13. Pemutaran Perdana Film
Arvany tiba-tiba menggoyangkan alisnya ke arahnya dengan sugestif, "Oh benarkah? Aku tahu kamu tidak akan mengakui bahwa kamu sangat ingin bertemu dengannya," katanya sambil tersenyum nakal.
"Astaga Vany, kapan kamu menjadi seperti ini?" Pipi Anasera menjadi sedikit merah.
"Tidak apa-apa, kamu bisa menceritakan semuanya pada saudaramu, lagipula Tuan Ronald Bourbon sangat tampan, maksudku bahkan aku tidak bisa menahan pesonanya" katanya sambil melamun dan Anasera memukul lengannya.
“Vany, berhentilah bertingkah seperti orang mesum” ucapnya sambil terkekeh.
"Aku tidak bercanda, Tuan Ronald terlalu tampan untuk dilewatkan, dia baik, kaya dan penuh perhatian. Malah dia masuk dalam nilai 10 dari 10" ucap Arvany sambil mengunyah buah-buahan tersebut.
Anasera tertawa, "Aku akan memberi tahu Bintang jika kamu itu adalah seorang penggoda dan dia harus memelukmu erat-erat atau kamu akan kabur dengan pria sembarangan suatu hari nanti"
"oh wow Anasera jadi kamu di pihak Bintang, sekarang?" Arvany mengangkat alis ke arah Anasera dan Anasera menjulurkan lidahnya sambil bercanda.
Anasera tiba-tiba menepuk dagunya, wajahnya berseri-seri. "Um belum, aku akan berada di sisimu selama kamu tidak membuat aku 'menyantap' sampah," ujarnya sambil terkekeh kecil, pandangannya penuh dengan canda dan kehangatan.
Arvany mengacungkan jari telunjuknya ke arahnya, "Ana, jangan coba-coba bersikap cerdik di depanku. Aku tahu kamu ingin mengganti topik pembicaraan kan, katakan padaku apakah kamu mungkin menyukainya" tanya Arvany sambil memegang bahu Anasera.
"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu? Apa kamu tidak melihat kondisiku sekarang? Apa menurutmu aku punya waktu untuk jatuh cinta?" ujar Anasera sambil merentangkan tangannya.
Arvany menghela nafas, "Ayolah Anasera, sudah waktunya untuk move on, atau kamu masih mencintai Kaivan?" Dia bertanya.
Anasera langsung menggelengkan kepalanya, "Perasaanku padanya sudah memudar sejak dia mengkhianatiku" dia tersenyum pahit.
Anasera tiba-tiba memegang erat tangan Arvany, "Vany, kupikir aku tak sanggup menyerahkan hatiku pada orang lain lagi. Aku ingin fokus membesarkan kedua bayiku seorang diri dan memberikan cinta serta perhatian penuh pada mereka, hingga mereka tidak lagi merindukan sosok ayah," suara Anasera bergetar.
"Kenapa tidak memberikan mereka kesempatan untuk memiliki orang tua yang lengkap? Apakah kamu ingin mereka mengalami penderitaan yang sama seperti kamu?" Arvany menatap tajam mata Anasera yang sedang menahan air mata.
"Aku yakin tak ada seorang pun yang mampu mencintai mereka seperti ayah kandungnya," Anasera tertawa dengan penuh lara, sedih terpancar dari matanya.
Arvany mengusap air mata Anasera, dan berkata dengan lembut, "Bagaimana kalau kita mencari tahu keberadaan ayah kandung si kembar bersama-sama? Siapa tahu, dia mungkin sosok yang tepat untuk mereka?"
Anasera menggeleng cepat, "Menurutku itu bukan ide yang bagus. Bagaimana kalau dia bukan pria yang baik, atau mungkin sudah menikah dan tak ingin terlibat dengan kami? Aku tak ingin membuka luka lama yang bisa saja lebih menyakitkan." Ujar Anasera.
"Kamu benar, tapi ingat satu hal, cinta bisa datang dengan sendirinya," ucap Arvany sambil tersenyum penuh arti.
