itu, ekspresinya terkejut, seolah tak percaya dengan fakta baru yang terungkap. Anasera mengangguk tegas, "Aku baru saja kembali ke Jakarta setahun yang lalu," katanya, pandangannya beralih ke kincir ria yang berputar-putar di kejauhan.
"Kalau boleh bertanya, kenapa kamu kembali ke sini padahal bibimu masih ada di Spanyol?" pertanyaan yang keluar dari bibir Ronald Bourbon, ketertarikan dalam mata mereka tak bisa disembunyikan.
"Tuan Ronald," Anasera tersenyum getir, "apakah Anda tidak merasa terlalu banyak bertanya?" tangannya mencoba menahan gugup yang mendera.
"Maafkan aku, aku hanya penasaran dan terbawa suasana," Ronald meminta maaf dengan tulus, kedua tangannya bersilang di depan dada, "Aku tidak bermaksud mengganggumu."
"Tenang saja, aku tidak apa-apa," Anasera berusaha menjaga perasaan pria itu, "kamu pasti lapar, kan?" Ronald mengangguk perlahan, sembari berusaha meredam rasa penasaran yang masih belum terpuaskan.
Mereka tiba di Dream Light Restaurant dan duduk di meja yang telah dipesan. Setelah memesan makanan, suasana di antara mereka terasa canggung dan penuh keheningan. Namun, ketika pesanan tiba dan mereka mulai menyantap hidangan, manajer restoran mendatangi meja mereka.
"Oh, Nona Wijaya, betapa menyenangkannya menjamu Anda di sini," ucap manajer tersebut, yang mengenal Anasera sebagai salah satu anggota keluarga dari sebuah keluarga terpandang di Jakarta.
Anasera mengangguk, tersenyum tipis, "Ya, aku sudah menghabiskan waktu untuk beristirahat di rumah beberapa minggu ini."
"Baik, Nona," sahut Manejer sambil tersenyum. "Saya akan membiarkan Anda menikmati makanan Anda bersama kekasih Anda." Ia berlalu pergi, meninggalkan Anasera dan Ronald yang hampir terkekeh.
"Maukah kamu mengoreksinya?" tanya Ronald dengan nada geli, sambil menyeruput sup jagungnya.
"Dia bisa berpikir apapun yang dia inginkan," jawab Anasera sambil menundukkan kepalanya, kembali fokus pada makanannya.
"Jadi, Wijaya adalah nama keluarga mu, kan?" tanya pria itu penasaran.
"Ya," jawab Anasera dengan sikap acuh tak acuh, tak ingin membahas lebih jauh mengenai hal tersebut.
Setelah menikmati makan malam bersama, hari telah larut dan mereka bersiap untuk kembali. Mereka berdua duduk di dalam mobil, siap melanjutkan petualangan mereka.
Dalam perjalanan, mata mereka tertuju pada papan iklan bioskop yang tampak menarik di salah satu Mall yang ada di sana. Ronald Bourbon pun segera memarkir mobilnya di dekat gedung itu.
"Apa yang terjadi?" Anasera bertanya dengan penasaran, matanya menatap pria itu yang tersenyum lembut ke arahnya.
"Oh, apakah kamu keberatan menonton film bersamaku?" Ronald mengajak dengan ramah.
"Eh, tentu saja," sahut Anasera, yakin bahwa menonton film di bioskop lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu sendirian di apartemen.
Dengan antusias, Ronald membeli tiket dan popcorn yang mengundang selera. Mereka berdua berjalan melintasi lorong-lorong gelap, hanya diterangi oleh cahaya yang berasal dari proyektor yang menciptakan nuansa dramatis.
Akhirnya, mereka duduk di barisan depan teater, siap untuk menyaksikan komedi horor yang sedang hangat diperbincangkan.
"Aku kira film ini baru saja dirilis?" Anasera bertanya dengan penuh minat, mengejutkan dirinya sendiri bahwa dia bahkan menyukai genre horor.
Ronald mengangguk, "Ya, aku juga mendengar kabar itu. Perusahaanku akan meluncurkan film serupa minggu depan. Aku harap kamu bisa datang," ucapnya sambil menatap Anasera dengan penuh harap.
Anasera tersenyum sumringah, "Apakah Tuan Bourbon secara khusus mengundang saya ke pemutaran perdana filmnya?" dia bertanya penuh penasaran, dan pria itu mengangguk tegas.
