Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Grand Opening

Kembali ke kantor, mereka meletakkan mahakarya tersebut pada manekin tanpa kepala yang disimpan dengan aman di atas meja. Kalung itu begitu mempesona hingga sulit bagi seseorang untuk mengalihkan pandangan dari mahakarya tersebut.

Kalung itu terbuat dari mutiara dan berlian mewah yang bernilai 10 juta dolar. Bahkan Anasera pun sulit untuk berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya karena terus menatap karya itu. Dia mendengar bahwa perhiasan itu akan dilelang malam nanti. Dia penasaran orang kaya mana yang akan mampu membelinya.

Setelah bekerja, Anasera mengunci ruangan kerjanya dengan hati-hati. Dia tetap bertanggung jawab atas mahakarya tersebut dan dia tahu konsekuensinya jika sesuatu terjadi padanya.

Segera setelah dia pergi, Lita muncul dari balik sudut tempat dia bersembunyi. Seringai terbentuk di bibirnya. Dia mengeluarkan ponselnya dan segera menelepon seseorang, "Anda akan mendapatkan hasil dari pekerjaan ku besok pagi. Aku akan segera menunggu bayaranku" katanya dan menutup telepon. Dia tersenyum sambil memandangi set kunci yang dipegangnya.

*

*

*

Anasera keluar dari gedung perusahaan dan menemukan Audi R8 milik Arvany di tempat parkir. Dia tersenyum lalu berjalan mendekat ke arah mobil Arvany. Begitu dia sampai, dia mengetuk jendela mobil, Arvany pun segera membuka kaca mobilnya. "Ayo, cepat! Kamu udah telat 30 menit," ucap Arvany sambil menggelengkan kepala.

Anasera tertawa kecil dengan sikap temannya yang begitu overprotektif padanya tersebut, "Maafkan aku, Oke! Aku tidak sengaja melakukannya, aku cukup sibuk dua hari ini karena malam nanti kita akan mengadakan grand opening. Banyak hal yang harus diurus," jawabnya.

"Ayo masuk. Aku nggak mau ada ibu hamil yang berdiri terlalu lama," kata Arvany mengingatkan Anasera yang masih berdiri di luar.

*

*

*

Mereka tiba di rumah sakit dan segera menuju ruangan dokter. Dokter dengan tegas menginstruksikan Anasera untuk mengurangi aktivitas berat selama masa kehamilannya demi keselamatan bayinya.

Setelah kembali ke mobil, Anasera tak bisa menahan tawa lepasnya. Dia tahu Arvany pasti akan mengomel, hatinya berdebar menunggu saat itu. Tepat saja, ketika jarum hitung mundur dalam benaknya mencapai 3, 2, 1, Arvany langsung melontarkan omelannya, "Kamu dengar kan apa yang dokter bilang? Tapi nggak, kamu memang nggak pernah mau dengar! Aku jadi bingung, apa aku harus mengikatmu dan mengunci kamu di rumah sampai waktunya melahirkan?!" ujar Arvany sambil memutar balik mobilnya dengan ekspresi setengah kesal setengah cemas.

"Oke Oke aku minta maaf. Mulai sekarang aku bakal dengerin nasehatmu, aku janji," ucap Anasera sambil mengerucutkan bibir.

"Eh, kita mending belanja perlengkapan bayi aja, yuk. Masih ada cukup waktu kan?" usul Arvany.

"Oh iya! Kok bisa lupa sih?" ucapnya sambil menepuk keningnya. Mereka pun langsung melajukan mobilnya ke sebuah mall terbesar di kota tersebut.

Begitu mereka sampai di mall terbesar di kota, mereka langsung sibuk belanja berbagai kebutuhan bayi. "Hei, yuk ke bagian mainan!" ajak Arvany sambil menggandeng tangan temannya dan memegang tas belanjaan.

Saat mereka sedang berjalan, tiba-tiba seorang wanita menabrak Arvany hingga tas belanjanya terjatuh. Arvany langsung mengangkat kepalanya dan ia menemukan Kaylasha beserta teman-temannya. "Kamu!" ujarnya dengan nada kesal.

"Lain kali, perhatikan langkahmu," balas Kaylasha.