"Terserah, aku akan tidur siang sekarang" kata Anasera sambil berjalan ke kamarnya dengan hati-hati.
*
*
*
Tak terasa, hari pemutaran perdana film yang ditunggu-tunggu akan segera tiba.
"Tapi Anasera, apa kamu benar-benar harus pergi? Akan lebih baik jika aku punya kesempatan untuk menemani, apakah kamu akan baik-baik saja sendiri?" tanya Arvany dengan nada khawatir yang tergambar jelas di wajahnya.
"Tenang saja, Vany, aku bisa mengaturnya," sahut Anasera sambil tersenyum tipis, tak ingin menambah kekhawatiran Arvany. "Lagipula, Tuan Ronald telah mengatur seseorang untuk menjemputku di bandara," lanjut Anasera sambil mencerminkan dirinya, memastikan penampilannya sempurna.
Arvany menghela napas, lalu mengangguk lemah sambil kembali mengemasi koper Anasera, ingin menyelesaikan segalanya dengan sempurna. "Pastikan kamu menyimpan semua barang yang mungkin kamu perlukan di sini, ayo, izinkan aku mengantarmu ke bandara sebelum kamu ketinggalan pesawat," ucap Arvany dengan suara penuh harap. Arvany tak ingin Anasera merasa sendirian di perjalanan itu.
Seraya membantu Anasera membawa kopernya, keduanya berjalan keluar dari gedung apartemen. Anasera melangkah lemah gemulai, naik ke kursi penumpang. Sementara Arvany, dengan hati-hati memasukkan koper milik Anasera ke bagasi mobil, tak ingin mengabaikan setiap detil yang mungkin akan menambah kenyamanan perjalanan Anasera.
Ponsel Arvany berdering keras, membuat hatinya berdebar. Segera dia mengangkatnya, dan yang terdengar adalah suara ketakutan seorang perawat di ujung sambungan.
"Suster Arvany, keadaan darurat! Rumah sakit kebanjiran pasien, kami butuh bantuan segera!"
Arvany mengerutkan kening, bingung. "Tadi malam kan situasinya aman-aman saja, ada apa ini?" ucapnya dengan nada bimbang.
"Sebuah bus bertabrakan dengan truk di jalan raya. Semua penumpang datang dalam kondisi yang sangat parah dan harus segera ditangani. Kami kekurangan tenaga, Suster. Walaupun seharusnya Anda beristirahat, tapi sebagai perawat, ini adalah tugas mulia kita untuk menolong. Waktu begitu berharga, dan setiap detik bisa menentukan hidup dan mati,” kata perawat di seberang dengan suara tergesa-gesa.
Mendengar hal itu, Arvany terlonjak kaget. "Baiklah, aku segera ke sana. Beri aku waktu beberapa menit, oke?" ucapnya penuh semangat.
Dengan rasa khawatir dan adrenalin tinggi, Arvany segera menyalakan mesin mobil dan melaju menuju bandara sebelum ke rumah sakit. Setiap detik sangat berharga, dan dia tahu bahwa tanggung jawab seorang perawat adalah untuk menolong sesama dalam situasi sulit seperti ini.
"Ada apa, Van? Aku tahu ada yang tidak beres dari ekspresimu sejak tadi," tanya Anasera dengan cemas saat Arvany melompat ke kursi pengemudi, wajahnya pucat pasi.
"Tidak ada yang serius, Ana, tenang saja. Ayolah, kita harus bergegas, atau kamu akan ketinggalan pesawat," jawab Arvany dengan nada terpaksa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Dalam hati, Arvany tahu bahwa jika Anasera mengetahui kondisinya yang sebenarnya, dia tidak akan memberinya pergi begitu saja. Tapi dia tidak tega membiarkan Anasera berangkat sendiri ke bandara.
Tak lama, mereka tiba di bandara. Arvany membantu membawa barang bawaan Anasera sambil menggandeng tangannya erat. "Baiklah, Ana, kuharap penerbanganmu aman dan selamat sampai tujuan. Jangan lupa telepon aku saat kamu sudah tiba di Madrid, Okey!" ucap Arvany dengan penuh kekhawatiran.