"Kalau begitu, aku tidak bisa mengatakan tidak. Temanku juga adalah penggemar berat perusahaanmu. Bolehkah dia ikut bersamaku?" Tanya Anasera dengan harapan di matanya.
"Tentu saja, kamu bebas mengundang siapa saja," ucap Tuan Bourbon dengan senyum ramah, membuat Anasera kembali merasa tersanjung.
Sepanjang film, mereka berdua tak henti-hentinya tertawa, ditemani momen seru dan teriakan kejutan.
"Film ini sangat lucu, tapi sekaligus menakutkan juga," ucap Anasera, sambil air mata tawa membasahi pipinya.
"Ya benar." Ronald Bourbon menjawab sambil terkekeh, menikmati ekspresi polos Anasera yang tertawa lepas dan kehangatan persahabatan yang mulai terjalin di antara mereka.
Ponsel Anasera tiba-tiba berdering, membuat jantungnya berdegup kencang saat melihat ID si penelepon - Arvany.
Dengan napas yang tercekat, dia menekan tombol 'end call' dan mengiriminya pesan singkat.
"Erm, ada hal penting ya, yang kamu bicarakan?" tanya Ronald, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya melihat ekspresi Anasera yang berubah.
Anasera tersenyum tipis sambil mengunyah popcorn, mencoba menutupi kegelisahannya. "Oh, ini Arvany... dia baru saja mencoba menghubungiku. Mungkin dia masih di rumah sakit," ucapnya sambil berusaha menenangkan hati.
Setelah menonton film hingga usai, Ronald mengantar Anasera kembali ke apartemennya. Begitu sampai, Anasera turun dari mobil dengan hati yang berkecamuk.
"Terima kasih telah menghabiskan hari ini bersamaku, Anasera. Besok di jam yang sama, aku akan kembali ke Spanyol," ucap Ronald dengan senyum yang hangat, berusaha menghibur hati Anasera yang gelisah.
"Baiklah, semoga perjalananmu kembali ke Spanyol lancar dan selamat," jawab Anasera sambil membalas senyuman Ronald. Ronald menggaruk rambutnya dengan gugup, lalu mengucapkan perpisahan.
"Sampai jumpa lagi, Anasera," katanya sebelum melajukan mobilnya menjauh, meninggalkan Anasera yang berdiri di depan apartemennya, menatap langit yang mulai menggelap, merenungi nasib yang tak bisa ia duga.
*
*
*
Tuan Prabu Wijaya terpaksa bekerja lembur di perusahaannya. Keningnya berkerut ketika dia bertanya, "Tunggu, maksudmu Anasera tidak lagi berusaha mencari pekerjaan sejak dia kehilangan pekerjaan sebelumnya?" Ia menggenggam erat teleponnya, berusaha memastikan kabar yang didengarnya.
"Benar, Tuan, dia hanya berada di rumah sepanjang hari," lapor seorang wanita dengan suara hati-hati melalui telepon.
"Sial! Bagaimana aku akan melaksanakan rencanaku jika anak itu tidak pergi mencari pekerjaan?" geram Tuan Prabu Wijaya sambil memukul meja dengan tinjunya. Di saat yang bersamaan, Lavanya mendorong pintu ruang kerja ayahnya.
"Dad," gumamnya sambil bergegas masuk, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.
Tuan Prabu Wijaya segera menutup telepon dan menatap Lavanya tajam. "Apa?" sahutnya dengan nada tegas dan tidak sopan, belum bisa melupakan kemarahan karena Lavanya yang telah membuatnya kehilangan kontrak.
"Lihat ini, Anasera pergi dengan bos besar Bourbon Entertainment tadi malam!" seru Lavanya, wajahnya pucat pasi saat menunjukkan sebuah gambar pada ayahnya melalui ponselnya.
Ayah Lavanya, Tuan Prabu Wijaya, menaikkan alisnya, kemudian melotot dengan tajam pada foto tersebut. "Jangan bilang, jika pemilik Bourbon Entertainment ini adalah ayah dari anaknya?" gumam Tuan Prabu Wijaya, tak habis pikir.
"Tidak mungkin! Bagaimana ini bisa terjadi? Aku sendiri bahkan tidak pernah bisa menyentuhnya," teriak Lavanya, matanya sudah mulai berkaca-kaca.
"Apa maksudmu?" seru ayahnya, terpana.
"Ronald Bourbon adalah pria kedua yang paling aku idamkan, tetapi semua perasaanku padanya seolah lenyap seketika," ujar Lavanya, sambil menangis pilu.
Tuan Prabu Wijaya memukul mejanya dengan keras, lalu berkata tegas, "Keluarlah dari kantorku, aku harus bekerja dan berpikir keras tentang ini."
Dia menyeka keringat dingin yang membasahi keningnya. Diam-diam di dalam hati, Tuan Prabu Wijaya menggumamkan pertanyaan yang menghantui pikirannya, "Apa langkah yang harus aku lakukan selanjutnya?" Dia mengusap dagunya, mencoba merumuskan rencana terbaik untuk menyelamatkannya dari krisis yang semakin mencekam.
*
*
*
Keesokan harinya, di sebuah vila mewah milik Ronald Bourbon yang terletak di Jakarta, suasana gundah menyelimuti hati Ronald.
"Saya sangat menyesal atas berita yang tersebar itu, tak pernah terbayang bagaimana kabar burung itu bisa sampai ke telinga banyak orang. Segera akan saya beri tahu mereka untuk menghapusnya," ucap Ronald dengan raut wajah cemas.
"Oh, jangan terlalu khawatir, ini bukanlah masalah besar. Orang-orang memang kerap mengejar sensasi dan melontarkan segala macam skandal," sahut Anasera dengan nada santai namun tetap empatik.
"Terima kasih Anasera, semoga hal ini tak menghalangimu untuk tetap menghadiri undangan dari diriku," pinta Ronald dengan tulus.
"Percayalah, aku tetap akan datang. Insiden seperti ini takkan menggoyahkan niatku," Anasera menjawab sambil tersenyum, memberi kekuatan pada Ronald.
"Begitu baiknya hatimu. Baiklah, hati-hati dalam perjalanan dan sampai jumpa nanti," ucap Ronald dengan nada lega, lalu menutup sambungan telepon, tak sabar menunggu reuni dengan Anasera.
Saat itu Ronald menerima telepon dari ibunya.
"Son, kamu sedang jadi perbincangan di saluran berita. Siapa wanita itu, apakah dia sedang mengandung anakmu? Kenapa kamu tidak memberitahuku selama ini? Kapan kamu akan membawanya pulang? Dia sangat cantik dan aku langsung menyukainya."
Pria itu merasa kepalanya ingin pecah. Ibunya memang selalu bertingkah seperti kotak obrolan yang tidak kenal waktu.
"Tidak, Mom," ujar Ronald, berusaha menjernihkan keadaan, "dia hanya seorang teman. Jangan dengarkan rumor palsu itu."
"Oh, aku tahu itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, sungguh menyedihkan." Suara ibunya berubah lembut, dan kesedihan terasa menyelimuti kalimatnya. "Aku harap kamu akan membawanya untuk menemui ku di sini," pintanya Nyonya Bourbon dengan nada harap.
"Tentu, Mom," sahut Ronald, berusaha menjaga perasaan ibunya. Lalu ia mengakhiri pembicaraan itu, seolah hendak mengakhiri kebingungan di dalam pikirannya.
*
*
*
Di apartemennya, Anasera terus berjalan gelisah di ruang tamu yang luas, kegalauan hatinya menghantui pikirannya tentang apakah ia perlu menelepon bibinya atau tidak.
Setelah berusaha menepis kekhawatirannya, dengan gemetar dia menelepon nomor bibinya dan tak lama kemudian sambungan tersambung.
"Anasera, bagaimana kabarmu di rumah keluarga Wijaya? Semoga mereka bersikap baik padamu," ucap bibinya penuh kehangatan.
"Bibi!" Anasera tersengal, mencoba merangkai kata-kata yang berseliweran dalam pikirannya. Suaranya serak, begitu rapuh seperti gelembung sabun yang siap meledak.
"Ada apa, sayang?" Bibinya, seakan menyadari ada sesuatu yang buruk yang telah terjadi pada keponakannya, langsung saja dia menggali lebih dalam.
"Bibi, tidak ada yang baik-baik saja. Semuanya berantakan, aku terjebak dalam situasi yang mengerikan," terang Anasera, menangis tersedu-sedu melalui telepon.
"Katakan padaku, sayang, apa yang terjadi?" Bibinya menatap kaca di hadapannya, mencoba menyerap kecemasan yang begitu padat dari suara Anasera.
"Bibi, a-aku hamil," bisik Anasera sambil mengusap air matanya yang tak henti-hentinya menetes.
"Apa?!" Bibinya terkejut, terasa jantungnya berdegup kencang dalam dada. “Apakah itu anak dari Kaivan?” dia bertanya dengan ragu.
"Tidak, Bibi. Ceritanya panjang dan memilukan. Aku akan kembali ke Madrid dalam tiga hari ke depan,” katanya lirih, berusaha menenangkan hatinya yang terluka..
"Baiklah sayang, kamu harus tetap kuat. Aku berharap bisa segera bertemu denganmu" ucapnya dan Anasera menutup telepon.
Saat itu, pintu terbuka dan Arvany melangkah masuk ke ruang tamu dengan nafas terengah-engah, wajahnya tampak kelelahan. Ia menguap sejenak, lalu menghampiri Anasera yang tengah duduk lesu di ruang tamu.
"Apa kamu menangis lagi?" tanya Arvany dengan nada penuh kekhawatiran.
Anasera cepat-cepat menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan wajah sembabnya. "Tidak, kamu terlihat lelah, Van. Segarkan dirimu dulu, aku akan membuatkanmu sarapan," jawabnya, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Namun, Arvany dapat melihat dengan jelas luka yang terpendam dalam hati sahabatnya itu. "Anasera, kamu harus berhenti menyiksa dirimu sendiri," kata Arvany, pelan dan lembut, menggenggam erat tangan Anasera. "Aku tahu semuanya sangat sulit bagimu saat ini, tapi ketahuilah, aku akan selalu ada untukmu saat kamu membutuhkan dukungan.
Anasera menatap Arvany sejenak, kemudian memeluknya erat, menumpahkan segala rasa takut dan sedih yang menyelimuti hatinya. "Van, kenapa kamu begitu baik padaku?" gumam Anasera dengan suara serak, dipenuhi emosi yang meluap.
Arvany tersenyum, mengusap perlahan rambut Anasera sambil berkata, "Tidak, Ana, akulah yang beruntung memiliki orang sepertimu dalam hidupku. Kamu lebih dari sekadar teman bagiku. Bukankah menurutmu kita lebih seperti saudara perempuan yang tak terpisahkan?" Senyum Arvany memberi Anasera kekuatan dan ketenangan, menguatkan ikatan kebersamaan mereka yang abadi.
"Baiklah, aku tidak akan menangis lagi. Segarkan dirimu dan kembali ke sini untuk sarapan," ujar Anasera lembut, dan Arvany mengangguk.
Setelah menikmati sarapan, Arvany mencuci piring sementara Anasera memotong beberapa buah segar sebagai makanan penutup mereka.
"Van, Tuan Ronald mengundang kita ke pemutaran perdana filmnya," ungkap Anasera sambil mengangkat kepalanya dari mangkuk buah-buahan, tatapannya penuh antusiasme.
Arvany tiba-tiba menoleh padanya, "Ahhh!" dia menjerit melengking seakan-akan telah menerima kejutan terbesar dalam hidupnya, sementara Anasera menutup telinganya dengan tangannya sambil tersenyum lebar.
"Ya ampun, kapan? Aku harus pakai apa? Haruskah kita berkemas? Sudah lama sekali aku ingin kembali lagi ke Madrid!" Arvany membombardir Anasera dengan pertanyaan yang tak ada habisnya, ekspresinya begitu bersemangat dan berbinar-binar.
"Ya ampun! Vany, tenanglah, itu masih dua hari lagi" Anasera tersenyum manis, menenangkan Arvany yang hampir terbang karena kegirangannya. Anasera menggigit bibir bawahnya sejenak, sambil memandangi Arvany dengan kasih sayang.
Namun, tiba-tiba suasana hati Arvany mengempis seperti balon, dia menghela nafas keras, seribu rasa merajai pikirannya. "Maaf Anasera, aku tidak bisa hadir. Kamu tahu aku belum selesai membayar kembali shift yang aku lewatkan," ujarnya dengan sedih, wajahnya cemberut. Arvany teringat akan tanggung jawab yang masih harus dihadapinya, merasa berat untuk menentukan langkah selanjutnya.
"Tak apa, Van. Aku akan pergi sendiri, agar Tuan Ronald tidak merasa tak enak hati. Nanti, saat kamu sudah cuti, kita bisa pergi berlibur bersama," ujar Anasera, dengan getir dan perasaan yang tercampur antara kecewa dan pengertian.