"Kamu yang sengaja menabrakku, dan sekarang malah menyuruhku untuk memperhatikan jalanku. Apa kamu kira ayahmu pemilik mall ini?" sindir Arvany.

Anasera yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara, "Kay, aku sarankan kamu untuk lebih menghargai dirimu sendiri. Kamu sedang hamil besar, sebaiknya fokus saja pada keselamatan bayi dan dirimu, daripada menciptakan kekacauan."

"Heh, lihat siapa yang bicara. Daripada bercemin, kamu malah di sini untuk menceramahiku seolah-olah kamu lebih baik," sindir Kaylasha dengan nada mengejek.

Anasera menggigit bibirnya, dia hampir kehilangan ketenangannya. Dia harus terus mengingatkan dirinya bahwa Kaylasha sedang hamil tua agar bisa menahan keinginan untuk membunuh wanita penghianat itu.

"Aku tak akan memberitahumu apa pun. Kamu hanya mencari kambing hitam untuk membawa dirimu ke kuburan lebih cepat," ujar Anasera sambil menarik Arvany.

Setelah selesai berbelanja, wajah Arvany masih terlihat marah. "Ayo, jangan bersikap tidak masuk akal seperti Kay. Kita tak perlu meniru sikapnya untuk membuktikan bahwa kita lebih baik," katanya sambil memeluk Arvany dari samping.

*

*

*

Pada malam penuh keceriaan, Grand Opening dijadwalkan akan berlangsung tepat pukul 7 malam, di hotel mewah berbintang lima milik keluarga Ortiz yang bergengsi.

Saat itu baru jam 5 sore dan Anasera baru saja pulang dari pekerjaannya dan langsung bersiap-siap untuk mendatangi acara tersebut. 'Arvany belum kembali dari rumah sakit. Apakah dia ada shift malam ini?' Anasera bertanya-tanya dalam hati, dia merasa jika ingatannya semakin lemah sejak hamil.

Anasera melangkah menuju dapur dengan hati yang berdebar, memanaskan sisa makaroni keju yang tertinggal di piringnya. Ketika ia menggigit potongan pertama, pikirannya melayang pada bibinya yang selalu setia mendukungnya selama ini. Sampai saat ini dia belum mengabarkan pada sang bibi bahwa dia sedang hamil, dan ia merasa gelisah menghadapi kenyataan yang akan segera terungkap.

Dalam bayangannya, ia membayangkan reaksi bibinya ketika mengetahui kehamilannya. Anasera meringis sejenak, memegang perutnya yang mulai terasa lapar dan takut sekaligus. Ia merasa mungkin saja ibunya tahu tentang masa depan yang tak terelakkan ini, makanya sejak awal dia menolak untuk menerimanya.

"Bagaimana kalau bibi marah?" gumam Anasera lirih.

Tak bisa Anasera tahan lagi, air mata mengalir deras di pipinya. Hati Anasera tersayat mendalam ketika melihat kehidupan Kaylasha, yang walaupun Nyonya Diana bukanlah sosok ibu yang sempurna, setidaknya ada sosok yang hadir, mendampingi, dan membimbingnya dalam mengarungi masa kehamilan.

Anasera merasa terhempas dalam gelombang sepi, tanpa keluarga yang menjaganya—tanpa ibu, ayah, atau bahkan ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Anasera tidak tahu bagaimana harus menyampaikan perasaannya ini. Namun, dia merasa cukup beruntung karena memiliki sosok Arvany dalam hidupnya. Kehadiran Arvany muncul seperti pelangi di tengah badai, menjadi hujan yang menyirami tanah kehidupan yang kering. Saat mengingat saat terusir dari rumah, hati Anasera berdebar, "Apa jadinya aku jika Arvany tak ada di sisiku?" Dan dengan setiap ingatan itu, dia merasa lebih kuat dan bertekad akan selalu bersama Arvany, sang penyelamat hidupnya yang telah berbagi suka dan duka dalam kehidupan ini.

Dia menghapus air matanya dan mengelus perutnya, "Sayang, jangan jadi seperti ibumu yang bodoh ini ya, hamil di usia muda" katanya sambil menahan ingus yang hendak keluar.