Anasera memeluk Arvany erat-erat, dia bisa merasakan sedikit kegelisahan yang terbawa dalam pelukannya. "Sampai jumpa lagi, Van," bisik Anasera dengan sayu.
Arvany melambaikan tangan, tatapannya mengikuti langkah Anasera yang semakin menjauh. Setelah Anasera tidak terlihat lagi, dia menutup mata dan menarik nafas dalam-dalam, dan segera pergi dari sana menuju rumah sakit tempatnya bekerja.
*
*
*
RUMAH SAKIT AGUNG
Arvany berlari memasuki rumah sakit, napasnya tersengal-sengal, namun kepanikan yang mendera pikirannya sirna saat ia menemui situasi yang tidak ia duga sama sekali. Alih-alih suasana darurat seperti yang diberitahu padanya, rumah sakit justru terlihat tenang dan terkendali. Pasillo rapi, tidak ada suster atau dokter yang pontang-panting, dan tidak terlihat tanda-tanda adanya pasien baru.
Gadis itu berdiri membeku di tengah-tengah lorong, terkejut sekaligus bingung. 'Ada yang tidak beres,' pikirnya. Kemudian, tiba-tiba saja, sosok direktur rumah sakit muncul menghampirinya.
"Suster Arvany, kamu akhirnya sampai di sini," ujar sang direktur dengan nada datar, seolah menggali lubang di jantung Arvany. Lelaki itu menyodorkan sebuah surat yang membuat jantung gadis itu berdegup kencang. Ketakutan mencengkeramnya begitu kuat, membuatnya menelan ludah dengan susah payah sambil menatap surat yang dia pegang.
"Dok, aku minta maaf karena datang terlambat. Anda tidak perlu memecatku karena ini," suara Arvany bergetar, penuh harap dan kepasrahan. "Aku bisa menerima hukuman atas kesalahanku, tapi tolong jangan biarkan aku kehilangan pekerjaan." Kata-kata itu meluncur dari mulutnya seolah dirasuki oleh kesedihan yang tak terperi. Tidak ada hal yang lebih buruk dari kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi tulang punggung hidupnya.
Tak lama kemudian, lorong diisi oleh para dokter dan perawat yang saling berbisik.
Direktur menginstruksikan, "Buka kertasnya." Arvany membuka kertas itu, keringat dingin mengucur membasahi keningnya, tangan gemetar seperti dilanda kejang. Ia membaca isi kertas dengan sorot mata terbelalak, terkejut, dan jatuh dari tangannya saat ia menutup mulutnya.
"Selamat Arvany!!!" Mereka semua berteriak serempak, sambil tertawa gembira.
"Dok, saya dipromosikan menjadi kepala perawat," ucapnya terbata, masih tercengang.
"Ya, perawat Vany. Maaf, maksud saya kepala perawat. Dewan telah memperhatikan kerja keras Anda, dan kami memutuskan untuk mengapresiasi Anda agar Anda tetap melaksanakan tugas dengan baik," direktur itu tersenyum hangat, menatap mata Arvany yang penuh haru.
"Tapi Dok, bagaimana dengan kepala perawat Lily?" tanya Arvany dengan khawatir, merasa tidak enak hati jika kenaikan pangkatnya justru merugikan rekannya tersebut.
"Oh kepala perawat Vany, kamu memang memiliki hati yang tulus. Lily tidak perlu kamu cemaskan, dia sudah diterima di Rumah Sakit Cepat Sehat untuk melanjutkan tugasnya sebagai kepala perawat," Direktur menepuk pundak Arvany dengan hangat sebelum bergegas pergi. Arvany tersenyum lega.
Dalam hiruk-pikuk kebahagiaannya, dia teringat sesuatu. Sambil berlari, dia mengambil kertas yang tertinggal, dan langsung mengejar direktur. "Dok, dok!"
Direktur menghentikan langkahnya dan perlahan berbalik, "Ya kepala perawat Vany, ada apa?"
“Um, Dok, bagaimana dengan gaji saya?” Arvany bertanya dengan senyum sumringah di wajahnya.
Direktur tertawa ringan, “Tenang saja kepala perawat Vany, gajimu akan berlipat ganda, sesuai dengan jabatanmu yang baru,” katanya sambil tersenyum lebar.
"Itu kabar yang sangat menyenangkan, terima kasih banyak, Dok!" Arvany bersorak gembira sambil melompat kegirangan.
*
*
*
RUMAH RONALD BOURBON, di Spain
Ronald Bourbon tengah sibuk mempersiapkan pemutaran perdana film terbarunya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Denyut jantungnya meningkat seketika saat melihat nama sopirnya muncul di layar. Ia mengangkatnya dengan segera, "Apakah kamu melihatnya?" tanyanya seraya menahan napas.
"Ya, Tuan," kata sopirnya dengan suara tegang, "Saya menelepon untuk memberi tahu Anda bahwa dia telah tiba dengan selamat di apartemen Bibinya, seperti yang Anda perintahkan."
Rasa lega mencengkeram hati Ronald. Tapi, ia tahu, tak ada waktu untuk bersantai. Masih banyak hal yang harus dikerjakan. Ronald menutup telepon dengan sopirnya, lalu segera menghubungi nomor Anasera.
"Hai, kuharap penerbangannya tidak membuatmu stres." Ronald menyapa dengan nada prihatin, seolah-olah dapat merasakan kelelahan Anasera di seberang sana.
"Tidak, bukan itu, Tuan Ronald. Aku hanya baru saja ingin tidur siang," Anasera mengeluh lelah di seberang telepon, suaranya terdengar berat dan mengantuk.
"Oh, maafkan aku, Ana. Kamu pasti kelelahan, aku tidak seharusnya mengganggumu di saat seperti ini. Baiklah, aku akan meninggalkanmu untuk istirahat dulu, ya. Selamat beristirahat," ucap Ronald penuh pengertian, lalu perlahan memutuskan panggilan, membiarkan Anasera menenangkan diri dan mengarungi tidurnya yang telah terganggu.
"Mom, berhentilah mengintip dari balik pintu!" Ronald memutar matanya sambil duduk di tepi tempat tidur.
Nyonya Bourbon tersenyum malu-malu, tangannya memegang gagang pintu. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan menghampiri anaknya yang sudah dewasa itu.
"Kamu tidak memberitahuku jika kamu punya pacar, apakah dia akan datang ke pemutaran perdana film malam ini?" dia bertanya penuh harap, memperhatikan setiap ekspresi wajah Ronald.
Ronald mendengus keras, rambutnya diacak-acak frustrasi. "Mom, kamu sudah mulai lagi. Sudah kubilang berkali-kali kalau aku tidak punya pacar. Dia hanya temanku, teman yang sangat baik!" serunya berusaha menenangkan.
Nyonya Bourbon tidak mudah menyerah, "Jadi, dia rela meninggalkan rumah, keluarga, bahkan negara jauh-jauh dari Indonesia demi menghadiri acara spesialmu ini? Tentu ada alasan lebih dari sekadar teman, kan?" selidik ibunya, berusaha membaca lebih dalam rasa di hati anaknya.
"Mom, jangan dipelintir, Anasera sedang mengandung bayi," ucap Ronald dengan penuh penekanan pada setiap kata yang diucapkannya, berusaha meyakinkan sang ibu.
Nyonya Bourbon mengangkat alisnya, seakan tidak terima. "Aku tahu, kamu sudah memberitahuku kalau suaminya telah meninggal, aku masih ingat. Tapi, apakah kamu punya fotonya? Aku ingin melihat seperti apa rupanya," desaknya, menunjukkan ketidakpercayaan dalam suaranya.
Ronald menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba tetap tenang. "Aku tidak punya fotonya, Mom. Tapi aku akan membawanya pulang besok, agar Mom bisa melihatnya langsung. Momy bisa sabar sampai besok, kan?" ucapnya dengan nada lembut, berharap sang ibu akan luluh hatinya dan berhenti menanyakan pertanyaan-pertanyaan tidak jelas padanya.