Dokter telah memberitahunya bahwa dia akan memiliki anak perempuan kembar. Dia telah berusaha keras dan bertindak kuat selama ini agar Arvany tidak perlu mengkhawatirkannya. Namun, setiap kali dia sendirian, dia tak bisa mengendalikan emosinya.

Dia kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap menghadiri acara Grand Opening. Sejak usia kehamilannya menginjak lima bulan, dia tidak bisa lagi mengenakan gaun ketat jadi dia memilih mengenakan gaun longgar yang panjangnya sampai di bawah lutut. Rambutnya disanggul dengan gaya berantakan. Dia melirik bayangannya di cermin. Wajahnya sedikit bengkak dan pucat setelah hamil, dia memutuskan untuk mengoleskan sedikit bedak dan lipgloss. Dia mengambil tas tangannya yang berwarna coklat dan segera meninggalkan apartement.

Begitu sampai di luar gedung apartemen, dia melihat Arvany dan pacarnya sedang berciuman dengan penuh gairah.

Anasera menatap mereka beberapa saat. Saat itu, dua sejoli itu terus bercanda dan tertawa bersama. Mereka tampak begitu serasi, dan dia merasa bahagia untuk Arvany. Memang, Arvany pantas mendapatkan kebahagiaan itu.

Anasera sudah menerima takdirnya sebagai seorang ibu tunggal. Dengan langkah tenang, dia berjalan ke arah yang berlawanan agar Arvany tak melihatnya; dia tidak ingin mengganggu momen bahagia mereka.

Ketika dia hendak berbelok ke  arah kiri, tiba-tiba dia mendengar suara Arvany dari belakang. "Mencoba kabur, ya?" Ujar Arvany.

Anasera berbalik dan terkekeh pelan, "Ah, aku hanya tidak ingin mengganggu momen bahagia kalian. Lagipula, aku sudah terlambat." tambahnya cepat. "Hai," Anasera melambaikan tangan pada Bintang kekasih Arvany yang sedang memperhatikannya.

"Hai Anasera, bagaimana kabarmu?" tanya pria itu dengan sopan.

"Aku baik-baik saja. Tolong sampaikan pada kekasih mu, jika aku sudah terlambat dan dia harus memaafkanku," jawab Anasera.

"Sayang, ingat kita akan kencan malam ini? Biarkan Anasera," ucap pria itu sambil menarik Arvany bersamanya.

"Tapi menurutku aku harus pergi bersamanya karena dia sedang hamil dan menurutku tidak pantas dia keluar sampai larut malam," sahut Arvany, namun Bintang menolak untuk mengindahkan kata-katanya.

Anasera  mengatupkan bibirnya dan melambai pada Arvany yang sedang menariknya. Dia menghela nafas keras dan segera memanggil taksi. Dia tidak tahan berlama-lama berada di dekat mereka berdua. Mereka selalu menindasnya dengan satu atau dua cara.

"The Emperor Hotel," ujarnya pada sopir taksi yang mengangguk.

Anasera menatap ke luar jendela saat matahari mulai condong ke barat. Jalanan sudah diterangi oleh lampu-lampu yang terang. Orang-orang di luar sana mengenakan pakaian tebal untuk menghangatkan tubuh di cuaca dingin pasca hujan.

Dia tak berani memejamkan mata, takut tertidur dan lengah. Akhir-akhir ini ada berita tentang pencuri yang menyamar jadi supir taksi. Dia tak ingin kehilangan uangnya. Itu pasti akan menjadi satu-satunya patah hati yang mungkin membuatnya harus dirawat di rumah sakit.

Dia terkekeh pelan, menyadari hanya ada dua lembar uang seratusan di dompetnya. Padahal, dia telah menabung sejak awal kehamilannya. Sopir itu meliriknya lewat kaca spion dan menggelengkan kepala. Cepat-cepat Anasera kembali menunjukkan wajah datarnya, agar sopir tak mengira jika dia gila.

Tak lama kemudian, mobil berhenti. Anasera dapat melihat melalui kaca jendela jika mereka telah sampai di depan sebuah gedung megah bertuliskan THE EMPEROR HOTEL dengan huruf-huruf tebal di tengahnya.

Anasera membayar ongkos taksi dan turun dari taksi tersebut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel